Veritas

Facebook dan Bahaya Genosida di Ethiopia

  • Ethiopia bukan satu-satunya ‘korban’ Facebook. Di Myanmar, Facebook membiarkan ujaran kebencian terhadap Rohingya, pembunuhan berlangsung.
  • Di Ethiopia, 80 etnis saling serang setelah kematian penyanyi Hachalu Hundessa.

Addis Ababa — Sepanjang hidupnya penyanyi Hachalu Hundessa menyuarakan cinta, persatuan, dan mengangkat suara etnis Oromo — kelompok paling marjinal di Ethiopia.

Hundessa memisahkan profesi penyanyi dan politik, dengan mengatakan; “Seni tidakboleh tunduk pada tekanan politik.” Namun ia kesulitan memisahkan keduanya akibat kampanye bermotif politik di Facebook, yang dirancang untuk menyudutkannya.

Kampanye itu mengklain Hundessa meninggalkan akar Oromo-nya, dan berpihak pada PM Ahmed Abiy — pemimpin Oromo pertama di Ethiopia yang dikritik kaum nasionalis karena menenangkan etnis lain.

Saat mengemudi di Addis Ababa, ibu kota Ethiopia, 29 Juni 2020 Hundessa dibunuh. Kepada jaksa sang pembunuh mengatakan bekerj untuk Front Pembebasan Oromo, kelompok nasionalis bersenjata yang terkait dengan berbagai serangan kekerasan.

Kematian Hundessa, 34 tahun, memicu gelombang kekerasan di Addis Ababa dan wilayah Oromia lainnya. Ratusan orang tewas. Kerugian terbesar dialami kelompok Amharas Kristen, Oromo Kristen, dan Gurage.

Facebook kebanjiran ujaran kebencian, dan hasutan untuk saling bunuh. Orang-orang bergerak di jalan-jalan, saling serang, menghancurkan properti, membunuh, dan memutilasi korban.

Pemerintah mematikan internet beberapa jam setelah pembunuhan Hundessa, tapi itu tidak membuat kekerasan bisa dicegah. Beberapa jam terlalu lama, dan selama itu ujaran kebencian sedemikian masif.

Ada seruan genosida terhadap kelopok agama atau etnis tertentu, lengkap dengan foto mobil terbakar, gedung yang hancur, dan rumah yang sedang dilalap api.

Serangan-serangan ini mencerminkan sifat politik etnis yang tidak pernah stabil di Etiophia. Kenaikan PM Abiy taun 2018 hanya memberi harapan singkat bahwa Etiophia bisa bersatu di bawah Oromo.

Harapan menguap setelah terjadi peningkatan pesat akses internet. Facebook mendominasi. Alih-alih mempersatukan negara, media sosial ini justru meningkatkan ketegangan.

Dimulai dari ujaran kebencian dan ‘kekerasan online, berlanjut ke kekerasan offline. Laman Facebook dipenuhi konten seruan serangan etnis, diskriminasi, perusakan properti, dan lainnya.

Oktober 2019, unggahan yang viral di Facebook menyebabkan kematian lebih 80 orang. Facebook bukan tidak pernah diperingatkan, tapi kelambanan pengelola media sosial itu benar-benar berdampak menghancurkan.

Ethiophia bukan satu-satunya ‘korban’ Facebook. Di Myanmar, ujaran kebencian terhadap Muslim Rohingya menyebar tanpa terkendali, kendati ada peringatan dari aktivis lapangan.

Hasilnya, menurut laporan PBB, Facebook membantu memfasilitasi genosida tehadap Rohingya.

“Ada banyak kesamaan,” kata David Kaye, pelapor khusus PBB tentang hak kebebasan berpendapat dan berekspresi yang mengunjungi Ethiophia Desember lalu. “Anda memiliki keragaman bahasa, dan Facebook kesulitan mendapatkan akses ke yang sebenarnya terjadi di lapangan.”

Di Ethiopia, ujaran kebencian dilontarkan semua pihak; pemerintah, tokoh media berpengaruh, dan siapa saja. Mereka menggunakan salah satu dari ratusan bahasa yang digunakan di seluruh negeri.

Setelah pembunuhan Hundessa, serangan difokurkan ke orang-orang Amhara di beberapa bagian Oromia. Network Against Hate Speech merekam posting di Facebook yang menyeru genosida terhadap kelompok etnis atau agama, atau keduanya.

Ada video petunjuk membuat bahan peledak untuk serangan skala besar. Ada pula video dari seseorang yang tinggaldi AS, yang memerintahkan kaum muda secara brutal membunuh beberapa kelompok etnis, membakar properti, dan menghasut teror bom bunuh diri.

Facebook pasti tidak akan mengungkap berapa banyak konten ujaran kebencian terkait pembunuhan dihapus. Teddy Workneh, asisten profesor sekolah studi komunikasi di Kent State University, mengatakan tidak ada keraguan tentang bukti tidak langsung dari munculnya ujaran kebencian di Facdbook dengan meningkatnya jumlah pengungsi, serangan, dan pembunuhan terhadap etnis dan agama minoritas di Ethiopia.

Apakah Facebook benar-benar bersalah?

Lima tahun lalu, musik Hundessa digunakan untuk soundtrack gerakan protes. Puncaknya, Abiy menjadi perdana menteri tahun 2018.

Abiy menjanjikan perubahan mendasar di negara yang ratusan tahun tersiksa perpecahan etnis dan agama. Ia menerapkan reformasi luas dan membuka lanskap media kali pertama.

Dia membebaskan ribuan tahanan politik, menyambut kembali tokoh-tokoh oposisi yang diasingkan, menunjuk seorang wanita sebagai presiden, serta menciptakan kabinet seimbang secara gender.

Tahun 2019 Abiy dianugerai Hadiah Nobel Perdamaian karena menjadi menjadi perantara damai dengan musuh lama Ethiopia, yaitu Eritrea.

Semua itu tak berlangsung lama. Abiy bertindak seperti kebanyakan pemimpin Ethiophia sebelumnya. Ia menunda pemilu yang dijadwalkan Agustus 2020, sementara anggota parlemen memperpanjang mandat hampir tanpa batas.

Polisi mulai menangkap lagi tokoh-tokoh oposisi. Eritrea mengatakan kesepakatan damai berantakan, seraya menduuh Ethiophia masih menduduki wilayahnya.

Media sosial memainkan peran kunci. Orang-orang yang dulu dibungkam kini berbicara seenaknya. Lanskap media yang terbuka menjadi bencana, denan 80 etnis berebut muncul untuk mendapat perhatian.

Pemerintah berusaha mengatasi masalah ini. Namun, alih-alih memaksa Facebook meningkatkan upaya meredam ketegangan, Abiy beralih keperangkat kekuasaan otoriter.

Internet ditutup tapi tidak memberi dampak apa pun. Sebab, orang memposting ujaran kebencian, video mengerikan, tidak dari Ethiopia.

Apa yang dilakukan Facebook? Pengelola media sosial ini menyadari kompleksitas di dalam dan luar negeri, dan sangat prihatin dengan apa yang terjadi di Ethiopia.

Namun Facebook tidak akan mengatakan siapa yang memegang kendali keseluruhan atas masalah di negara itu, berapa banyak orang bekerja secara internal, dan berapa banyak moderator pihak ketiga yang dipekerjakan untuk meninjau konten yang dilaporkan pengguna.

Selain moderator yang dipekerjakan di Kenya, Facebook juga punya moderator konten di Irlandia, dengan kemampuan bahasa Amharik — meski tidak ada indikasi berapa banyak orang yang dicari.

Aktivis ingin temuan perjalanan orang-orang Facebook di Ethiopia dipublikasikan, sehingga perusahaan dapat mengatakan kepada publik apa yang menjadi komitmennya.

Facebook mungkin bukan pelaku kekerasan di Ethiopia, tapi tempat berkembang biaknya kebencian.

Back to top button