Veritas

Di mana Ada Demonstrasi, Di Situ Nongkrong Street Medics

Safa Abdulkadir, Ahmed Owda, hanyalah sedikit nama dari ratusan mahasiswa kedokteran yang kini tergabung dalam banyak koalisi yang hadir dalam demonstrasi untuk menolong para demonstran cedera

Oleh   : Emma Grillo

NEW YORK CITY– Ketika Safa Abdulkadir, seorang mahasiswa kedokteran tahun pertama di University of Minnesota, ikut ambil bagian dalam sebuah demonstrasi kepedulian terhadap kematian George Flyoid, di Minneapolis, tak pernah terbersit di kepalanya bahwa pengetahuan medisnya akan sangat berguna. Saat itu, di siang hari yang panas pada 26 Mei, Nona Safa hanya hadir sebagai seorang pengunjuk rasa. Jas lab putih yang ia kenakan, saat itu tak lebih dari simbol bahwa komunitasnya, para profesional dan mahasiswa di bidang medis.

“Saya datang untuk menunjukkan saya peduli pada kejadian itu. Saya peduli, dan saya ingin orang-orang tahu,” kata Safa.

Namun, tak lama kemudian seorang wanita, dekat dengan kerumunannya, tersungkur menangis. Ternyata dadanya terkena peluru karet, membuatnya sedikit sesak. Ketika Safa mendatangi kelompok itu, ia ditanya apakah dirinya seorang dokter.

“Saya mahasiswa kedokteran,” jawab Safa, yang membuat mereka kemudian memintanya memeriksa luka gadis tersebut. Pada saat Safa memeriksa, orang-orang di sekitarnya mengelilingi, membentuk penghalang yang memungkinkan Safa bekerja lebih tenang. Dia menemukan beberapa memar di tubuh wanita muda tersebut, namun taka da trauma parah. Safa kemudian memperban luka  itu. Kebetulan, entah bagaimana, di sakunya ada perban yang memungkinkannya memberikan kompres dingin.

“Setelah hari itu,” kata Safa,” Saya memutuskan untuk senantiasa hadir di berbagai demonstrasi, kali ini dengan niat untuk membantu orang-orang yang terluka.”

Safa dan beberapa teman sekelasnya kini mulai membawa persediaan peralatan P3K, seperti perban, kain kasa, dan campuran susu magnesium dan air untuk melawan gas air mata. Mereka menggunakan lakban merah untuk membuat salib pada mantel putih yang mereka kenakan. Dalam beberapa hari mereka pun menemukan profesional medis lain telah mendirikan stasiun triase sukarela untuk melayani perawatan para demonstran yang terluka.

Safa hanyalah salah satu dari sekian banyak orang di berbagi kota di AS yang menyediakan perawatan medis selama rangkaian demo kepedulian terhadap George Floyd. Para sukarelawan ini sering menyebut diri mereka sebagai petugas medis jalanan (street medics), dan memiliki bentang sejarah yang merujuk gerakan hak-hak sipil. Istilah itu merujuk pada sekelompok orang yang longgar dan informal, dengan berbagai tingkat pengalaman medis, dari dokter hingga amatir, yang menghadiri demonstrasi khusus untuk memberikan perawatan medis yang mungkin diperlukan para peserta.

Seorang petugas Street Medics menolong pengunjuk rasa yang terpapar gas air mata

Koalisi petugas medis jalanan telah terbentuk, dan banyak yang menawarkan pelatihan 20 jam untuk memperkenalkan peserta pada keterampilan memberikan bantuan P3K, seperti merawat mereka yang mengalami dehidrasi atau paparan gas air mata. Beberapa organisasi, seperti Koalisi Do No Harm, juga menawarkan bridge training untuk memperkenalkan para profesional medis dengan dunia kedokteran jalanan.

Ahmed Owda, seorang mahasiswa kedokteran tahun keempat di Universitas Columbia, menonton lebih dulu salah satu webinar koalisi ini, ketika dia bersiap untuk terjun, turut dalam sebuah aksi protes sebagai petugas street medics di New York.

“Saya seorang pria Afrika-Amerika, dan kenyataan itu adalah salah satu hal yang mengilhami saya untuk menjadi dokter. Sekian banyak perbedaan yang kami saksikan di komunitas kulit berwarna,” katanya. Ketika dia melihat contoh-contoh kekerasan polisi terhadap demonstran di seluruh negeri, Owda mengatakan bahwa meskipun dia belum menjadi dokter, dia merasa penting untuk menggunakan posisi dan pengetahuan tentang perawatan kesehatan untuk membantu para demonstran dengan apa yang dia bisa. Dia telah menghadiri sekian banyak protes di New York, dengan bawaan botol-botol air dan kotak P3K, meski belum harus memberikan perawatan langsung.

Duck Bardus, seorang petugas street medics di Columbus, Ohio, pertama kali menyelesaikan pelatihan medis jalanan pada demo yang digelar di Standing Rock Reservation, 2016 lalu. Sejak itu, Bardus telah terlibat dalam ratusan protes. Baru kali ini ia mengaku dan menyaksikan pertama kalinya terjadi kekerasan yang justru ditujukan kepada mereka yang jelas menandai diri sebagai petugas street medics.

“Saya tidak pernah kena tembakan peluru, saya tidak pernah diperlakukan buruk saat ikut demo. Namun semua hal itu terjadi selama pekan-pekan terakhir di sini, di Columbus,” kata Bardus.

Bardus memperkirakan, selama dua pekan terakhir mereka telah merawat 150 hingga 200 orang, paling sering karena cedera iritasi bahan kimia. Mereka bahkan berkali-kali meminta datangnya ambulans. Bagaimana pun teknisi tanggap darurat medis tidak selalu dapat menjangkau orang-orang yang terluka dalam kerumunan, dan itulah fungsi penting petugas street medics.

Pada 28 Mei, Bardus mengatakan, para sukarelawan street medics itu tengah bersama sekelompok pengunjuk rasa damai, ketika polisi justru mulai “membombardir mereka dengan semprotan gas air mata dan merica.”

“Saya merawat orang yang sama tiga kali dalam 15 menit,” kata Bardus. “Saya belum pernah melihat seorang demonstran memungut bahan kimia yang menyebabkan iritasi buruk seperti itu untuk melemparkannya kembali kepada polisi. Dia datang, dan muncul lagi. Para demosntrans itu sangat sangat ulet. Tekad mereka benar-benar kuat.”

Darien Belemu, seorang mahasiswa pascasarjana di John Jay College of Criminal Justice, mengatakan, kecilnya kemungkinan petugas gawat darurat mencapai seorang pemrotes yang cedera pada waktunya,  adalah salah satu motivasi utamanya untuk bekerja sebagai petugas street medics pada protes di New York.  Belemu memiliki sertifikasi EMT-B, dan mengambil kursus pelatihan street medics, dirancang untuk orang yang memiliki pengalaman medis oleh sebuah koalisi di New York.

“Saya melihat banyak anak berusia 19-20 tahun, yang melakukan hal-hal yang heroic,  berdiri di depan sekawanan polisi, dan memastikan mereka sadar, tak takut dengan kebrutalan polisi,” kata Belemu. “Itu membuat saya takut dan berpikir, kuatir mereka tidak akan mendapatkan perawatan, terutama jika mereka mendapat luka di kepala yang akan mempengaruhi kemampuan mereka untuk hidup normal.”

Belemu mengatakan, pada 30 Mei dia merawat seorang pengunjuk rasa yang cedera karena polisi langsung menyemprotkan cairan kimia ke wajahnya. Ketika pengunjuk rasa berbalik untuk kabur, Belemu menyaksikan seorang polisi memukul demonstran di pangkal tengkoraknya dengan tongkat. Belemu yang segera menghampirinya melihat darah terus deras membual dari luka tersebut.

“Di situlah batang otak Anda berada, dan pembengkakan di sana dapat mengancam kemampuan seseorang untuk bernapas, bahkan bisa menghentikan detak jantung,” kata Belemu. Belemu dan seorang pekerja medis terdekat merawat pemrotes tersebut, mendesaknya untuk segera pergi ke rumah sakit jika dia muntah atau merasa sakit kepala.

Bagi banyak petugas medis jalanan, coronavirus hanya membuat pekerjaan mereka terasa lebih mendesak. Petugas polisi telah menggunakan gas air mata pada pengunjuk rasa, yang sering menyebabkan orang jadi batuk-batuk, dan berpotensi menambah penyebaran virus. Beberapa pejabat kesehatan telah menyuarakan keprihatinan mereka, dan sebagian besar petugas street medics membawa masker untuk dibagikan kepada para pengunjuk rasa. Mereka pun mencoba untuk mengganti sarung tangan sesering mungkin saat merawat orang.

“Saya kuatir, Garda Nasional dan Polisi menggunakan hal-hal seperti gas air mata dan semprotan merica, padahal kita berada dalam pandemic. Paparan yang terjadi dapat meningkatkan risiko orang terkena Covid-19,”kata Dominique Earland, seorang dokter tahun pertama, petugas street medics dan mahasiswa PhD di University of Minnesota.

“Terutama, sebagai wanita kulit hitam, saya tahu bahwa komunitas kulit hitam secara tidak proporsional sebelumnya telah dipengaruhi Covid,” kata dia.

Ahmed Owda berbagi keprihatinan Nona Earland. “Jelas Covid adalah bencana luar biasa,” katanya. “Tetapi dalam banyak hal dalam kehidupan saya sehari-hari, kekerasan polisi adalah ancaman yang lebih besar bagi saya, daripada Covid.”

Ada beberapa contoh terdokumentasi dari polisi yang menghancurkan persediaan obat-obatan yang dibawa street medics. Safa dan Earland mengatakan, pada 30 Mei mereka harus melarikan diri dari tenda triage, tempat mereka membantu para pengunjuk rasa, karena para polisi mulai menembakkan peluru karet ke arah mereka . “Saya tidak dapat memastikan hal itu,” kata John Elder, juru bicara Departemen Kepolisian Minneapolis. “Aku tidak tahu itu.”

Jawaban itu hanya membuat Earland berkata, “Saya kira saya memang naif. Bahkan setelah sebagian besar kehidupan saya mempersaksikan bahwa polisi akan sangat brutal kepada orang-orang di komunitas kulit hitam. Tadinya, saya pikir mantel putihku ini bisa melindungi.” [The New York Times]

Back to top button