Spiritus

Sahabat Abdullah bin Ummi Maktum, Muslim Buta Pertama yang Berjuang dalam Perang, Pernah Ditolong Iblis

Keinginan kuat Abdullah untuk ikut berperang itu pun terlaksana pada perang penaklukan Persia, Perang Qadisiyah. Ia berdiri tegak di antara pasukan penyerang Muslim, sebagai pembawa panji pasukan berwarna hitam

JERNIH—Dia adalah sahabat yang memiliki keterbatasan, disabilitas. Kedua matanya buta. Namun Allah menggantikan kebutaan matanya dengan cahaya yang memancar di hatinya. Dengan semua itu ia dapat melihat dengan mata hati apa-apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala orang lain. Hati Abdullah bin Ummi Maktum dapat mengetahui apa yang tersembunyi.

Bila Rasulullah SAW pergi ke berbagai medan perang, dia selalu ditunjuk menjadi wakil beliau di Madinah, mengimami shalat jamaah di mihrab beliau, dan berdiam di sebelah kiri mimbar dengan khusyuk.

Pada awal sejarah Islam, Abdullah bin Ummi Maktum memperoleh hidayah untuk bergabung bersama orang-orang yang telah memeluk Islam. Ketika itu ia masih muda belia, sehingga hatinya merasakan betul manisnya keimanan. Menginjak dewasa, dia merasakan bahwa ajaran Islam telah menjadikan hatinya bersih, sehingga walaupun matanya tak mampu melihat, namun itu merupakan nikmat besar yang dikaruniakan Allah kepadanya.

Ibnu Ummi Maktum mempunyai naluri yang sangat peka untuk mengetahui waktu. Setiap menjelang fajar, dengan perasaan jiwa yang segar ia keluar dari rumahnya, dengan bertopang tongkat atau bersandar pada lengan salah seorang kaum Muslimin untuk mengumandangkan azan di masjid Rasul.

Dia selalu bergantian azan dengan Bilal bin Rabah. Jika salah satu dari mereka berdua azan, maka yang lainnya bertindak mengumandangkan iqamat. Namun Bilal mengumandangkan azan semalam untuk membangunkan kaum Muslimin, sedangkan Ibnu Ummi Maktum mengumandangkannya waktu Subuh.

Karena itulah, Rasulullah bersabda—terkait waktu sahur pada bulan Ramadhan,”Makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan…”

Allah telah memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum. Ketika Nabi sedang duduk bersama dengan para pemuka Quraisy, diantara mereka terdapat Uqbah bin Rabi’ah.

Tiba-tiba Ibnu Ummi Maktum datang menanyakan tentang sesuatu kepada beliau, namun beliau mengelak karena sibuk berbicara dengan para tokoh Quraisy itu. Allah pun menurunkan ayat yang berbunyi: “Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa), atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup, maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran), sedang ia takut kepada (Allah), maka kamu mengabaikannya.” (QS Abasa: 1-10).

Sewaktu ayat ini turun, Rasulullah kemudian memanggil Ibnu Ummi Maktum dan memberinya suatu kehormatan dengan menunjuknya sebagai wakil beliau di Madinah pada saat beliau menghadapi peperangan untuk yang pertama kalinya.

Suatu ketika Abdullah bin Ummi Maktum menyampaikan keinginannya untuk dapat ikut berjihad kepada para sahabat. Tentu saja para sahabat merasa sangat senang karena keutamaan yang dimiliki Ibnu Ummi Maktum. Walau matanya buta, telah lama ia mengharapkan dapat ikut berperang bersama Rasulullah dan pasukan Muslimin.

Abdullah bin Ummi Maktum merasa sangat sedih dan pilu tatkala ayat turun wahyu kepada Rasulullah yang berbunyi, “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang).”

Ia pun berkata, “Ya Allah, Kau memberiku ujian begini, bagaimana aku dapat berbuat…?” Kemudian turunlah ayat lainnya, “Selain yang mempunyai udzur…”

Kemuliaan seperti apakah gerangan yang lebih tinggi dari penghormatan ini, di mana wahyu diturunkan dua kali lantaran persoalan Ibnu Ummi Maktum; yang pertama merupakan teguran terhadap Rasulullah SAW, dan yang kedua ketentuan berperang bagi orang yang mampu dan berhalangan, termasuk di antaranya adalah Abdullah bin Ummi Maktum.

Walau demikian, Ibnu Ummi Maktum tetap mempunyai hasrat yang kuat untuk berjihad fi sabilillah bersama barisan kaum Muslimin. Dia telah mengutarakan hasratnya berulangkali. Dia berkata kepada para sahabat Rasulullah, “Serahkanlah panji kepadaku, karena sesungguhnya aku adalah seorang buta sehingga tidak akan dapat melarikan diri. Tempatkanlah aku di antara kedua pasukan!”

Sang sahabat yang mulia dan agung ini tidak berakhir hayatnya sebelum Allah mengabulkan hasrat hatinya tersebut. Pada saat Perang Qadisiyah, ia turut berperang sebagai pembawa panji pasukan berwarna hitam. Dialah seorang buta pertama yang turut berperang dalam sejarah peperangan Islam.

                                      **

Abdullah yang pernah bertanya kepada Rasulullah berkaitan dengan keterbayasan dirinya. “Wahai Rasulullah SAW, apakah saya juga diwajibkan shalat di masjid, meskipun tidak bisa melihat?” tanya Abdullah.

Rasulullah SAW pun menjawab, “Apakah Engkau mendengar seruan azan?”

“Ya, saya mendengarnya,” jawab Abdullah.

Maka, Rasulullah SAW pun memerintahkannya agar tetap pergi ke masjid meskipun sambil merangkak.

Sejak saat itu, Abdullah selalu rajin untuk bergegas ke masjid setelah mendengar azan meskipun dengan kondisi fisik yang dialaminya. Namun, suatu ketika saat Abdullah dalam perjalanan menuju masjid, ia tersandung batu hingga mengeluarkan darah. Akan tetapi, alih-alih kembali ke rumah, Abdullah tetap melangkahkan kaki ke masjid.

Keesokan harinya, Abdullah kembali berjalan menuju masjid untuk menunaikan salat dengan luka di kakinya akibat tersandung. Menariknya, selama beberapa hari ada seseorang yang membantunya berjalan menuju masjid.

Rasa penasaran Abdullah pun menguat, ia pun bertanya siapakah pemuda yang menolongnya mengantar ke masjid.  “Wahai saudaraku, siapakah namanu? Aku ingin mengetahuinya agar bisa mendoakanmu kepada Allah SWT,” kata Abdullah.

“Apa untungnya bagimu mengetahui namaku? Aku pun tak mau engkau doakan,” jawab pemuda tersebut.

Sembari memegang tangan pemuda tersebut, Abdullah pun menyampaikan supaya pemuda itu tidak membantunya. “Aku tak mau Engkau menolongku lagi karena kau tak mau didoakan,”ujar Abdullah.

Akhirnya, pemuda tersebut memperkenalkan diri. “Wahai Abdullah Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis.”

Abdullah tersentak, “Kalau memang iblis, mengapa Engkau menolong dan mengantarku ke masjid? Bukannya Kau seharusnya mencegahku ke sana?” tanya Abdullah.

“Wahai Abdullah Ummi Maktum, masih ingatkah Engkau beberapa hari yang lalu tatkala dirimu hendak berangkat ke masjid dan tersandung batu? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab, lantaran Engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau Engkau tersandung lagi, Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami setan menggodamu selama ini,” jawab iblis. [  ]

Back to top button