Veritas

MER-C, Médecins Sans Frontières dari Indonesia

MER-C menunjukkan organisasi yang hendak mewujudkan hidup pegiatnya sebagai rahmat bagi seluruh alam

JAKARTA—Suatu pagi di pertengahan tahun 2000-an, saat berjalan di pelataran Rumah Sakit Cipto Mangunkusomo, telinga Joserizal Jurnalis menangkap sebuah teriakan untuknya.

“Pak Dokter!” teriak seseorang, lebih dari sekali. Saat menoleh, Joserizal sedikit kaget. Seorang pria tengah baya mengulurkan tangan, mengajak bersalaman. Bukan karena pria itu mengulurkan tangan kiri, maka Joserizal kembali terkesiap. Tangan kiri pria itu buntung di titik bahu.

“Masih ingat saya, Pak Dokter? Saya Dominingus. Dokter yang mengoperasi saya di Galela,” kata pria itu beruntun. Tak perlu waktu hingga sebentang ingatan itu menyeruak dari lokus terdalam benak Joserizal. Meski tidak unik, pengalaman itu sukar dilupakan olehnya. Dengan gergaji kayu  dan bantuan lampu senter, Joserizal menggergaji tangan di batas bahu Dominingus yang busuk akibat sabetan parang di tengah minimnya bantuan medis. Persis sebagaimana masa-masa ketika anasthesi belum ditemukan William Morton, Joserizal menggergaji tangan itu, mengamputasinya dengan bantuan madu sebagai antibiotik.

Pada 1999 itu Joserizal Jurnalis datang ke Ambon yang bergolak dalam konflik sipil. Datang sebagai pribadi, tanpa back-up lembaga apa pun di belakang.

Dua kelompok besar massa yang karena berbeda agama, bentrok dalam kurun tahunan, membawa dampak tak hanya jatuhnya korban jiwa, melainkan ribuan pengungsi dan maraknya trauma. Termasuk terhadap dirinya, sebenarnya. “Saya perlu bertahun-tahun untuk sembuh dari ketakutan manakala mendengar ketukan tiang listrik,” kata Joserizal, sebelum Senin 20 Januari lalu ia berpulang. Pukulan tiang listrik, apalagi bila nyaring bersahut-sahutan, adalah pertanda datangnya musuh dalam jumlah ribuan dalam nafsu membunuh yang berkobar.

“Saya pernah terkepung  sebulan lebih,” kata dia. Yang merangsek datang dalam jumlah ribuan itu orang-orang gelap mata, mabuk dan bersenjatakan parang. “Mereka biasa menyembelih orang, memakan jantungnya agar tak dibayang-bayangi korban.”

Kita tahu, kini jiwa besar yang tak pernah membedakan korban yang akan ditolongnya karena agama itu telah berpulang. Namun terlalu banyak peninggalannya yang tak mudah untuk kita lupakan.

Konflik Maluku sendiri menjadi pemicu berdirinya Medical Emergency Rescue Committee (MER-C ) di tahun itu juga. Saat itu tak ada satu pun lembaga internasional  mau masuk dan terlibat. Serba salah, karena tak hanya mereka yang terlibat dalam konflik, orang-orang di luar Maluku pun terpecah. Bahkan sebuah majalah berita pun saat itu harus menerjunkan dua reporter di masing-masing kelompok—kelompok Ambon Islam dan Ambon Kristen, agar bahan yang sampai ke meja redaksi benar-benar berimbang.  

Joserizal, dokter spesialis bedah tulang, kemudian identik dengan bantuan kemanusiaan. Dia bersama MER-C akan menolong siapa saja tanpa membedakan agama, bahkan negara.  MER-C barangkali bisa diibaratkan Médecins Sans Frontières atau Doctors Without Borders yang tumbuh dan berpusat di Indonesia, dengan Joserizal sebagai pendirinya.

Pribadinya yang ramah, gampang membuat orang merasa dekat, dan senang membantu, membuat Jose selalu  sigap terjun ke setiap wilayah bencana, konflik, dan perang, di mana dan kapan pun terjadi. Sejak berdiri, hampir tak ada musibah, baik konflik horizontal antarwarga, bencana banjir, kelaparan, gempa bumi, wabah kolera, membludaknya tenaga kerja Indonesia (TKI) di Nunukan, dan sebagainya yang terjadi di Tanah Air, tanpa kehadiran MER-C kemudian.  

Bahkan bukan hanya kejadian besar yang melibatkan banyak orang, MER-C juga menangani kesehatan Abu Bakar Baasyir yang dituduh teroris, atau mantan Jenderal Polisi Susno Duadji pun sempat mendapat bantuan MER-C.

Dan sebagaimana Médecins Sans Frontières , MER-C pun tak terhalangi batas negara. Myanmar, Afghanistan, Irak, Iran, Kashmir baik wilayah Pakistan maupun India, Libanon Selatan, Sudan, Somalia dan tentu saja Palestina, adalah negara-negara tempat MER-C pernah atau masih tengah berkiprah. Wajar bila hingga 2018 lalu MER-C telah menuntaskan 300 misi, baik di dalam maupun di luar negeri.  

Bersama MER-C  Joserizal pun  mendirikan RS Galela, Halmahera, Maluku Utara, Rumah Sakit Indonesia di Gaza, juga Rumah Sakit Indonesia di Rakhine, Myanmar.  RS Indonesia di Gaza memiliki dua tingkat bangunan besar dan kokoh, selain ruang bawah tanah besar yang bisa dijadikan perlindungan pasien manakala Israel menyerang.  

Rumah Sakit Indonesia di Rakhine bahkan menunjukkan kualitas diplomasi MER-C yang luar biasa. RS yang berdiri di tengah-tengah desa Budha dan Muslim, serta direstui para tokoh Muslim dan Buddha setempat itu juga menjadi simbol perdamaian masyarakat setempat, selain simbol persahabatan dua negara, Indonesia – Myanmar. Rumah sakit itu pun hakikat adalah buah kerja sama antara MER-C, PMI (yang saat itu diketuai Jusuf kalla) dan WALUBI, mulai dari penentuan lokasi lahan, disain rumah sakit hingga pembangunan fisik.

Pembangunannya yang direncanakan hanya 10 bulan, molor hingga lebih dari dua tahun akibat konflik yang terjadi berkepanjangan. Bahkan situasi yang tidak kondusif juga sempat membuat Tim MER-C di lapangan diharuskan keluar dari lokasi pembangunan oleh pemerintah setempat. Pembangunan pun terhenti karena kontraktor tidak dapat mendatangkan pekerja.

Sampai akhirnya Project Manager Pembangunan RS Indonesia, Idrus M. Alatas, memutuskan untuk mengambil alih seluruh pekerjaan. Sejak Mei 2019, pekerjaan pembangunan RS Indonesia dilakukan sendiri oleh Tim MER-C di lapangan yang terdiri empat relawan. Rumah sakit itu akhirnya selesai pada November 2019 lalu.

Keberanian para dokter dan relawan MER-C memang terdengar sejak organisasi itu berdiri. Simak pengakuan seseorang yang sempat terlibat erat dengan organisasi ini manakala dirinya berada di luar negeri.   

“Bagi saya MER-C  adalah rahmatan lil alamin,” kata Syaiful Rahman Soenaria, co-founder Yayasan MER-C di Jerman. Bagi Syaiful, para dokter dan aktivis medisnya telah memberi teladan konkret kepadanya tentang makna kebermanfaatan hidup untuk orang lain, makna ilmu yang amaliah, makna keberanian menjadi cakrawala dengan keyakinan penuh kepada Allah, dan makna kemanusiaan yang melintasi etnik-bangsa-agama.

“MER-C juga cerminan organisasi yang rapi dengan tata kelola yang baik dan kerja professional,” kata dia, menambahkan. “Tak heran MER-C berhasil peroleh kepercayaan dari masyarakat Indonesia dan bangsa lain di dunia,”kata pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjadjaran tersebut. []

Back to top button