Solilokui

Seorang Pahlawan dari Garut, yang Seperti Biasa, Kita Lupakan

Mungkin karena keakraban kedua kiyai yang  sama-sama menggunakan nama “Mustofa”, sering membuat keliru orang. Contoh, dalam tulisan di Majalah Tempo (18/4/2011) berjudul “Lasykar Allah dari Cibarusah” terdapat kalimat “…mereka mengaji kepada para ulama, seperti Mustafa Kamil dari Singaparna, Tasikmalaya,  

Oleh : Usep Romli HM

Banyak manfaat dari “stay at home” menghindari virus Covid-19. Antara lain, menemukan arsip-arsip catatan lama sebagai bahan bacaan perintang waktu. Salah satunya, arsip makalah seminar tahun 2011,  tentang beberapa tokoh Garut yang terlupakan. Padahal jasa-jasanya sederajat dengan pahlawan lain.

H. Usep Romli HM

Sebut saja nama KH Mustofa Kamil. “Google”, hanya memuat satu artikel pendek tentang sosok dan kiprah ulama pejuang asal Garut itu. Dalam “Wikipedia” bahkan tidak tercantum. Juga dalam “Ensiklopedia Sunda” (2000) dan “Apa Siapa Orang Sunda” (2001) tak terdokumentasikan.

Padahal, pria kelahiran Kampung Bojong, Desa Pasirkiamis, Tarogong,Garut, tahun 1884 itu merupakan salah seorang  pelaku sejarah cukup penting, baik pada masa sebelum kemerdekaan, maupun sesudah kemerdekaan. Tercatat pernah 14 (empat belas) kali ditangkap intel pemerintah kolonial (“Polische Intel Diens– PID)”. Pernah  mendekam di penjara Garut tahun 1915, karena menentang semua peraturan pemerintah kolonial.

Tahun 1919-1921 dimasukkan lagi ke penjara, karena dituduh terlibat peristiwa pembangkangan rakyat Cimareme, pimpinan Haji Hasan Arief, yang terkenal dengan sebutan “Genjlong Garut” tahun 1918. Keluar dari penjara, almarhum menggerakkan demo menentang “vervoding” (peraturan pajak ) pemerintah kolonial yang amat memberatkan rakyat. Tahun 1927, karena khotbah Jumat di Masjid Agung Garut yang dianggap menghina pemerintah kolonial,   dimasukkan lagi ke penjara Garut. Kemudian dipindahkan ke Sukamiskin, Bandung.

Kekalahan pemerintah kolonial Belanda oleh Jepang, tidak menyurutkan sikap anti penjajah KH Mustofa Kamil. Ia ikut terjun membantu KH Zainal Mustofa, bersama para santri pesantren Sukamanah, Singaparna, Tasikmalaya, melawan pasukan Jepang.  Mungkin karena keakraban kedua kiyai yang  sama-sama menggunakan nama “Mustofa”, sering membuat keliru orang. Contoh, dalam tulisan di Majalah Tempo (18/4/2011) berjudul “Lasykar Allah dari Cibarusah” terdapat kalimat “…mereka mengaji kepada para ulama, seperti Mustafa Kamil dari Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat…”. Padahal jelas “Mustofa” Singaparna, adalah KH  Zaenal Mustofa. Bukan KH Mustofa Kamil dari Garut.

Bulan November 1945, KH Mustofa Kamil berangkat ke Surabaya. Memenuhi panggilan jihad yang dikumandangkan Bung Tomo lewat seruan takbir di radio-radio. Dalam pertempuran melawan pasukan Sekutu (Inggris-Belanda), yang kelak diabadikan menjadi “Hari Pahlawan” 10 Nopember, KH Mustofa Kamil syahid. Jenazah syuhada asal Garut tersebut, semula dimakamkan di Kabupaten Sidoarjo, kemudian dipindahkan ke makam taman pahlawan Surabaya. Pemerintah memberi pangkat  Letnan Kolonel Anumerta.

Panjang dan besar jasa perjuangan KH Mustofa Kamil dalam merebut dan menegakkan kemerdekaan RI. Tapi kecil dan sempit penghargaan kepada beliau. Sehingga, tak pernah mendapat gelar yang wajar sesuai pengabdiannya. Misalnya, gelar pahlawan nasional. Kecuali, pada tahun 1958, KH Mustofa Kamil ditetapkan oleh pemerintah, sebagai pahlawan “Perintis Kemerdekaan”.

Jangankan pemerintah pusat dan provinsi, Pemerintah Kabupaten Garut sendiri belum terdengar mengupayakan meningkatkan status KH Mustofa Kamil dari “Perintis Kemerdekaan” ke “Pahlawan Nasional” yang mengandung makna khusus dan istimewa.

Mungkin Pemkab Garut kekurangan bahan atau tak tahu sama sekali. Sebab, jangankan terhadap KH Mustofa Kamil yang hidup dan berjuang pada masa lampau. Kepada  para “pahlawan” masa kini saja, terkesan acuh tak acuh.

Contoh, ketika Achdiat Kartamihardja (lahir di Cibatu 1908) wafat di Melbourne, Australia (2008), tak tampak sedikit pun iklan ucapan bela sungkawa. Padahal berita kewafatan Achdiat disebarluaskan di media massa cetak dan elektronik, dalam dan luar negeri, berkali-kali. Bahkan sebuah statsiun TV swasta nasional, menayangkan “obituari” berupa perjalanan hidup “Aki” – begitu panggilan akrab nya – sejak masa kecil di Panyeredan, Cibatu, hingga mengajar di berbagai perguruan tinggi Negeri Kanguru. Mencetak ratusan doktor bahasa dan sastra Indonesia, baik yang asli Indonesia (antara lain Yudi Latif), maupun asing. TV Malaysia juga sempat menayangkan film pendek biografi Achdiat, karena yang bersangkutan pernah mengajar sastra di Universitas Kebangsaan negeri jiran itu.    

Karya termashur Achdiat Kartamihardja, novel “Atheis” (1949),  belasan kali cetak-ulang, menjadi bacaan wajib di SMA dan PT. Diterjemahkan ke dalam puluhan bahasa asing. Termasuk bahasa Swahili. Serta  “Polemik Kebudayaan” (1958), kumpulan tulisan perdebatan gagasan cemerlang para tokoh bangsa, sekelas Dr.Soetomo, Dr.Wahidin Soedirohoesodo, Sutan Takdir Alisyahbana, dll., para intelektual tahun 1930-an, calon “founding father” negara RI.

Pada setiap seminar, simposium, diskusi, ceramah di seluruh dunia, dalam curiculum vitae-nya, Achdiat selalu menyebutkan Garut, bahkan Cibatu, sebagai tempat lahir. Walaupun pernah mengajar di Malaysia dan Australia, sejak 1964 hingga wafat, tak pernah melupakan tanah tumpah darah.     

Hal yang sama dialami Dodong Djiwapradja. Sastrawan nasional bertaraf internasional kelahiran Pasir Uncal, Banyuresmi, Garut, 1927, wafat di Bandung, Juli 2009. Jenazahnya dimakamkan di tanah kelahirannya. Dodong, menyandang gelar akademik Sarjana Hukum Militer, seangkatan dengan  Sudharmono dan Moerdiono (dua-duanya mantan Mensesneg), berpangkat Mayor TNI-AU. Pernah tercatat sebagai anggota Komisi Istilah  Bahasa Indonesia Depdikbud (1950-an), sering menjadi perwakilan TNI-AU atau institusi sastra, dalam seminar-seminar di luar negeri. Menulis puisi, sejak 1948, dan pernah bergaul dengan Chairil Anwar. Kumpulan puisinya “Kastalia” (1997), mendapat penghargaan Hadiah Buku Utama (1998), diberi pengantar oleh WS Rendra yang amat mengaguminya.

Alhasil Dodong bukan orang sembarangan. Prestasinya amat mengharumkan nama Garut. Menjadi salah seorang penerus keunggulan genetika orang Garut, yang selalu berada di puncak prestasi nasional dan intersional. Tapi waktu pemakaman, tak ada seorang pun pejabat Garut hadir, walaupun kabar sudah disampaikan kepada pihak-pihak berwenang di Pemkab.

Mereka semua terabaikan. Mungkinkah ini gejala perubahan watak generasi, yang disinyalir Qur’an, S.Maryam, ayat 59 :  “Maka datanglah, sesudah mereka (yang baik-baik), generasi pengganti (yang jelek), yang menyia-nyiakan shalat dan mengumbar syahwat, sehingga menemui kesesatan.”

Dalam hal ini, generasi jelek  dapat dikategorikan, generasi yang tidak menghargai jasa-jasa luhur linuhung pendahulu-pendahulu mereka . [  ]    

*H.Usep Romli HM, lahir di Limbangan, Garut, 1949.

Sebagai sastrawan, telah menulis 52 judul buku, berupa novel, kumpulan cerpen, kumpulan kumpulan puisi, kumpulan humor, ceritera anak-anak, baik dalam bahasa Sunda maupun Indonesia.

Sebagai wartawan sejak 1966 hingga pensiun 2004,telah melaksanakan tugas jurnalistik ke seluruh penjuru tanah air seluruh dunia di empat benua (kecuali benua Amerika, dan benua Kutub). Karya tulis jurnalistik berupa buku renungan perjalanan berjudul “Percikan Hikmah” (1999) dan “Zionis Israel di balik Serangan AS ke Irak” (2003).

Th.1972-1973, mendapat tugas dari UNESCO untuk mengumpulkan folklore/cerita rakyat Kab.Garut, Sumedang, Tasikmalaya dalam rangka Hari Buku Internasional 1974.

Sejak 1989, menjadi pembimbing ibadah haji dan umroh. Sekarang menjadi pembimbing ibadah haji dan umroh pada BPH Plus “Megacitra” dan KBIH “Mega Arafah” Kota Bandung, sejak th.2000.

Pernah menjadi PNS Guru SD (1966-1983) di Kec.Kadungora, Garut, Kepala Seksi Pembinaan Bahasa SD, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Prov. Jabar (1983-1984), tapi minta berhenti tanpa pensiun karena ingin sepenuhnya menggeluti professi jurnalistik dan kepenulisan.

Th.1998-2003, menjadi Ketua Seksi Diklat PWI Jabar, th.1998-2008, Ketua Majelis Ulama Indonesia Kec.Cibiuk.

Sekarang mengelola Lembaga Pengabdian Masyarakat (LPM) Raksa Sarakan di Desa Majasari, Kec.Cibiuk, Garut, yang bergerak di bidang pengasuhan anak du’afa yatim piatu, beasiswa santri/siswa/mahasiswa berprestasi, pelestarian alam dan peningkatan sumber daya alam pedesaan.***     

Back to top button