Veritas

Bagaimana Taiwan dan Somaliland Menghancurkan Virus Corona?

Pemerintah mana pun seharusnya hanya mendapatkan bantuan ketika mereka menunjukkan kapasitas untuk membelanjakannya secara efektif daripada mencurinya. Sudah waktunya komunitas internasional lebih menghargai pemerintahan yang baik, daripada hanya buang-buang uang percuma untuk dicuri pemerintahan yang buruk

WASHINGTON,DC– Baik dengan latar belakang wabah SARS di Cina dan sekarang COVID-19, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengabaikan Taiwan dan 23 juta warganya karena kepatuhan diplomatik mereka kepada Beijing. Taiwan,–bagaimanapun, telah menguji, mengidentifikasi, dan merespons pandemi ini jauh lebih baik daripada otoritas komunis di Cina yang strateginya secara konsisten menyangkal dan menutup-nutupi.

Sementara Cina mengakui lebih dari 3.000 kematian akibat virus corona di Hubei, jumlah sebenarnya kemungkinan lebih tinggi secara eksponensial. Tidak ada diplomat, analis, atau jurnalis yang bisa mempercayai data dari kalangan diktator.

Pola yang sama berlaku untuk Somaliland dan Somalia. Donald Yamamoto, duta besar Amerika Serikat untuk Somalia, telah berusaha untuk menyalurkan semua bantuan melalui pemerintah Somalia yang sangat cacat untuk membantu membangun kekuatan menghadapi corona. Logika sederhananya jelas salah: dia percaya bahwa menyalurkan bantuan melalui pemerintah Somalia akan memungkinkan presiden dan perdana menteri Somalia untuk mengkonsolidasikan kekuatan dan kontrol yang tidak hanya atas enam negara bagian Somalia, tetapi juga di dalam ibukota sendiri, di mana mereka memegang sedikit kekuasaan di luar kekuasaan mereka.

Strategi Yamamoto mengabaikan sejarah dasar Somalia. Konsensus literatur akademis tentang Somalia menunjukkan bahwa pertikaian tentang bantuan asing mempercepat kegagalan negara itu, ketika berbagai pemimpin klan dan penguasa berusaha mengubah akses terhadap bantuan menjadi kekuatan pribadi. Serbuan gila terjadi untuk memiliki dan menjarah apa pun yang bisa dikendalikan atau dijual oleh aktor politik mana pun. Dinamika yang sama terus berlanjut hingga hari ini. Transparency International telah menempatkan Somalia sebagai negara paling korup di dunia selama 16 tahun terakhir. Dengan kata lain, investasi dan bantuan uang lebih kecil kemungkinannya untuk dicuri atau dialihkan ke Korea Utara, Sudan Selatan, Afghanistan, Venezuela, atau Yaman daripada untuk Somalia.

Somalia harus dalam kondisi yang baik. Tak lama sebelum krisis coronavirus melanda, Kongres AS memaafkan utang Somalia sebesar 1 miliar dolar AS kepada warga AS pembayar pajak, sebagai bagian dari upaya internasional yang lebih luas. Sementara ada  5 miliar dolar AS diberikan sebagai cek kosong untuk pemerintah baru. Melempar uang di Somalia mungkin membuat disfungsi menjadi lebih buruk. Pemerintah Somalia tentu saja lebih suka disusui donor internasional: Menteri Keuangan Abdirahman Duale Beile memberikan konferensi pers di Mogadishu pada hari Senin, 13 April, di mana ia mengatakan Somalia membutuhkan 240 juta dolar AS stimulus tambahan karena pandemi tersebut.

Dia mengatakan strateginya adalah untuk “meminta” komunitas internasional untuk dana tambahan. Dia tidak menyebutkan kasus Mohamud Mohamed Buule, direktur keuangan di Kementerian Kesehatan, yang awal bulan ini tampaknya melarikan diri sambal menggondol dana sebelumnya yang dialokasikan untuk mengatasi virus corona.

Mohamed Moalimuu, sekretaris jenderal Federasi Jurnalis Somalia, melaporkan bahwa pemerintah juga mencari tersangka lain dari Kementerian Kesehatan. Walikota Mogadishu, sementara itu, menuduh pemerintah berbohong tentang tingkat infeksi.

Sementara Somalia telah menerima bantuan internasional, pemerintahnya– dengan dukungan Yamamoto, telah menolak untuk mendistribusikan bantuan apa pun kepada Somaliland, negara bagian tidak dikenal, yang menyumbang sepertiga dari total populasi Somalia, dan telah memerintah dirinya sendiri secara demokratis sejak 1991.

Namun demikian, Somaliland, telah berhasil mengendalikan penyebaran virus tanpa bantuan internasional. Sebaliknya, malah negara itu telah mengumpulkan 15 juta dolar AS dari basis pajaknya sendiri. Lima belas juta dolar AS, yang dialokasikan dan diaudit dengan cermat, bisa jauh lebih efektif daripada 240 juta atau  1 miliar dolar AS dana dari donor internasional yang besar kemungkinan akan dikorup.

Ada pelajaran di sini untuk orang-orang baik di komunitas internasional dan Departemen Luar Negeri AS yang memprioritaskan kekuasaan di atas akuntabilitas demokratis, dan percaya bahwa uang mengalahkan kompetensi. Mungkin sudah waktunya untuk mengakui bahwa kapasitas dan transparansi jauh lebih berarti daripada uang tunai. Pengakuan diplomatik atau tidak, pemerintah mana pun seharusnya hanya mendapatkan bantuan ketika mereka menunjukkan kapasitas untuk membelanjakannya secara efektif daripada mencurinya. Sudah waktunya untuk menghargai pemerintahan yang baik, daripada hanya buang-buang uang percuma untuk dicuri pemerintahan yang yang buruk. [Michael Rubin/National Interest]

Back to top button