Spiritus

Catatan Menjelang Buka (13) : Kata

Sedangkan kita sendiri, bukankah sudah migrasi dari dunia riil. Kini keber-Ada-an (being) adalah eksis di dalam dunia maya yang telah menjadi riil tersebut. Hukum fisika telah diganti dengan hukum bytes. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, shaum kita juga harus diangkut ke sana. Kita harus menyusun fiqih shaum dalam realitas baru tersebut.  Kita harus menyusun semacam fiqih netokrasi, “romadhona elektronika”

Oleh  : Acep Iwan Saidi*

JERNIH– Hari ke-13, alhamdulillah pada menit-menit terakhir menjelang berbuka, Allah selalu memberi kita kesempatan bercengkrama.

Acep Iwan Saidi

Tentu saja, saya tidak ada saat Anda membaca, demikian Anda juga tidak hadir ketika saya menulis. Dan inilah kelebihan bahasa. Bahasa melepaskan kita dari beban benda-benda, ruang, dan waktu. Kita tidak perlu mendatangkan buaya saat menerang-jelaskan karakter binatang buas itu, misalnya. Demikian, kita pun dapat saling menyapa tanpa harus bersua.

Namun, apakah hal demikian  tidak bersoal? Sampai pada titik pertemuan nirfisik konvensional, kiranya tidak ditemukan masalah. Anda  boleh membaca catatan ini atau melemparnya ke tong sampah; boleh merenungi atau menertawakan, bersikap biasa-biasa saja atau penasaran, merespons atau mendiamkannya, demikian seterusnya. Dan yang terpenting, catatan ini tidak akan pernah mengganggu “ruang dan waktu sosial” Anda. Relasi dengan lingkungan sekitar tak tergoyah karenanya, seberapa panjang pun saya berceloteh.

Tapi, itu dulu, 5 atau 10 tahun lalu. Kini tidak lagi demikian. Kini tulisan macam catatan ini, setidakbernilai apa pun, tetap akan berkontribusi untuk menyeret Anda keluar dari lingkungan sekitar. 

Paling tidak, dua hal telah menjadi penyebabnya. Pertama, catatan ini datang tergesa-gesa dalam kecepatan luar biasa, juga sering tidak terduga. Kedua, catatan ini tidak sendiri. Ia hanya terselip di antara ribuan bahkan jutaan catatan lain. Semuanya berdesakkan menyerbu hingga ke sudut pikiran dan perasaan Anda. Semuanya saling bertegangan, semuanya minta diperhatikan.

Tidak pelak, Anda pun terbetot pada hutan kata-kata. Berbagai informasi saling bertubrukan, saling berebut posisi. Beranalogi kepada Baudrillard, terjadilah apa yang disebut implosi, ledakan ke (di) dalam. Kata-kata menjadi teror dan saling meneror. Pada saat yang sama, naluri dasar manusia yang terdiri atas tumpukan kehendak (menjadi benar, menjadi kuasa, menjadi populer, dan seterusnya, termasuk hal-hal yang sebaliknya) juga terhela keluar. Kata-kata menjelma semacam gen yang terus beranak pinak. Ia pun menjadi virus yang menyebar (viral). Viral, dalam banyak hal, tidak lain adalah wabah endemi.

Kesibukan di ruang internal diri sedemikian, tentu saja, menyebabkan Anda tidak sempat memperhatikan yang di luar.  Anda, seperti kerabat di sebelah Anda, dan seperti juga saya, memiliki dunia sendiri-sendiri yang berbeda. Anda menjadi tidak hirau pada lingkungan sekitar, sedekat apapun jaraknya. Itulah yang dibilang orang sebagai fubing (phubbing).

Seperti pernah disampaikan pada Cambuk (7), fubing kiranya terjadi karena berpindahnya fungsi mulut ke jari tangan, sebab pada tangan tergenggam dunia. Lebih jauh, fubing adalah tanda dari berpindahnya relasi sosial ke dalam media, migrasi yang riil ke yang maya. Pada titik tertentu, migrasi tersebut menyebabkan dunia terbalik: yang maya menjadi riil dan yang riil menjadi maya. Tidak ada relasi sosial pada situs socious—(apa kabar ilmu sosiologi?).

Jika begitu kisahnya, lantas apa jadinya dengan shaum kita? Apa ukuran seseorang bershaum hari ini? Tentu saja, kita sudah bisa menahan lapar. Tapi, itu di dunia riil. Kita telah berhasil menjaga mulut, tapi itu di dunia riil. Kita sudah mampu menutup mata, tapi itu di dunia riil.

Sedangkan kita sendiri, bukankah sudah migrasi dari dunia riil. Kini keber-Ada-an (being) adalah eksis di dalam dunia maya yang telah menjadi riil tersebut. Hukum fisika telah diganti dengan hukum bytes. Jadi, mau tidak mau, suka tidak suka, shaum kita juga harus diangkut ke sana. Kita harus menyusun fiqih shaum dalam realitas baru tersebut.  Kita harus menyusun semacam fiqih netokrasi, “romadhona elektronika”.

Tantangan fiqih shaum di dalam realitas baru tersebut pastilah sangat berat. Hal itu karena realitas baru dalam jagad netokrasi, keseluruhannya nyaris dibentuk dan terbentuk oleh hasrat. Jika tantangan ini dapat diatasi, barangkali pahalanya bisa berlipat. Jika tidak, mungkin dampak sebaliknya juga berganda. Wallahu alam bi shawab.

Kini kita hanya mengetahui bahwa kebanyakan dari kita sudah sangat betah di sana. Bahkan tampak tidak ada yang mau kembali. Hanya sesekali saja kita keluar, yaitu menjelang magrib. Bagaimanapun, menu di atas meja itu masih harus konkret. Ia masih harus benda, bukan kata. Selamat berbuka. Semoga berbahagia! [  ]

Ketua Forum Studi Kebudayaan FSRD–ITB

Back to top button