Veritas

Mengapa Cina Belum Juga Merilis Data Kemanjuran Vaksin-nya?

  • Sebagai negara asal virus korona, Cina diharapkan menghasilkan vaksin untuk dunia.
  • Ternyata dua perusahaan Cina belum juga merilis data kemanjuran vaksinnya, dan uji klinis di Brasil dihentikan.
  • Muncul ketidak-percayaan terhadap Beijing, dan diplomasi vaksin Cina dalam bahaya.

Beijing — Pfizer Inc dan BioNTech, perusahaan AS dan Jerman yang bermintra mengembangkan vaksin Covid-19, mengumumkan vaksin buatan mereka 90 persen efektif menghentikan infeksi Covid-19.

Gamaleya, perusahaan bioteknologi Rusia, tergopoh-gopoh merilis data awal dan mengklaim Sputnik-V — vaksin virus korona yang dikembangkan — memiliki tingkat kemanjuran 92 persen.

Sinovac Biotech dan China National Pharmaceutical Group (Sinopharm), dua perusahaan Cina yang terlibat dalam persaingan menghasilkan vaksin, belum juga merilis data awal kemanjuran vaksin-nya.

Japan Times menulis Cina menghadapi tekanan untuk segera merilis data kemanjuran vaksin-nya, setelah Pfizer menyita perhatian dunia.

Tekanan itu menjadi berlipat setelah Brasil menghentikan uji klinis vaksin Sinovac akibat kejadian serius. Sebelumnya, Presiden Brasil Jair Bolsonaro juga membalikan keputusan dalam waktu 48 jam, dengan mengatakan Cina kurang kredibilitas dan orang tidak akan merasa aman menggunakan vaksin-nya.

Xiaoqing Lu Boynton, kosultan di Albright Stonebridge Group, mengatakan kebutuhan Beijing saat ini adalah mengatasi persepsi publik tentang masalah keamanan vaksinnya.

Dunia tahu virus korona berasal dari Cina, tepatnya Wuhan, dan menyebar ke seluruh dunia. Beijing dengan cepat mengendalikan virus, mengubah wabah menjadi lahan bisnis masker, perangkat tes Covid-19, dan APD.

Beijing juga mendorong perusahaan bioteknologi bertarung menghasilkan vaksin. Cina mempertaruhkan reputasi internasionalnya, dan dituntut menghasilkan vaksin untuk menyembuhkan dunia.

Presiden Xi Jinping berjanji vaksin yang dikembangkan Cina akan menjadi barang publik global. Ia juga mendorong Cina masuk ke dalam program vaksin untuk negara miskin yang digagas WHO.

Nicolas Chapuis, duta besar Uni Eropa untuk Cina, mengatakan masalahnya barang publik global dan barang publik Cina adalah dua pengertian berbeda.

Chapuis memuji keputusan Cina bergabung dengan program vaksin yang didukung WHO, tapi mempertanyakan distribusi, harga, dan sertifikasi internasional vaksin Cina.

“Untuk mendapatkan sertifikasi, sampel harus diberikan,” ujar Chapuis. “Sampel itu belum diberikan.”

Cina berjanji memprioritaskan pemberian dosis untuk lebih 60 negara, termasuk negara peminjam dana untuk pembangunan infrastruktur di bawah Xi’s Belt and Road Initiative; Indonesia, Bangladesh, Pakistan, dan Maroko.

Beijing juga berjanji memberi pinjaman 1 miliar dolar AS kepada negara-negara Amerika Latin dan Karibia yang tertarik membeli vaksin Cina.

“Kini, diplomasi vaksin Cina dalam bahaya,” kata Yongwook Ryu, asisten profesor hubungan internasional Asia Timur di Sekolan Kebijakan Publik Lee Kuan Yew Universitas Nasional Singapura.

Persoalannya, masih menurut Ryu, kurangnya transparansi. Jadi, yang harus dilakukan Cina saat ini adalah mempublikasikan hasil uji klinis dan informasi terbakit agar para ahli dapat meneliti.

Cina memberi vaksin kepda ratusan ribu orang di bawah program penggunaan darurat yang luas. Namun, tidak ada satu pun dari dua perusahaan vaksin Cina yang menerbitkan data awal uji coba Fase 3.

Regulator kesehatan Brasil mengirim misi ke Cina bulan ini, untuk memeriksa fasilitas beberapa perusahaan yang terlibat dalam produksi vaksin. Sejauh ini belum ada laporan misi itu.

AS Belum Menang

Pejabat Kementerian Luar Negeri Cina memuji kemajuan vaksin negerinya dalam sepekan terakhir. Wakil Menlu Cina Luo Zhaohui mengatakan Cina pada posisi agak terdepan di dunia. Juru bicara Kemenlu Cina Wang Wenbin mengatakan program vaksin Cina dipuji banyak negara.

Yanzhong Huang, peneliti senior kesehatan global di Council of Foreign Relations, mengatakan kemunduran di Brasil mungkin benar-benar memperkuat anggapan bahwa Cina serius tentang keamanan vaksinnya.

“Jadi, masih terlalu dini mengatakan AS memenangkan perlombaan vaksin,” katanya.

Yang jadi persoalan adalah pemerintah di seluruh Asia kini sibuk menghubungi Pfizer untuk mendapatkan vaksin dan belajar dari perusahaan. Hasil yang diperoleh Pfizer telah memberi harapan untuk banyak program penelitian yang menggunakan teknologi serupa.

Cina juga ikutan menggunakan tekologi Pfizer. Regulator obat Cina menerima aplikasi dari Shanghai Fosum Pharmaceutical Group Co untuk melakukan ui coba yang akan membuka jalan agar vaksin Pfizer disetujui di Cina.

Nasionalisme Vaksin

Pertanyaannya, apakah masih akan ada nasionalisme vaksin?

Mungkin masih ada. Nicholas Thomas, profesor kesehatan di City University of Hong Kong, meningkatnya nasionalis vaksin akan membuat perusahaan Cina dituntut mempublikasikan data kemanjuran vaksin. Data itu akan menjadi subyek peninjauan sejawat.

“Dunia hanya akan mempercayai vaksin Cina, jika informasinya transparan,” kata Thomas.

Kalau pun Cina melepas data kemanjuran vaksin, tetap sulit bagi negara-negara yang berseteru dengan Beijing menerima vaksinnya. Salah satunya India.

India berpenduduk semilyar lebih, dan menjadi pasar bagi industri vaksin. Orang India tidak akan menggunakan vaksin Cina, menyusul konflik perbatasan di Pegunungan Himalaya.

“Kerja sama dengan Cina sangat sulit karena tingkat kepercayaan saat ini,”kata Biren Nanda, mantan dubes India yang satu dekade ngepos di Beijing.

“Tidak hanya India, negara lain tamapkanya tidak dapat mempercayai Cina dengan pekerjaan mereka pada sistem telekomunikasi dan elektronik kami,” lanjut Nanda.

Back to top button