Veritas

Pencarian Vaksin Virus Corona Jadi Persaingan Global

Perusahaan Cina menawarkan 133,3 juta doar AS untuk kepemilikan saham dan pertimbangan lain dari perusahaan Jerman lain dalam perlombaan vaksin, BioNTech

WASHINGTON— Setidaknya Amerika Serikat, Cina dan beberapa negara Eropa kini tengah berlomba menjadi penemu pertama vaksin yang akan mengalahkan pandemic virus Corona.

Dalam tiga bulan sejak virus mulai menyebar dengan mematikan, Cina, negara Eropa, dan Amerika Serikat, melakukan sprint untuk menjadi negara pertama memproduksi vaksin. Tetapi sementara ada kerja sama di banyak tingkatan– termasuk di antara perusahaan yang biasanya saling bersaing, menggantung pula awan kelabu berupa pendekatan nasionalistik yang akan memberi sang pemenang peluang untuk mencukupi kebutuhan warganya sendiri, selain akan mendapatkan keunggulan ekonomi dan geostrategis sebagai akibat krisis yang terjadi.

Pertanyaan tentang siapa yang akan mendapatkan penghargaan ilmiah, paten dan akhirnya meraih pendapatan dari vaksin yang ditemukan, tiba-tiba menjadi masalah keamanan nasional yang mendesak di beberapa negara ‘maju’ . Di balik perebutan itu ada kenyataan pahit bahwa setiap vaksin baru yang terbukti ampuh melawan virus corona–uji klinis sedang berlangsung di Amerika Serikat, Cina dan Eropa, pasti akan kekurangan pasokan ketika pemerintah berusaha memastikan bahwa rakyat mereka sendiri yang harus dicukupi sebagai prioritas pertama.

Seorang peneliti di perusahaan farmasi, tengah bekerja

Di Cina, 1.000 ilmuwan saat ini sedang berusaha menemukan vaksin, dan masalah ini telah dimiliterisasi: para peneliti yang berafiliasi dengan Akademi Ilmu Kedokteran Militer telah mengembangkan vaksin dengan peluang tertinggi serta telah pula merekrut sukarelawan untuk uji klinis.

“Cina tidak akan lebih lambat dari negara lain,” kata Wang Junzhi, seorang ahli biologi pada Akademi Ilmu Pengetahuan Cina, berkata pada sebuah  konferensi pers di Beijing, Selasa (17/3) lalu. Upaya itu dilakukan melalui sebuah propaganda. Sebuah poster berisikan foto ahli virologi di Tentara Pembebasan Rakyat (PLA), Chen Wei, tengah menerima suntikan apa yang diiklankan sebagai vaksin pertama, kini telah diberitakan sebagai hal yang palsu. Foto itu dikatakan diambil sebelum perjalanan yang ia lakukan ke Wuhan, tempat virus tersebut dimulai.

Di AS, Presiden Trump telah berbicara dengan para eksekutif perusahaan-perusahaan farmasi untuk memastikan vaksin itu  diproduksi di tanah Amerika, untuk memastikan AS akan mengendalikan pasokannya. Sementara pejabat pemerintah Jerman mengatakan, dia tengah mencoba memastikan perusahaan Jerman, CureVac, untuk melakukan penelitian dan produksinya, di AS. Perusahaan tersebut telah membantah menerima tawaran pengambilalihan, tetapi investor utamanya menegaskan ada semacam pendekatan untuk itu.

Ditanya oleh majalah Jerman Sport 1 tentang apakah telah terbuka kontak dengan Presiden  Trump, Dietmar Hopp, yang perusahaannya, Dievini Hopp BioTech Holding,  memiliki 80 persen saham perusahaan itu mengatakan bahwa dirinya secara pribadi tidak berbicara dengan Presiden Trump. “Dia berbicara kepada perusahaan dan mereka segera memberi tahu saya tentang hal itu, menanyakan apa yang saya pikirkan. Saya segera tahu bahwa itu tidak mungkin,” katanya, diplomatis.

Laporan pendekatan itu sudah cukup untuk mendorong Komisi Eropa untuk menjanjikan 85 juta dolar AS lagi kepada perusahaan, yang telah mendapat dukungan dari konsorsium vaksin Eropa.

Pada hari yang sama, sebuah perusahaan Cina menawarkan 133,3 juta doar AS untuk kepemilikan saham dan pertimbangan lain dari perusahaan Jerman lain dalam perlombaan vaksin, BioNTech.

“Telah ada seruan global bahwa bioteknologi adalah industri strategis bagi masyarakat kita,” kata Friedrich von Bohlen, direktur pelaksana sebuah perusahaan induk yang memiliki 82 persen saham CureVac. Dan seperti halnya negara-negara bersikeras membangun drone mereka sendiri, pesawat tempur siluman mereka sendiri dan senjata cyber mereka sendiri, mereka tidak ingin terikat pada kekuatan asing untuk akses kepada obat-obatan yang diperlukan dalam krisis.

“Setelah dua dekade melakukan produksi di luar negeri, yakni ke Cina dan India,  wajar bila sekarang orang-orang ingin seluruh proses produksi dekat dengan rumah, “kata von Bohlen.

Beberapa ahli memandang kompetisi geopolitik itu sehat, asalkan keberhasilan itu akhirnya  dibagikan kepada dunia. Tetapi mereka tidak mengatakan bagaimana, atau lebih penting lagi, kapan pembagian itu dilakukan. Banyak analis mengingat apa yang terjadi selama epidemi flu babi pada tahun 2009, ketika sebuah perusahaan di Australia yang termasuk yang pertama mengembangkan vaksin dosis tunggal, produksinya hanya dilakukan untuk memenuhi permintaan Australia sebelum memenuhi pesanan ekspor ke Amerika Serikat dan tempat lain. Hal itu kemudian memicu kemarahan, merebaknya pandangan teori konspirasi, dan audiensi Kongres AS.

“Anda ingin semua orang bekerja sama,  sementara setiap orang berlomba secepat mungkin untuk mendapatkan vaksin,” kata Dr. Amesh Adalja dari Center for Health Security pada Universitas Johns Hopkins. Tentu saja, perusahaan yang sukses menemukan vaksin itu tak ingin perusahaan mereka dinasionalisasi.

Para eksekutif perusahaan farmasi terkemuka dunia mengatakan Kamis (19/3) lalu bahwa mereka bekerja sama, juga dengan pemerintah, untuk memastikan agar vaksin dikembangkan secepat mungkin dan didistribusikan secara adil. Tetapi mereka meminta pemerintah untuk tidak menimbun vaksin begitu vaksin itu dikembangkan. Hal itu menurut mereka akan menghancurkan tujuan yang lebih luas, yaitu memberantas pandemi virus corona.

“Saya akan mendorong semua orang untuk tidak masuk ke dalam jebakan ini, yakni mengatakan kita harus mendapatkan segalanya buat negara kita sekarang, dan menutup perbatasan,” kata Severin Schwan, kepala eksekutif perusahaan farmasi Swiss Roche. “Sangat keliru jika jatuh ke dalam perilaku nasionalis yang benar-benar akan mengganggu rantai pasokan dan merugikan orang-orang di seluruh dunia.”

Tetapi vaksin memang perlu waktu.  Seorang pejabat pemerintah AS dan pimpinan sebuah perusahaan farmasi besar mengatakan, untuk bisa memastikan efektivitas vaksin, perlu waktu setidaknya 12 hingga 18 bulan ke depan. “Vaksin disuntikkan kepada orang sehat, jadi kita perlu memastikan keamanannya,” kata  David Loew, wakil presiden eksekutif Sanofi Pasteur dari Prancis. Perusahaannya bekerja dengan Eli Lilly dan Johnson & Johnson di Amerika Serikat, Roche dan Takeda di Jepang.

Di masa normal, selalu ada unsur persaingan nasional untuk pengembangan obat-obatan. Pada bulan-bulan sebelum merebaknya coronavirus di Wuhan, FBI memulai upaya untuk ‘membasmi’ para ilmuwan yang mereka yakini mencuri penelitian biomedis dari Amerika Serikat. Sebagian besar berfokus pada ilmuwan keturunan Cina, termasuk warga negara Amerika yang dinaturalisasi dan memiliki nama Cina. Ada 180 kasus yang diselidiki tahun lalu.

Cina telah menjelaskan bahwa mereka sedang mencari kampiun nasional– yang setara dengan peran yang dimainkan Huawei, raksasa telekomunikasi Cina, yang membangun jaringan 5G di seluruh dunia. Jika pola Huawei berlaku, Cina dapat membuat kesepakatan untuk meningkatkan pengaruhnya terhadap negara-negara miskin atau kurang berkembang, yang mungkin tidak mendapatkan akses kepada vaksin.

Sudah ada tanda-tanda bahwa Cina menggunakan momen ini untuk keuntungan geopolitik, memberikan bantuan kepada negara-negara yang dulu akan melihat ke Eropa atau Amerika Serikat. Keputusannya untuk mengirimkan alat diagnostik kepada Indonesia, Malaysia, Thailand dan Filipina—para sekutu Amerika Serikat, serta rencana Cina untuk membantu Serbia, adalah indikator utama apa yang mungkin terjadi dengan obat-obatan dan vaksin manakala tersedia.

Berbicara dalam telekonferensi, Kamis (19/3) lalu, eksekutif lima perusahaan farmasi terbesar dunia mengatakan, mereka berupaya meningkatkan kemampuan manufaktur industri dengan berbagi kapasitas yang tersedia untuk meningkatkan produksi, begitu vaksin atau antivirus yang terbukti sukses, berhasil diidentifikasi. Mereka masih bicara soal beberapa program pengujian untuk meningkatkan peluang keberhasilan, dan kemudian untuk perizinan segera untuk memungkinkan peningkatan produksi secara cepat.

“Setelah vaksin disetujui kita perlu memvaksinasi miliaran orang di seluruh dunia, jadi kita mencari alternatif di mana dan bagaimana kita menghasilkan,” kata Loew.

Tetapi pemerintahlah yang harus memutuskan bagaimana vaksin disetujui, dan di mana vaksin itu dapat dijual. “Jika negara-negara mengatakan, ‘Wah, mari kita coba untuk mengunci pasokan sehingga kita dapat melindungi populasi kita,’ maka itu bisa menjadi tantangan untuk mendapatkan vaksin ke tempat-tempat di mana ia dapat membuat perbedaan epidemiologis yang paling besar,” kata Seth Berkley, kepala eksekutif GAVI, sebuah organisasi nirlaba yang memasok vaksin ke negara-negara berkembang.

Mengingat bahaya-bahaya itu, beberapa pemerintah Eropa dan kelompok nirlaba telah mengambil langkah-langkah untuk mencegah Amerika Serikat atau Cina dari menangkap peluang melakukan monopoli pada vaksin virus corona.

Sebagai akibat dari wabah Ebola yang berebak di Afrika Barat dari 2014 hingga 2016, Norwegia, Inggris, dan sebagian besar negara Eropa lainnya serta Yayasan Bill dan Melinda Gates, mulai menyumbang jutaan dolar AS kepada sebuah organisasi multinasional, Coalition for Epidemic Preparedness Initiatives, untuk mendanai penelitian vaksin.

Semua perjanjian pendanaan, termasuk ketentuan untuk akses yang sama akan memastikan bahwa vaksin yang ditemukan itu harus tersedia untuk populasi ketika dan di mana vaksin itu diperlukan untuk mengakhiri wabah atau mengurangi epidemi. “Terlepas dari kemampuan untuk membayar,”kata organisasi itu dalam sebuah pernyataan.

Dalam dua bulan terakhir, koalisi telah mendanai penelitian kedelapan kandidat yang paling menjanjikan untuk menahan serangan virus corona–termasuk CureVac, perusahaan Jerman.

Tidak jelas, apa yang dicari Trump di CureVac. Jika memang ada, mengapa perusahaan itu menggulingkan chief executive Amerika-nya, Daniel Menichella, beberapa hari setelah ia bertemu dengan satgas virus corona Gedung Putih.

Perusahaan itu sendiri telah mengeluarkan penolakan tawaran yang dirancang dengan hati-hati. “Mungkin seseorang mengatakan sesuatu,” kata Pak Von Bohlen. “Tapi tidak ada tawaran tertulis dari Amerika Serikat.”

Tidak perlu ada. Isyarat itu saja sudah cukup untuk membuat para pejabat Eropa menawarkan lebih banyak dana.

“Fakta bahwa negara-negara lain mencoba membeli perusahaan itu menunjukkan bahwa mereka adalah yang terdepan dalam penelitian,”kata Ursula von der Leyen, presiden Komisi Eropa. “Ini adalah perusahaan Eropa–kami ingin menyimpannya di Eropa, ingin tetap di Eropa. Sangat penting untuk memberikannya dana yang diperlukan, dan itu telah terjadi. ” [New York Times]

Back to top button