Spiritus

Kaab bin Malik, Sahabat Rasul dan Penyair yang Diperdaya Pasar

Nabi SAW yang tak melihat sosok Ka’ab segera bertanya, “Apa yang dikerjakan Ka’ab bin Malik?” Salah seorang menjawab, “Baju dan selendangnya yang membuat dia tertinggal, ya Rasul.” Menurut Ibnu Qudamah, pernyataan itu adalah sindiran bagi lelaki yang kalah dari kemauan istrinya.

JERNIH—Perang Tabuk adalah perang terakhir yang dipimpin Rasulullah SAW. Pertempuran melawan pasukan Romawi itu terjadi pada Rajab tahun 9 Hijriyah, di Tabuk, sebuah tempat berjarak 778 km dari Madinah, tepat pada waktu musim panas. Perang ini juga disebut Perang Al-Usrah, atau perang yang dipenuhi berbagai kesulitan.

Timur Tengah saat itu dilanda paceklik, namun semangat para sahabat untuk menginfakkan harta untuk berperang di jalan Allah, tetap berkobar. Syekh Akram Dhiya Al-Umuri dalam “Shahih Sirah Nabawiyah” menuliskan, sahabat Utsman bin Affan menyumbangkan 1.000 dinar untuk keperluan Perang Tabuk. Demikian pula para sahabat lainnya, bahu-membahu mempersiapkan berbagai bekal untuk pertempuran itu.

Sekitar 30 ribu personel berangkat ke Tabuk, menyongsong pasukan Romawi (Timur). Sayang, ada tiga sahabat yang tak ikut dalam perang itu. Ketiganya adalah Ka’ab bin Malik, Murarah bin Ar-Rabi, dan Hilal bin Umayyah Al-Waqif, tiga sahabat yang dikenal baik keimanannya.

Ka’ab bin Malik, yang akan dibahas dalam kisah ini, adalah sahabat yang mengikuti hampir semua pertempuran bersama Rasulullah SAW, kecuali di Perang Badar. Ka’ab juga mengikuti Bai’atul Aqabah kedua. Lalu mengapa Ka’ab tak ikut membela panji-panji agama Allah SWT di Perang Tabuk?

Ibnu Qudamah Al-Maqdisi dalam “Al-Tawwabin” menulis, seperti biasanya Rasulullah SAW paling senang mengadakan perjalanan pada hari Kamis. Ka’ab sebenarnya bertekad untuk ikut serta dalam pasukan yang menuju ke Tabuk. Kamis pagi, saat pasukan Islam akan berangkat, Ka’ab pergi ke Pasar.

Ia berangkat ke pasar untuk membeli perlengkapan yang akan digunakan untuk Perang Tabuk. Ka’ab berpikir, setelah barang yang dibutuhkannya terbeli, ia akan segera menyusul rombongan pasukan Islam. Sayangnya, hari itu barang yang dibutuhkannya tak ditemukannya di pasar. Ka’ab pun menunggu esok hari, dengan harapan barang yang dibutuhkannya tersedia di pasar.

Namun, barang-barang yang dicarinya tak kunjung ada. Hari ketiga, keempat, dan selanjutnya, pedagang yang menjual perlengkapan yang dibutuhkannya tak kunjung ada. Akhirnya Ka’ab tak bisa lagi menyusul pasukan yang dipimpin Rasulullah SAW.

Sayangnya, Ka’ab menunda-nunda mempersiapkan keperluan perang itu. Ka’ab sebenarnya tak berniat menghindari Perang Tabuk. Jadi betapa gelisahnya Ka’ab saat menyadari tak bisa bergabung dengan Rasulullah pada Perang Tabuk. Hati begitu sedih dan menyesal karena telah lalai mempersiapkan perlengkapan perang.

Rasulullah SAW dan pasukannya akhirnya sampai di Tabuk. Nabi SAW yang tak melihat sosok Ka’ab segera bertanya, “Apa yang dikerjakan Ka’ab bin Malik?” Salah seorang menjawab, “Baju dan selendangnya yang membuat dia tertinggal, ya Rasul.” Menurut Ibnu Qudamah, pernyataan itu adalah sindiran bagi lelaki yang kalah dari kemauan istrinya.

Mendengar celetukan itu, Muad bin Jabal segera menyela, “Hus…  sangat buruk apa yang kamu katakan. Demi Allah, wahai Nabi, kami tak melihat darinya kecuali kebaikan.”

Hingga Perang Tabuk berakhir, Ka’ab tak kunjung datang. Di Madinah, Ka’ab terus diliputi kesedihan. Ia sangat menyesal dan takut akan dimarahi Rasulullah SAW. Ka’ab pun pasrah. Satu hal yang diyakininya, yakni kejujuranlah yang akan menyelamatkannya.

Pasukan Rasulullah SAW pun akhirnya tiba di Madinah. Rasulullah segera memasuki masjid dan menunaikan shalat. Setiap pulang dari perjalanan jauh, Rasulullah SAW duduk di masjid dan para sahabat yang tak ikut berperang menemui Rasulullah untuk menyampaikan alasan mereka. Rasulullah pun memaafkan para sahabat yang uzur dan tak bisa bergabung dalam pasukan Islam.

Kini, tibalah Ka’ab bin Malik menghadap Rasulullah SAW. Namun, kali ini Nabi SAW tersenyum sinis kepada Ka’ab. “Bukankah kamu sudah membeli kuda?” tanya Rasulullah.

“Benar, ya Rasul,” jawab Ka’ab tertunduk. Rasul kembali bertanya, “Lalu, apa yang membuatmu tak ikut?”

“Demi Allah, sekiranya di sini tak ada orang lain selain engkau, pasti kami akan lari. Kami diberikan kesempatan untuk membela diri, tapi kami tahu, ya Nabiyullah, orang tak akan percaya. Mudah-mudahan Allah memberi tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kami,” ujar Ka’ab. Rasul lalu berkata, “Kalau itu sungguh benar kata-katamu, pergilah sampai ada keputusan dari Allah.”

Ka’ab pun pergi dengan hati yang sangat sedih. Rasulullah SAW melarang semua sahabat untuk berbicara dengan Ka’ab. Tak ada satu orang pun yang menyapa Ka’ab, seakan-akan tembok dan bumi pun ikut membencinya.

Godaan pun datang menghampiri. Seorang Nasrani mencari-carinya di pasar. Para sahabat tak ada yang bicara dan hanya memberi isyarat untuk menunjukkan Ka’ab kepada Nasrani itu.  Orang Nasrani itu tahu Ka’ab tengah mendapat hukuman. Ia lalu menawarkan kepada Ka’ab untuk bergabung dengan kaumnya. Namun, Ka’ab tak tertarik sama sekali dengan tawaran itu.

Hingga hari ke-40, utusan Rasulullah datang. Ka’ab diperintahkan untuk menjauhi istrinya. “Haruskah kuceraikan?”tanya Ka’ab. Utusan Rasulullah itu menjawab, “Tidak, tetapi jangan mendekatinya.”

Ka’ab berupaya keras untuk segera lepas dari sanksi sosial itu. Ia sempat mendatangi Abu Qatadah, anak pamannya, agar menjembataninya dengan Rasulullah SAW. Namun, Abu Qatadah tak mau berbicara kepadanya karena harus mematuhi perintah Rasulullah SAW. Ka’ab pun hanya bisa menangis.

Hari demi hari terasa begitu lama, hingga hari ke-50 tiba. Ka’ab hanya bisa shalat Fajar di balik Ka’bah. Ia benar-benar bertobat. Ka’ab berdoa dan duduk di tempat Allah biasa menurunkan wahyu kepada Rasulullah SAW.

Ia merasa sesak dan bumi terasa sempit. Tiba-tiba ia mendengar suara dari atas bukit, “Bergembiralah wahai Ka’ab bin Malik.” Ia langsung bersujud dan bersyukur. Kemudian datanglah seorang pria berkuda dan memberi kabar gembira.

Ka’ab segera menemui Rasulullah SAW di masjid. Lalu, Rasulullah SAW bersabda, “Bergembiralah, wahai Ka’ab. Telah datang kebaikan satu hari yang tak pernah terjadi sejak kamu dilahirkan ibumu.”

Ka’ab dengan wajah gembira bertanya, “Wahai Rasulullah apakah itu datang dari engkau atau dari Allah SWT?” Rasul pun bersabda, “Datang dari sisi Allah.” Lalu Nabi SAW membacakan surat At-Taubat ayat 117 hingga 119.

“Sungguh, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar, yang mengikuti Nabi pada masa-masa sulit, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.”

“Dan terhadap tiga orang yang ditinggalkan. Hingga ketika bumi terasa sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah (pula terasa) sempit bagi mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksaan) Allah, melainkan kepada-Nya saja, kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah, dan bersamalah kamu dengan orang-orang yang benar.”

Ka’ab pun berikrar di hadapan Rasulullah SAW. “Ya Rasul, sungguh di antara pertobatanku, aku tidak akan berbicara kecuali benar dan jujur, tidak mengeluarkan harta kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya.”

Rasul pun berkata, “Pegang sebagian hartamu, jangan dihabiskan, itu lebih baik bagimu.” Lalu Ka’ab kembali berjanji. “Saya akan memegang panah yang kupakai dalam Perang Khaibar.”

Yang juga harus kita ketahui tentang Kaab, dia adalah salah seorang penyair dan intelektual Muslim saat itu. Kemampuan bersyairnya merupakan warisan turun temurun dari keluarganya. Mulai dari ayahnya, yaitu Malik, hingga pamannya yang bernama Qois, semuanya adalah para penyair hebat pada masa Jahiliyah.

Ka’ab masuk islam bersama dengan 40 sahabat lainnya sejak sebelum Nabi hijrah ke Madinah, kemudian setelah masuk Islam, Ka’ab mendapat pemberian nama dari nabi yaitu Abu Abdullah.

Salah satu bukti kehebatan Ka’ab dalam bersyair bisa kita lihat dari kisah masuk Islamnya Kabilah Daus. Pada suatu hari Ka’ab ini sedang melantunkan sebuah syair depan orang-orang dari Kabilah Daus:

“Dengan rasa ragu kami lewati Tuhamah dan Khoibar, lalu kami kumpulkan pedang-pedang

Kami berikan pilihan padanya, dan jika saja bisa menjawab, maka akan berkata Daus atau Tsaqif”

(Puisi terdengar indah, salah satunya karena rima. Jadi, puisi terjemahan jelas telah kehilangan salah satu aspeknya—redaksi Jernih.co.)

Setelah selesai mendengar Ka’ab membacakan syairnya, dengan spontan Kabilah Daus ini mengumumkan bahwa mereka semua beriman dan masuk Islam tanpa terkecuali. Ini menjadi bukti betapa hebat syair Ka’ab yang begitu dahsyat dan mampu menggetarkan jiwa hingga dapat membuat kabilah Daus tadi masuk islam.

Jika Hassan bin Tsabit melontarkan syair kepada kaum kafir dengan menghina kejelekan serta keburukan mereka, dan jika Abdullah bin Rowahah melawan kaum kafir dengan syairnya yang berisikan ejekan atas kekafiran dan kekesatan mereka, itu berbeda dengan Ka’ab bin Malik. Beliau lebih banyak bersyair di medan perang, dan menggunakan syairnya ini sebagai senjata untuk melawan kaum kafir serta menyerang mental mereka di dalam medan perang.

Salah satu contoh syair Ka’ab tentang medan perang, adalah syair yang dibacakannya di salah satu perang yang ia ikuti.

Syair tersebut berbunyi:

“Hidup ayah kalian wahai Bani Luay, adalah mulia dan kehormatan bagi kalian

Kala pedang-pedang kalian beraksi di Perang Badar, mereka sudah tak sabar untuk bertemu di medan perang

Kami mendatangi Badar dengan cahaya Allah yang nyata,

kala kegelapan menyelimuti

Sang Rasul utusan Allah memerintah kami, dengan perintah dari Allah yang harus ditaati

Pedang-pedang kalian tak akan bisa menang di perang badar,

dan mereka pun tak akan kembali pada kalian seperti keadaan semula

Wahai Abu sufyan, jangan tergesa!

Pantaulah kawanan kuda semberani yang datang dari daerah Kada

Malaikat Jibril bersama kawanan itu berkat pertolongan Allah,

begitu juga dengan Mikail, duhai semerbak wanginya.” [ ]

Back to top button