Solilokui

Nama-Nama “Relijius” Orang Sunda

Istri Nabi Ibrahim, Sarah, juga menjadi favorit. Tapi di perkampungan. Sarah menjadi Saroh (sesuai lafal huruf “ro”). Menjadi Iroh. Sebab kalau ‘sarah’, menurut bahasa Sunda, artinya sampah sungai.

Oleh  : Usep Romli HM

“Sunda itu Islam, Islam itu Sunda”. Istilah itu pertama kali dilontarkan oleh KH Endang Saifuddin Anshary, pada acara “Riungan Masyarakat Sunda”, tahun 1967. (Hal ini pernah pula dibahas Ajip Rosidi, “Islam jeung Sunda”, dalam “Pancakaki”, Girimukti Pasaka, 1996—redaksi Jernih).

Salah satu alasan almarhum “Si Ama”–panggilan akrab KH Endang Syaifuddin Anshary– mengemukakan istilah itu untuk menguatkan jati diri orang Sunda dalam menghadapi dampak gonjang-ganjing  “G-30-S/PKI”, 30  September 1965. Walaupun Tatar Sunda (Provinsi Jawa Barat), sangat aman dibanding Jawa Tengah, Jawa Timur dan Bali yang menjadi “ladang pembantaian” orang-orang PKI, namun di beberapa tempat (antara lain Cigugur, Kuningan) menjadi sasaran empuk penyiaran agama lain dengan menjadikan keterlibatan kepada PKI sebagai “alat jual”.

Bagaimanapun juga, pada Pemilu 1955, PKI mendapat suara 7,6 persen mengungguli Nahdlatul Ulama (NU) yang hanya 6,2 persen (Dr. Pipit Seputra “Sejarah Indonesia” 1969).

Berkat paduan tak terpisahkan sebagai “Sunda itu Islam, Islam itu Sunda”, masyarakat Sunda, yang sudah memiliki peradaban maju di dunia (teori pakar genetika Jerman mutakhir, Stephen Oppenheimer, penulis buku “Eden in the East”, 2011), melahirkan kekayaan  kearifan lokal. Yang sebagian besar  bersumber dari ki-tab suci Al Quran.

Seperti kearifan lokal “pok” (ucapan), “pek” (bahan garapan) dan “prak” (pelaksanaan nyata), merupakan intisari Surat Ash Shaf ayat 2-3 : “Kerjakanlah apa-apa yang kalian ucapkan. Allah murka benar kepada orang-orang yang berkata tanpa melak-sanakan apa yang dikatakannya.” 

Orang Sunda memelihara  tiga faktor penting dalam kehidupannya : kelestarian lingkungan alam (ekologi), keserasian hidup manusia, dan keberadaan hewan dan tumbuhan (fauna-flora) yang terjaga. Ketiga faktor penting tersebut, merupakan jalinan mata-rantai kehidupan yang tidak boleh putus. Ketiganya saling mengisi, memberi dan menerima. Menjadi wujud dari sikap dan sifat “sareundeuk saigel, sabobot sapihanean, sabata sarimbagan”. Semuanya sama penting. Sama peran dan fungsinya dalam harmonisasi kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa Al Quran “ta-awanu alal birri wattaqwa” (QS al Maidah : 2)

Namun memasuki era “pseudo-industri” (industri tanggung), terjadi perubahan drastis dalam tatanan kehidupan orang Sunda yang mayoritas petani (agraris). Menjadi industrialis tidak pernah, karena semua dikuasai sistem padat modal, menjadi agraris sudah tidak lagi, karena lahan pertanian sudah berubah menjadi pabrik-pabrik. Lingkungan alam dan flora-fauna juga ikut terkena dampak derita. Rusak atau hilang sama sekali. Ribuan atau mungkin jutaan “mataholang” (plasma nutfah) flora-fauna Tatar Sunda lenyap sebelum berhasil diinventarisasi setelah lahan-lahan subur mengalami alih fungsi tak terkendali. Sawah ladang telah berubah drastis menjadi bangunan-bangunan yang menimbulkan ketimpangan alam, effek rumah kaca dan pemanasan global berkepanjangan.

Bahkan nama-nama orang Sunda yang semula rata-rata “relijius”, banyak berganti dengan nama-nama apa saja, asal bagus, dan “gaul”. Banyak orang Sunda bernama “Muhammad”. Ngalap berkah dari Nabi Muhammad Saw. Bahkan kemudian bertrans-formasi menjadi sangat “nyunda”. Mad, Emad. Muhammad Salim jadi Madsalim, Muhammad Syafei menjadi Madpai, dll.

Nama 25 Nabi dan Rasul yang tercantum dalam Al Quran selalu menjadi acuan pemberian nama orang Sunda laki-laki. Mulai dari Adam As hingga Muhammad Saw. Termasuk nama yang paling diistimewakan oleh umat Yahudi, seperti Ibrahim, Musa dan Harun. Ibrahim di”Sundanisasi” menjadi Ahim, Ohim, Oim, Ibro, dsb. Musa menjadi Uca atau Emus, Harun menjadi Aun atau Aon.

Kaum wanita juga mengambil nama dari tokoh-tokoh wanita Muslimah mulia. Seperti Khadijah (menjadi Ijah, Ijoh), Aisyah (Isah, Isoh), Salamah (Emeh), Aminah (Mimin, Inah) dll.

Istri Nabi Ibrahim, Sarah, juga menjadi favorit. Tapi di perkampungan. Sarah menjadi Saroh (sesuai lafal huruf “ro”). Menjadi Iroh. Sebab kalau ‘sarah’, menurut bahasa Sunda, artinya sampah sungai.

Pengaruh globalisasi yang isinya “pembaratan” terhadap segala sesuatu, mempe-ngaruhi penggunaan nama-nama orang Sunda masa kini. Entah sadar atau tidak, oramg Sunda yang mayoritas Muslim, memberi  nama anak-anaknya Christian atau Christine, yang menunjukkan tanda agama lain. [  ]            

Back to top button