Veritas

Menggugat Status Dewa Raja Thailand

  • Sang ayah dengan rendah hati mengatakan raja bisa salah, dan menerima kritik.
  • Sang anak menggunakan lèse-majesté untuk membungkam siapa pun yang mengkritik.
  • Alih-alih rakyat takut, yang terjadi muncul keberanian menggugat ‘status dewa’ Raja Maha Vajiralongkorn. Thailand terpecah antar pro dan antimonarki.

Bangkok — Suatu hari di tahun 1980-an di sebuah jalan utama di Bangkok. Raja Bhumibol Adulyadej dan iring-iringan kerajaan terjebak kemacetan parah. Mobil-mobil membunyikan klakson, bising luar biasa, sampai akhirnya petugas mengurai kemacetan.

Saat tiba di istana, Raja Bhumibol mengeluarkan pernyataan singkat; “Dunia sudah bising, jangan lagi membunyikan klakson.”

Sejumlah media utama di Bangkok, dan di seluruh negeri, memberitakan pernyataan raja. Keesokan hari, tidak ada lagi orang membunyikan klakson saat kemacetan terjadi.

Kisah di atas lebih dari cukup untuk menggambarkan betapa raja sangat dihormati seluruh masyarakat Thailand. Kini, situasi itu tidak ada lagi.

Bangkok dalam beberapa pekan terakhir kerap diwarnai aksi unjuk rasa antimonarki. Orang-orang berteriak di jalan-jalan memaki raja, menyerang mobil Ratu Thailand, seolah tidak takut dengan ancaman hukuman sedemikian berat seperti tertera dalam lèse-majesté.

Polisi menangkap mereka yang kritik, melontarkan ejekan, dan menyerang iring-iringan raja, tapi banyak orang seolah tidak takut lagi dengan ancaman hukuman.

Merah dan Kuning

Di Thailand, monarki memiliki status seperti dewa. Mereka disembah dan diidolakan. Mengucapkan satu kata menentang raja, ratu, pewaris, atau keluarganya — bahkan menyakiti hewan peliharaan istana — terancam hukuman 15 tahun penjara.

Bahkan di masa lalu, menghina raja berdampak mengenaskan. Beberapa pembangkang diasingkan dan hilang.

Tahun 2006, setelah kudeta yang menggulingkan Thaksin Shinawatra dari kursi PM, muncul dua kubu yang menggelar protes bersamaan; kaos merah dan kuning. Yang petama pro-Thaksin, lainnya pro-raja.

Kemunculan keduanya dipicu isu campur tangan istana dalam kudeta. Artinya, sebagai negara monarki konstitusional, raja tidak lagi netral dalam urusan politik.

Ketika lèse-majesté tidak lagi menakutkan, yang muncul adalah kekeraan aparat. Tahun 2018 dua pembangkang hilang, dan mayatnya ditemukan di dasar Sungai Mekong dengan tubuh berjejal beton.

Protes kali ini sebagian dipicu penculikan seorang aktivis Thailand, Juni lalu, dan institusionalisasi psikiatris terhadap seorang pria yang mengenakan t-shirt bertuliskan kehilangan kepercayaan pada monarki.

Arnon Nampa, pengacara hak asasi manusia, mengatakan kepada Time; “Mulai sekarang tidak ada lagi yang berbicara tentang monarki harus dituduh gila, atau dibawa ke rumah sakit meski mereka mengatakan sebenarnya.”

Ketika kelompok antimonarki muncul di jalan-jalan Bangkok, masa tandingan — atau mereka yang pro-monarki — juga muncul. Kelompok antimonarki masih dengan kemeja, atau kaos, kuning. Yang pro-monarki menamakan diri Thai Pakdee, atau Loyal Thai.

Akhir Agustus 2020, kelompok ini mengerahkan 1.000 pendukung. Mereka akan terus turun ke jalan, dengan fokus mendidik rakyat tentang unjuk rasa antimonarki.

Di media sosial, Maret lalu muncul tagar #WhyDoWeNeedaKing? di Twitter, yang digunakan lebih watu juta kali. Royalis Marketplace, grup Facebook pribadi yang mengkritik monarki, memiliki lebih satu juga pengikut sebelum pemerintah menuntut Facebook memblokir laman itu.

Dalam sepekan muncul pengganti laman itu. Media sosial tidak hanya membantu melonggarkan tabu seputar kritik terhadap monarki, tapi jgua menyebarkan pidato protes berapi-api.

Alasan Membenci Raja

Jane Fryer, dalam tulisan di Daily Mail, mengatakan ada banyak alasan rakyat Thailand membenci Raja Maha Vajiralongkorn.

Pertama, kegemaran penerus Bhumibol Adulyadej itu mengenakan pakaian atasan angat sempit, celana jins rendah, dan tato palsu sekujur tubuh.

Raja Maha Vajiralongkorn telah berusia 68 tahun. Kehidupan cintanya berantakan. Ia menikahi istri keempat, dicampakan, dan kini kembali ke istana.

Obsesi yang aneh pada anjing pudel bernama Foo Foo. Anjing itu kerap mengenakan pakaian resmi Angkatan Udara Kerajaan Thailand, dan duduk saat makan malam resmi.

Raja Vajiralongkorn bersikeras anggota istana harus merangkak saat menghadap, dan memerintahkan siapa pun yang tidak diinginkan mencukur rambut sampai botak. Suatu kali raja menyuruh seorang istrinya makan di mangkuk Foo Foo, dengan tubuh setengah telanjang.

Lebih memalukan, dia tidak mengakui empat anaknya dan menolak membayar biaya sekolah. Padahal, kekayaannya mencapai 30 miliar pound.

Ia menjadi tertawaan internasional. Sebagian rakyat Thailand menyebutnya Pangeran Bling Bling, playboy pengganggu.

Ia tidak pernah di Thailand, dan merasa aman karena hukum lèse-majesté bekerja sedemikian rupa. Namun ketika rakyat Thailand, yang menderita akibat sektor wisata dihantam Covid-19, mulai merasa malu dengan ulah raja.

Raja menghabiskan sebagian besar tahun 2020 di sebuah hotel mewah di Bavaria, Jerman. Ia tidak sendiri, tapi bersama rombongan besar, termasuk 20 selir militer.

Ketika Eropa mulai menatapnya dengan dingin, Jerman memutuskan tidak bisa lagi terus-menerus menjamu Raja Vajiralongkorn di tanah demokrasi mereka.

Sang raja akhirnya pulang dengan Boeing 737 pribadi. Di Bangkok, ia disambut 10 ribu pengunjuk rasa yang menuntut konstitusi baru. Orang-orang melecehkan raja yang duduk manis di Roll Royce putih, yang membuat pemerintah Thailand mengumumkan keadaan darurat.

Pengunjuk rasa seolah lupa betapa saat kecil, terutama di sekolah, mereka diajari untuk menyembah raja, memasang foto raja di rumah, dan merayakan Hari Ayah pada ulang tahun raja.

Naik tahta empat tahun lalu, setelah kematian sang ayah, Raja Vajiralongkorn mengambil kendali atas properti mahkota dan semua dana kerajaan. Ia mengambil alih komando pasukan, ikut campur dalam proses pemerintahan, dan mengubah konstitusi Thailand yang memungkinkannya memerintah dari luar negeri.

Ia menggunakan lèse-majesté dengan sangat baik. Misal, menghukum 35 tahun penjara seorang pria karena memposting kritik secara online. Seorang pemuda yang mengenakan t-shirt antimonarki diciduk dan dimasukan ke rumah sakit jiwa. Beberapa lainnya menghilang.

Dalam beberapa tahun terakhir, PBB meminta Thailand mengamandemen lèse-majesté yang kejam, tapi hasilnya tidak ada.

Raja Vajiralongkorn adalah kebalikan dari almarhum ayahnya, Raja Bhumibol Adulyadej. Naik tahta tahun 1946, Bhumibol dihormati rakyatnya. Ia orang terkaya di dunia, tapi bergaya hidup bisa-biasa saja.

Tahun 2005, Bhumibol mengatakan; “Saya juga harus dikritik. Saya tidak takut jika kritik itu menyangkut kesalahan saya. Raja bisa berbuat salah.”

Situasi telah berubah sejak Bhumibol Adulyadej meninggal. Perubahan sangat cepat, dan media sosial memainkan peran itu. Jika demo terus merebak, dan antimonarki terus membesar, dunia akan menyaksikan seorang raja kehilangan status dewa.

Back to top button