Solilokui

“Keuyeup Bodas’ Penghuni Bendungan Jatigede

Situs-situs tersebut antara lain makam para leluhur Kerajaan Sumedanglarang  berikut segala macam benda peninggalannya yang bernilai sejarah dan belum sempat dipindahkan ke Museum Negeri Sumedang. Antara lain makam keturunan Prabu Geusan Ulun, Senapati Kondanghapa, dan Embah Terongpeot.

Oleh   : Usep Romli HM

Waduk Jatigede di Kabupaten Sumedang telah direncanakan  sejak 200 tahun lalu. Cetak biru bendungan raksasa untuk irigasi di bagian hilir (Sumedang, Majalengka, Cirebon, Indramayu)  itu telah dibuat oleh para perancang pengairan zaman kolonial. Merupakan satu dari tiga bendungan di bagian hilir Sungai Cimanuk. Selain Jatigede, dua lagi yang lebih kecil, adalah Cipasang dan Beureumbeungeut,  10-25 km sebelah hulu Jatigede.

Usep Romli HM

Mengapa lama sekali baru akan terwujud? Selain masalah biaya, juga masalah sosial dan politik ikut mewarnai. Pembebasan lahan bakal bendungan di tiga kecamatan (Darmaraja, Wado, Cadas Ngampar), baru dimulai tahun 1984. Diawali pematokan dan ganti rugi kepada pemilik tanah. Kegiatan ini berlangsung hingga tahun 1987.

Pembangunan fisik bendungan baru dimulai 2005. Di tengah persoalan yang semakin rumit. Banyak tanah yang sudah dipatok sebagai “milik negara” hilang tak berbekas. Kemunculan “rumah hantu” ikut meramaikan konflik kepentingan, akibat gugatan terhadap nilai ganti rugi yang dianggap penuh teror dan inti-midasi. Maklum berlangsung di tengah zaman represif Orde Baru. Sehingga harga waktu itu dinilai terlalu murah, di bawah harga pasaran yang berlaku. Pemilik tanah mau memberikan hanya karena takut oleh para aparat yang merangkap “calo tanah”.

Kini Bendungan Jatigede sudah terwujud. Mulai digenangi tahun 2016, diresmikan penggunaannya oleh Presiden Jokowidodo.

Tapi kontroversi terus saja merebak di kalangan khalayak luas sekitar Jatigede. Terutama masih banyak Orang Terkena Dampak (OTD) yang belum jelas nasibnya.

Berbagai masalah muncul. Mulai dari yang rasional hingga yang berbau mistis. Termasuk kisah mistis “keuyeup bodas” penghuni perbukitan di kawasan Jatigede

Menurut catatan Tim Pengumpul Folklore Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut bentukan Panitia Tahun Buku Internasional 1972 Indonesia, yang didanai UNESCO, mitos tentang “keuyeup bodas” sangat dikenal penduduk sekitar Jatigede, karena dikisahkan turun temurun.  Konon, “keuyeup bodas” berdiam di sebuah gua di Pasir Gede. Sekali-kali ia ke luar.Turun ke air. Kemudian naik lagi, masuk ke lubangnya. Orang-orang yang pernah “kawenehan” (melihat penampakan) mengatakan, besar tubuh “keuyeup bodas” itu lima atau sepuluh kali lipat truk bekho pengeruk tanah.

Jika lubangnya terendam, ia  akan mengamuk . Turun ke dasar waduk. Menjebol bendungan hingga berlubang. Air waduk akan bedah. Menjadi banjir yang pasti membahayakan penduduk di hilir bendungan.

Sebagai bekas kerajaan kuno Sumedanglarang, Kabupaten Sumedang kaya oleh situs sejarah. Hampir semua situs itu dipelihara baik-baik oleh penduduk. Antara lain situs Kampung Cipaku, yang  merupakan “kabuyutan” bernilai sejarah. Di kawasan itu, banyak rumah “adat” berbentuk panggung  (imah panggung) yang seluruhnya terbuat dari kayu jati pilihan. Puluhan hektare sawah, ladang dan kolam, menjadi ciri Kampung Cipaku sebagai penghasil padi, palawija, ikan dan andalan ketahanan pangan Kabupaten Sumedang di bagian timur.

Selain di Cipaku, ratusan situs kuno, tersebar di areal-areal yang  menjadi pusat genangan utama Waduk Jatigede. Beberapa penduduk setempat, menyatakan, situs-situs tersebut antara lain makam para leluhur Kerajaan Sumedanglarang  berikut segala macam benda peninggalannya yang bernilai sejarah dan belum sempat dipindahkan ke Museum Negeri Sumedang. Antara lain makam keturunan Prabu Geusan Ulun, Senapati Kondanghapa, dan Embah Terongpeot. Termasuk naskah asli kitab “Waruga Jagat” yang terbuat dari kulit kerbau “bule”, “buli-buli” (botol kecil) terbuat dari keramik berisi air “taliroma” (pengasihan).

Pantaslah ”keuyeup bodas” akan mengamuk karena lahan para leluhurnya hilang lenyap disapu air sungai Cimanuk yang dibendung menjadi waduk. Demikian pendapat beberapa orang yang percaya akan kisah mengandung “mitos” itu.

Namun, dari aspek ilmiah, kemungkinan Waduk Jatigede akan bubrah, dapat dibenarkan. S. Sobirin, aktivis Dewan Pemerhati Kelestarian Lingkungan Tatar Sunda (DPKLTS), menyatakan di beberapa media, waduk Jatigede terletak persis di atas lempengan bumi sesar Baribis. Sehingga amat rawan gempa. Sesar Baribis merupakan  jalur gempa aktif berkekuatan besar yang terbentang antara Kabupaten Cilacap (Jateng) dengan Kabupaten Subang (Jabar).

Mungkin karena posisinya ada di atas lempengan gempa aktif, maka oleh pemerintah kolonial dibiarkan tinggal ”cetak biru” saja. Sebab, jika selesai dibangun, kemudian bedah, bagaimana nasib penduduk Majalengka,  Cirebon, dan Indramayu kelak?

Semoga tak terjadi sinergi kekuatan magis dan mistis “keuyeup bodas”  dengan sesar Baribis. Jika demikian, tak terbayangkan kerusakan yang ditimbulkannya.

[ ]

Back to top button