Solilokui

“Bedug” dalam Kehidupan Masyarakat Sunda

Mungkin bedug masa kini, seperti disebutkan “wawangsalan” (seloka), mengalami nasib “kendang gede pakauman”. Yaitu “dag dig dug rasaning ati”. Ketar-ketir, prihatin. Membayangkan, esok lusa bedug akan tinggal kenangan terlupakan. Peran dan fungsinya sudah diambang kepunahan.

Oleh   :  Usep Romli H.M.

Pernah suatu saat, “bedug” (tabuh) menjadi bagian  khas dari tradisi keislaman masyarakat Sunda. Terutama sebelum peran dan fungsinya tersisihkan oleh pengeras suara. Sehari-hari menjadi pertanda datangnya waktu salat fardlu.  Sedangkan pada bulan Ramadan menjadi pertanda waktu buka dan sahur.

Usep Romli HM

Keunikan dan keistimewaan bedug, sering menjadi topik kisah dalam karya sastra Sunda. Sastrawan Ahmad Bakri (1917-1988), menulis karya-karya ceritera pendek tentang bedug atau dulag berikut segala romantisme dan dinamisme kehidupan masyarakat Sunda pada zamannya. Misalnya “Bedug ti Nagri Ajrak”, “Lebaran Poe Jumaah” (kumpulan cerpen “Dukun Lepus”, 2004), “Mang Merebot” (kumpulan cerpen “Mang Merebot”, 1963), dll.

Dalam novel “Agul ku Payung Butut” (1968), Ahmad Bakri mengisahkan, seisi kampung batal puasa, karena buka terlalu awal, akibat bedug , ditabuh  sebelum waktunya. Sudah menjadi kebiasaan di kampung itu, bedug pertanda buka, baru ditabuh jika Juragan Naib sudah melambaikan tangan dari pintu depan rumahnya. Si Karda, yang digelari “merebot”, sejak menjelang magrib sudah siap memegang penabuh bedug sambil matanya terus menatap ke arah rumah Juragan Naib di seberang halaman masjid. Sementara masjid sudah penuh dengan orang-orang yang akan tajil bersama. Aneka macam  makanan untuk tajil sudah terkumpul di ruang tengah masjid.

Begitu Juragan Naib muncul mengangkat tangan, Si Karda langsung menyambar  “gegetuk” (penganan manis dari ubi, biasanya ubi jalar—red Jernih). Menyuapkannya ke mulut. Sambil  “sambutut” ia menabuh bedug bertalu-talu. Acara ta’jil pun segera berlangsung.

Tapi Juragan Naib datang ke masjid, marah-marah. Ternyata waktu buka masih lima menit lagi. Ia tadi melambaikan tangan bukan memberi isarah untuk menabuh bedug seperti biasa. Melainkan mengusir ayam yang mengotori halaman. Banyak yang menyalahkan Si Karda. Banyak pula yang menyalahkan Juragan Naib yang “gumenak” (sok pejabat). Tak mau sama-sama menunggu waktu buka di masjid, seperti Naib-Naib terdahulu. Judul novel “Agul ku Payung Butut” mengandung arti gila hormat. Membangga-banggakan keturunan ningrat yang sudah bukan masanya lagi. Sehingga orang sekampung, mungkin sedesa dan sekecamatan, yang patuh terhadap suara bedug, rusak puasanya sehari itu.

Karena bedug memiliki peran dan fungsi penting, banyak “babasan” (perumpamaan) atau peribahasa Sunda menggunakan idiom “bedug”. Seperti “jauh ka bedug”. Menggambarkan orang kampung tak tahu adat istiadat kota. Karena pada waktu itu, bedug hanya ada di masjid jami kota kabupaten. Belum  merambah ke pedesaan. Walaupun kemudian, justru bedug banyak terdapat di pedesaan. Sedangkan di perkotaan mulai lenyap satu persatu. Termasuk di “kaum” (masjid agung).

Membuat bedug juga merupakan sebuah kinerja khusus. Mulai dari memilih “kuluwung” (batang bedug), dari kayu randu “nahun” (tua), hingga mencari kulit sapi  “jajalon” (cukup usia, tidak terlalu tua juga tidak terlalu muda). Semua dilakukan gotong-royong. Penuh kebersamaan, baik soal dana, maupun tenaga.

Pada hari-hari biasa, suara bedug “lohor” (dzuhur) disambut gembira para kuli  di sawah atau ladang. Pertanda selesai kerja bagi para lelaki yang sedang mencangkul, dan para wanita yang sedang “tandur” (menanam padi) atau “ngarambet” (membersihkan kotakan sawah dari rumput pengganggu).

Pada bulan Ramadan, suara bedug magrib, disambut gembira oleh orang-orang berpuasa. Dan dulag dinihari, disambut gembira orang-orang yang bersiap menyambut makan sahur.

Mungkin bedug masa kini, seperti disebutkan “wawangsalan” (seloka), mengalami nasib “kendang gede pakauman”. Yaitu “dag dig dug rasaning ati”. Ketar-ketir, prihatin. Membayangkan, esok lusa bedug akan tinggal kenangan terlupakan. Peran dan fungsinya sudah diambang kepunahan.  [  ]      

Back to top button