Spiritus

Meneladani Abu Dzar Al –Ghiffari, Lidah Paling Lurus Setelah Nabi

Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, yang bernama al-Khizra, ia ditegur Abu Dzar: “Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan ‘israf’ (pemborosan).” Muawiyah hanya bisa bengong tidak dapat menjawab.

JERNIH—Dia bernama Jundab, seorang pemimpin besar perampok yang melakukan teror di negeri-negeri di sekitarnya. Ia lahir dari keluarga perampok Ghiffar yang tinggal dekat jalur kafilah Mekkah – Syiria. Kemudian hari ia dikenal sebagai Abu Dzar.

Tapi Jundab pada dasarnya memiliki hati yang baik. Kerusakan dan derita korban yang disebabkan oleh serangannya kemudian menjadi suatu titik balik dalam perjalanan hidupnya. Ia bukan saja sangat menyesali segala perbuatan jahatnya, tapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab meninggalkan tanah kelahirannya.

Titik balik kehidupan Abuzar ini sangat penting, karena Islam menerima anugerah, salah seorang tokoh revolusioner yang paling jujur.

Bersama ibu dan saudara lelakinya Anis, ia hijrah ke Nejed Atas. Di sini menetap salah seorang paman dari pihak ibunya. Inilah hijrah Abu Dzar yang pertama dalam mencari kebenaran dan kebajikan. Tapi tempat ini pun dia tidak bisa tinggal lama. Ide-idenya yang revolusioner juga menimbulkan kebencian orang-orang sesuku, yang kemudian mengadukannya kepada sang paman. Kini giliran rumah pamannya yang terpaksa ia tinggalkan, mengungsi ke sebuah kampung dekat Mekkah.

Bahkan sebelum masuk Islam, ia sudah mulai menentang pemujaan berhala. Dia berkata :”Saya sudah terbiasa bersembahyang sejak tiga tahun sebelum mendapat kehormatan melihat Nabi Besar Islam.”

Saudara lelakinya, Anis, yang pulang dari Mekkah membawa kabar datangnya fajar baru, agama Islam. Pada waktu itu ajaran Nabi Muhammad telah mulai mengguncangkan Mekkah dan membangkitkan gelombang kemarahan di seluruh Jazirah Arab.

Mendengar hal itu Abuzar, yang telah lama merindukan kebenaran, langsung tertarik kepada Rasulullah SAW dan ingin bertemu dengan beliau. Pergi ke Mekkah, dan sekali-sekali mengunjungi Ka’bah, sebulan lebih lamanya ia mempelajari dengan seksama perbuatan dan ajaran Nabi. Waktu itu kondisi kota Mekkah dalam suasana saling bermusuhan.

Ka’bah waktu itu masih dipenuhi berhala dan sering dikunjungi para penyembah berhala dari suku Quraisy, sehingga menjadi tempat pertemuan yang populer. Nabi juga datang ke sana untuk bersembahyang. Pada akhirnya, seperti yang diinginkannya, Abuzar mendapat kesempatan bertemu dengan Nabi. Di sana dan pada saat itulah ia memeluk agama Islam, dan kemudian menjadi salah seorang pejuang paling gigih dan berani.

Mengenyampingkan segala resiko, Abu Dzar secara terbuka memimpin sembahyang dan berkhotbah tentang agama Islam di Ka’bah. Benar saja pada suatu hari seorang penyembah berhala suku Quraisy menyerangnya dan untung Abu Dzar dapat diselamatkan oleh Abbas, paman Nabi. Abbas mengingatkan si penyerang bahwa Abu Dzar anggota penting suku Ghiffar yang mendiami jalur perdagangan mereka ke Syria. Salah-salah lalu lintas perdagangan mereka bisa terancam. Keterangan ini sementara dapat menenangkan mereka.

Sejak saat itu Abu Dzar membaktikan dirinya kepada agama Islam dan kepada pendirinya. Ia segera mendapat tempat, bahkan termasuk yang terdekat dan terpercaya di antara para sahabat Nabi, yang sempat menimbulkan iri.

Abu Dzar ditugaskan Nabi mengajarkan agama Islam di kalangan sukunya sendiri. Dia pulang ke kampung halamannya dan sangat berhasil dalam tugasnya itu. Bukan hanya ibu dan saudara lelakinya Anis, tetapi hampir seluruh sukunya yang suka merampok berhasil diislamkannya. Dia tercatat sebagai salah seorang penyiar agama Islam yang pertama dan terkemuka.

Nabi sangat menghargainya. Ketika kemudian dia meninggalkan Madinah untuk terjun dalam “perang pakaian compang-camping”, dia diangkat sebagai imam dan administrator kota itu.

Pada waktu akan meninggal, Nabi memanggil Abu Dzar dan sambil memeluknya berkata :“Abu Dzar akan tetap sama sepanjang hidupnya.” Ucapan Nabi ternyata benar, Abu Dzar tetap dalam kesederhanaan dan sangat saleh. Seumur hidupnya ia mencela sikap hidup kaum kapitalis, terutama pada masa khalifah ketiga ketika kaum Quraisy hidup dalam gelimangan harta.

Abuzar dikenal gigih dalam mempertahankan prinsip egaliter Islam. Kesetiaannya pada dan penafsirannya mengenai “Ayat Kanz” (tentang pemusatan kekayaan) menimbulkan pertentangan pada masa pemerintahan Usman, khalifah ketiga. Ayat ini terdapat dalam “Surah Taubah” dalam Al-Qur’an berbunyi:

Mereka yang suka sekali menumpuk emas dan perak dan tidak memanfaatkannya di jalan Allah, beri tahukan mereka bahwa hukuman yang sangat mengerikan akan mereka terima. Pada hari itu, kening, samping dan punggung mereka akan di cap dengan emas dan perak yang dibakar sampai merah, panasnya sangat tinggi, dan tertulis : Inilah apa yang telah engkau kumpulkan untuk keuntunganmu. Sekarang rasakan hasil yang telah engkau himpun.”

Ia menentang keras ide menumpuk harta kekayaan dan menganggapnya sebagai bertentangan dengan semangat Islam. Dia tidak dapat diajak berdamai berkenaan dengan tumbuhnya kapitalisme di kalangan kaum Muslimin di Syria yang diperintah Muawiyah. Menurut pendapatnya, adalah kewajiban orang Islam sejati menyalurkan kelebihan hartanya kepada saudara-saudaranya yang miskin.

Untuk memperkuat pendapatnya itu, Abuzar mengutip peristiwa semasa Nabi seperti yang diceritakan berikut ini:

“Pada suatu hari, ketika Nabi Besar sedang berjalan bersama-sama Abu Dzar, terlihat pegunungan Ohad, lalu beliau berkata kepada Abuzar: “Jika aku mempunyai emas seberat pegunungan yang jauh itu, aku tidak perlu melihatnya dan memilikinya kecuali bila diharuskan membayar utang-utangku. Sisanya akan aku bagi-bagikan kepada hamba Allah.”

Abu Dzar hidup menurut cara yang dianggapnya benar dan menjalankan sendiri apa yang diajarkannya. Ia bersikap tanpa kompromi terhadap kapitalisme, terhadap orang yang berkedudukan tinggi sekali pun.

Abu Hurairah adalah sahabat Nabi yang namanya masyhur yang diangkat sebagai gubernur Bahrain. Suatu hari, ia datang mengunjungi Abu Dzar, tapi yang dikunjungi menolak bertemu pada mulanya. Ketika ditanyakan mengapa dia begitu jengkel kepada Abu Hurairah, tercermin dalam tanya jawab berikut:

“Anda telah diangkat sebagai gubernur Bahrain.” “Benar,” jawab Abu Hurairah. “Di sana Anda tentunya telah membangun rumah seperti istana dan membeli sebidang tanah yang luas,”tambah Abu Dzar. “Tidak benar itu,” jawab Abu Hurairah lagi. “Kalau begitu Anda adalah saudaraku,” kata Abu Dzar kemudian dan langsung memeluknya.

Selama pemerintahan dua khalifah pertama, ajaran Abu Dzar tidak pernah mendapat tantangan. Dia hidup tenteram dan dihormati semua orang. Kesulitan timbul pada masa pemerintahan khalifah ketiga.

Ketika Abu Dzar pindah ke Syria, ia menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu mereka telah menumpuk harta secara melimpah ruah.

Ajaran egaliter Abu Dzar telah membuat bangkitnya masa melawan mereka. Ia menjadi duri dalam daging bagi pemerintahan setempat. Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, yang bernama al-Khizra, ia ditegur Abu Dzar:

“Kalau Anda membangun istana ini dari uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan ‘israf’ (pemborosan).” Muawiyah hanya bisa bengong tidak dapat menjawab.

Muawiyah berusaha keras agar Abuzar tidak meneruskan ajarannya, tapi sang penganjur egalitarianism tetap tegar pada prinsipnya. Muawiyah kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abu Dzar dan ahli-ahli agama Islam, tapi pendapat para ahli itu tidak mempengaruhinya.

Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan pengajarannya. Tapi ternyata rakyat berduyun-duyun meminta nasehat Abu Dzar. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada Khalifah Usman. Ia mengatakan bahwa Abu Dzar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang dianggapnya dapat membawa akibat yang serius.

Abu Dzar segera dipanggil menghadap khalifah di Madinah. Pergi memenuhinya, ia masih jauh di luar kota, ketika penduduk Madinah telah keluar menyongsongnya. Sahabat Nabi itu menerima ucapan selamat datang yang hangat.

Di Madinah, Abu Dzar juga tidak dapat hidup tenteram. Sebagian orang-orang kaya kota mengkhawatirkan aktivitasnya yang menganjurkan pemerataan penyaluran harta kekayaan.

Akhirnya khalifah menyelenggarakan diskusi tentang masalah itu, yang mempertemukan Abu Dzar dengan Ka’ab Ahbar, seorang terpelajar. Dalam kesempatan itu, Kaab Ahbar mempertanyakan apa yang diinginkan dengan mempertahankan hukum warisan dalam yurisprudensi Muslim, padahal Islam tidak mengizinkan penumpukan harta. Masalah ini sesungguhnya berada di luar pokok persoalan.

Seperti yang diduga, diskusi tidak membawa hasil. Usman kemudian meminta Abu Dzar meninggalkan Madinah untuk tinggal di Rabazah, sebuah kampung kecil yang terletak di jalur jalan Irak – Madinah. Musuh-musuh Islam, seperti Abdullah ibn Saba, mencoba memanas-manasi Abu Dzar untuk memberontak kepada khalifah.

Abu Dzar justru menjadi marah dan berkata: “Walaupun Usman menggantungku di bukit yang paling tinggi sekali pun, aku tidak akan mengangkat jariku untuk melawannya.”

Seperti layaknya Muslimin sejati, Abu Dzar tunduk pada pemerintah pusat kekuasaan Islam. Dia melaksanakan perintah pindah ke Rabazah dan meninggal di sana pada tanggal 8 Dzulhijah tahun 32 H. Jasadnya terbaring di jalur kafilah, dan hanya ditunggui jandanya. Tampaknya tidak ada seorang pun yang membantu menguburkannya. Tiba-tiba di kaki langit muncul sebuah kafilah haji yang sedang menuju ke Mekkah. Ketika diberitahukan itulah mayat almarhum Abu Dzar, sahabat Nabi yang terpuji, mereka segera memutuskan berhenti di sana. Jenazah Abu Dzar mereka sembahyangkan dipimpin Abdullah ibn Mas’ud, seorang cendikiawan Islam terkenal, untuk kemudian dikuburkan.

Demikianlah akhir hidup sahabat Nabi yang terpercaya itu, yang dengan gigih mengajarkan dan melaksanakan semangat jiwa sosial yang sejati.

Imam Ali bin Abi Thalib R.A. pernah berkata,”Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali Abu Dzar, yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat agama, bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali.” [ ]

Back to top button