DesportareVeritas

Dari Desa Termiskin di Dunia, Lahirlah Sadio Mane

  • Sadio Mane lari dari rumah pada usia 15 tahun, meninggalkan sekolah, mengejar karier di Dakar, ibu kota Senegal.
  • Sadio Mane dendam pada kemiskinan. Ayahnya meninggal akibat tidak bisa ke rumah sakit. Kini dia membangun rumah sakit.
  • Sadio Mane menempuh pendidikan di sekolah kumuh tanpa fasilitas, kini dia membangun sekolah penuh fasilitas.
  • Sadio Mane menghadapi kenyataan lain. Sukses dirinya membuat semua anak ingin menjadi pemain sepakbola, dan tidak mau sekolah.

Dakar — Sadio Mane masih berusia tujuh tahun ketika menuju lapangan sepakbola, dan seorang rekannya datang memberi tahu; “Sadio, ayahmu meninggal.”

Sadio menjawab; “Benarkah…! Mane mengira rekannya bercanda. Ternyata tidak. Sadio berlari ke rumah, dan menemukan sang ayah terbaring tak bernyawa, dikeliling keluarga yang menangis.”

Itu sekelumit adegan dalam Sadio Made In Senegal, sebuah film dokumenter tentang Sadio Mane. Film dibuat di Bambali, sebuah desa di Propinsi Sedhiou yang diidentifikasi Bank Dunia sebagai wilayah dengan 70 persen penduduk hidul di bawah garis kemiskinan absolut.

Ayah Sadio Mane seorang guru agama, yang mengajarkan keluarga dan semua penduduk desa membaca Alquran, dan secara rutin memimpin shalat Jumat. Maje kecil, jika tidak bermain bola, secara rutin membersihkan masjid tak jauh dari rumahnya.

Film dokumenter secara utuh menampilkan perjalanan Sadio Mane dari miskin papa menjadi kaya raya. Ada wawancara dengan rekan-rekan Sadio di Liverpool; Mohammad Salah yang kerap sujud bersamanya usai mencetak gol, pelatih Juergen Klopp yang memberinya kepercayaan, serta Virgil van Dijk yang selalu setia mendengarnya bicara.

Film dimulai dengan kabar kematian ayah Mane, karena dari sinilah striker Liverpool itu memulai perjalanan hidupnya.

“Sebelum meninggal, ayah sakit berminggu-minggu,” kata Mane kepada The Guardian. “Keluarga membawanya ke seorang tabib dan diobati secara tradisional.”

Obat tradisional membuat ayah Mane sembuh, tapi hanya tiga bulan. Ketika sakit lagi, yang diperlukan bukan lagi tabib tapi rumah sakit. Tidak ada rumah sakit di Bambali.

Keluarga harus membawa ayah Mane ke desa lain yang jauh, dengan berjalan kaki. Belum lagi itu dilakukan, sang ayah meninggal.

“Ayah selalu mengatakan sangat bangga kepada saya,” kenang Sadio Mane dengan air mata berlinang dan suara serak. “Dia lelaki berhati besar.”

Hari-hari tanpa ayah dilewati Sadio dengan sangat sulit. Ia harus membatu sang ibu. Di sisi lain, dia harus mengejar cita-cita; menjadi pemain sepakbola profesional.

Hari ini, dua dekade setelah kematian sang ayah, Sadio Mane membangun rumah sakit. Enam bulan lagi rumah sakit itu selesai, dan resmi digunakan.

Tidak hanya rumah sakit, Sadio Mane juga membangun sekolah dan fasilitas lain. Alasan di balik filantrofi ini hanya satu; kematian sang ayah.

“Saudara perempuan saya lahir di rumah, karena tidak ada rumah sakit. Kini saya membangun rumah sakit untuk memberi harapan pada semua orang,” kata Sadio Mane.

Melarikan Diri

Sadio Mane mewariskan seluruh karakter ayahnya. Ia keras, dan bisa membangkang.

Ia berkali-kali meyakinkan keluarganya agar mengijinkannya meninggalkan sekolah dan mengejar cita-cita menjadi pemain sepakbola profesional. Tak ada yang mau mendenganya.

Pada usia 15 tahun, Sadio Mane tak tahan lagi dengan sikap keluarga yang menahannya. Dibantu Luc Djiboune, teman masa kecilnya, Sadio Mane melarikan diri dari rumah

“Saya harus pergi mengejar mimpi, karena saya tidak pernah berhenti bermimpi,” kenang Sadio Mane. “Saya pergi ke Dakar, dan tidak satu pun orang di kota itu yang saya kenal.”

Di Bambali, keluarga Sadio Mane tidak punya pilihan lain selain merestui kepergian sang bocah berkeinginan keras. “Banyak yang membantu saya. Ibu berdoa setiap hari untuk saya,” kata Sadio Mane.

Tidak sulit bagi Sadio Mane masuk ke Generation Foot Academy di Dakar, ibu kota Senegal. Namun perjalanan kariernya baru dimulai ketika dia mencetak empat gol dalam laga uji coba.

“Saya pikir mereka terkesan,” kata Mane, yang saat itu berada di bawah pengawasan Mady Toure.

Mane menggambarkan Mady Toure sebagai ayah kedua. Perjalanan karier Mady Toure sebagai pemain sepakbola sangat luar biasa. Ia dicomot Metz, klub di Liga 1 Prancis, tahun 2011 dan pindah ke Red Bull Salzburg. Mady memainkan peran kunci dalam perjalanan Senegal ke perempat final Olimpiade 2012.

Saat masih melatih Borussia Dortmund, Klopp terkesan dengan Mane tapi melewatkan kesempatan mengontraknya.

“Klopp bilang saya ini seperti rapper,” kenang Mane sambil terkekeh. “Itulah bagian dari kehidupan. Siapa pun tidak pernah tahu bagaimana akan bergaul.”

Klopp, masih menurut Mane, pasti melakukan kesalahan. “Namun saya tahu harus berbuat lebih banyak sampai saya bertemu Klopp lagi,” kata Mane.

Tahun 2016, setelah Mane mencetak empat gol dalam tiga lawa melawan Liverpool, Klopp tidak ingin lagi melakukan kesalahan kedua. Mane, yang saat itu memperkuat Southampton, segera diboyong.

Mane kerap tidak bisa menyembunyikan kekagumannya kepada Klopp. Itu diperlihatkan ektiak Liverpool melakukan comeback mengesankan saat melawan Barcelona di semifinal Liga Champions tahun lalu.

“Yang membuat saya mengagumi Klopp adalah dia tidak berhenti percaya pemainnya bisa memenangkan laga,” kata Mane.

Satu jam sebelum laga kedua melawan Barcelona, lanjut Mane, Klopp menghadapi kenyataan harus bermain tanpa dua striker terbaik di dunia; Roberto Firmino dan Mohammed Salah. Klopp berbicara kepada pemain; lepaskan tekanan dan bermainlah sebaik mungkin.

Setelah laga final melawan Tottenham Hotspurs di Madrid, ada perayaan luar biasa di ruang ganti. Di Bambali, seperti diperlihatkan dalam film dokumenter itu, orang-orang larut dalam tangis haru dan gembira.

Beberapa hari setelah final Liga Champions, Mane kembali ke Bambali. Publik menyambutnya di kedua sisi jalan. Meneriakan namanya.

Mane melihat wajah perempuan tua yang dikenalnya. Ia menghampirinya dan bertanya; “Bukankah saya telah memberi nomor telepon, mengapa tidak pernah menelpon saya?”

“Saya belum punya telepon,” jawab wanita tua itu, yang tak lain adalah ibu Sadio Mane.

Sepanjang film, kerendahan hati Mane tergambar jelas. Ia berbicara di depan kerumanan anak-anak muda di luar sekolah.

“Sekolah adalah kunci,” kata Mane kepada mereka. “Dahulukan sekolah, karena saat ini kalin punya gedung dan fasilitas sekolah yang tidak pernah saya nikmati.”

Semua murid terdiam mendengar nasehat Mane. Tidak ada yang menjawab, atau melakukan apa pun. Ketika Mane pergi, mereka hanya menjawab salam.

Belakangan Mane sadar, kesuksesan dirinya sebagai pemain sepakbola membuat anak-anak di desanya tak mau bersekolah tapi bermain sepakbola. Semua anak sekolah ingin mereplikasi perjalanan Sadio Mane.

Back to top button