Spiritus

Catatan Menjelang Buka (28) : Ucapan

Kebiasaan memberi, menerima, dan membalas telah memiliki sejarah yang sudah sangat tua. Dan pada kelompok masyarakat tertentu, memberi dan membalas merupakan sebuah kewajiban.

Oleh   : Acep Iwan Saidi*

JERNIH– Hari ke-28, kian dekat kita ke ujung. Dan di fase penghabisan ini, seperti biasa, kamu mulai mengirim, menerima, dan membalas ucapan, bukan?

Acep Iwan Saidi

Kalimatnya beragam, tapi tentu isinya itu-itu juga, sama dengan tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya: selamat hari raya dan mohon maaf lahir batin. Kita lebur semua kekhilafan, nihilkan segala alfa dan kesalahan. Dalam lima tahun terakhir, aktivitas ini kiranya lebih banyak dilakukan melalui gadget. Kesalahan-kesalahan maya, dihapus melalui permohonan maaf maya pula. Tuntas. Tas.

Kita memang masih punya media lain untuk menyampaikan ucapan salam lebaran, yakni melalui kartu dan bingkisan atau yang populer disebut parsel. Di kalangan pejabat, parsel memang telah dlarang KPK. Tapi, di jalan-jalan pedagang parsel tampak masih ramai. Parsel masih menjadi bisnis yang menguntungkan pada musim lebaran. Artinya, masih banyak yang menggunakan media ini.

Merujuk kepada Marcel Mauss (1992), semua jenis ucapan di atas  dapat dikategorikan sebagai pemberian. Dan semua pemberian, termasuk undangan, kata Mauss, selalu mengharapkan balasan. Ia simpulkan hal ini dari penelitiannya terhadap masyarakat tradisional yang tersebar di Melanisia dan juga Amerika Utara. Kebiasaan memberi, menerima, dan membalas telah memiliki sejarah yang sudah sangat tua. Dan pada kelompok masyarakat tertentu, memberi dan membalas merupakan sebuah kewajiban.

Kesimpulan Mauss bisa jadi juga berlaku di sini. Mari kita fokus saja pada pemberian ucapan selamat lebaran, baik yang ditulis pada kartu maupun yang dikirim secara online. Seperti telah menjadi ketidaksadaran kolektif, dalam perayaan lebaran seolah-olah kita merasa harus memberi ucapan, alih-alih sebagai sebuah model silaturahmi.

Sebagai pengirim, kita mungkin saja tidak mengharapkan balasan. Tapi, sebagai penerima, rasanya bersalah jika tidak membalas. Sering juga muncul prasangka, kalau tidak membalas nanti si pengirim akan menganggap kita sombong, tidak mau memaafkan, nggak sopan, dan lain-lain. Mauss benar, segala jenis pemberian—termasuk kartu ucapan dan undangan—rupanya memang telah membebani si penerima, disadari atau tidak.

Mengirim pesan atau memohon maaf pada hari raya lebaran itu murni tradisi. Sependek pengetahuan saya, tidak ada perintah untuk hal ini di dalam Islam. Shaum adalah ibadah vertikal dan karena itu, personal. Semua dalilnya berbicara demikian. Bahkan disebutkan—dan ini yang termashur—shaum adalah ibadah istimewa yang diminta langsung oleh Allah. Ia diperuntukkan hanya bagi Allah. Jadi, tidak ada hubungannya dengan  saling berkirim ucapan permohonan maaf secara horizontal, juga tak berkait dengan hari raya. Lebaran dan bermaaf-maafan adalah kreasi budaya masyarakat kita yang sejak dahulu memang senang upacara.

Di dalam Islam sendiri, kamu pasti tahu, silaturahmi dan saling membebaskan kesalahan antarsesama dianjurkan dalam rentang waktu tidak terbatas. Silaturahmi tidak punya momen khusus, mengucapkan salam tidak mengenal waktu.  Islam adalah agama yang mengedepankan kebersamaan.

Berjamaah dalam kebaikan adalah yang utama sebab di dalamnya terdapat hubungan kasih sayang. Tuhan tidak suka kamu masuk surga sendirian. Dan nyaris tidak mungkin begitu sebab di dunia pun kamu bertetangga. Tetanggamu bagian dari tanggung jawabmu dalam kebersamaan menciptakan kebaikan.

Lantas, jika begitu, apakah dalam lebaran tidak perlu mengirim ucapan dan bermaaf-maafan? Bukan ke situ muara esei ini, melainkan kepada semacam upaya untuk memberi nilai baru dengan cara yang dimulai dari melihat asal-usulnya. Karena shaum merupakan ibadah untuk Allah, lebaran kiranya kita dekatkan sebagai bagian darinya.

Dalam situasi ini, ucapan dan permohonan maaf horizontal orientasinya harus tetap vertikal.  Balasan atas ucapan yang kita kirimkan kepada handai taulan, dengan demikian, hanya kita harapkan dari Allah. Pun ucapan yang kita terima dari handai taulan, kita kembalikan kepada Allah. Pendek kata, kartu lebaran kita persembahkan hanya untuk Allah. Lebaran, dengan begitu, menjadi simpul yang mengikat ibadah shaum kita. Lebaran adalah doa yang kita panjatkan dalam bahagia.

Kalau sudah demikian, tidak perlu merasa cemas dan berprasangka negatif kalau teman tidak merespons ucapan permohonan maaf kamu. Sebaliknya, tidak perlu merasa bersalah  jika kamu tidak bisa membalas salam lebaran kerabatmu. Semua akan baik-baik saja. Nikmati saja.

Ingat pula, lebaran itu tidak dilaksanakan pada bulan Ramadhan, tapi dalam bulan Syawal.  Kalau Ramadhan artinya pembakaran (membakar) dan syawal berarti naik, lebaran (1 syawal) adalah keadaan pada posisi hendak naik (take off) setelah pembakaran (dosa) dituntaskan. Ini posisi krusial dalam penerbangan. Jadi, mari kita konsentrasikan seluruh ucapan hanya untuk Allah. Dengan begitu, kita akan bertemu di langit. Selamat berbuka. Semoga berbahagia. [ ]

Back to top button