Veritas

Sayur Lodeh Vs Virus Corona

Jakarta – Bagi sebagian orang, upaya melawan wabah virus corona (Covid-19) dipercaya bisa dilakukan secara lahir dan batin. Tak hanya berusaha mencari penangkalnya, atau menekan peredaran virus dengan melakukan social distancing, tapi juga ikhtiar di luar fisik seperti tradisi Jawa yang disebut pagebluk.

Pagebluk adalah masa untuk menolak bala yang dipercaya dalam budaya Jawa. Uniknya, pada masa pagebluk dianjurkan memasak sayur lodeh dengan 7 jenis sayuran. Masa pagebluk kali ini memiliki momentum yang tepat ketika bangsa ini dan warga dunia tengah dilanda virus yang sulit disembuhkan. Penularannya pun sangat cepat terjadi antarmanusia.

Pagebluk dengan anjuran memasak sayur lodeh ini mencuat di lini Twitter. Thread yang dicuitkan pemilik akun @kamto_adi seolah mengingatkan kembali akan kehadiran sayur lodeh yang tak hanya nikmat dimakan, namun dipercaya bisa menolak musibah.

Soal sayur lodeh yang konon katanya sebagai sayur tolak bala memang sudah menjadi kepercayaan dan tradisi masyarakat Yogyakarta dan Jawa pada umumnya. Tidak hanya ketika wabah atau bencana terjadi, dalam hajatan-hajatan besar seperti memulai acara pernikahan pun tak jarang sayur lodeh juga dihidangkan.

Putri Paku Buwana XII, GKR Wandasari, mengatakan, tujuh bahan pada sayur lodeh itu memiliki makna yang berbeda-beda. “Sayur lodeh merupakan makanan sehari-hari orang Jawa yang semua macam bahannya memiliki makna dan bisa diterjemahkan sebagai bentuk permohonan,” ujar GKR Wandasari seperti dikutip dari Rri.co.id.

Sayur lodeh mengandung tujuh jenis sayuran yakni kluwih, cang gleyor, terung, kulit melinjo, waluh, godhong (daun) so, dan tempe. Penentuan bahan-bahan sayur ini bukan tanpa makna. Bahan-bahan ini memiliki filosofi masing-masing.

Kluwih memilik filosofi kaluwargo luwihono anggone gulowentah gatekne (keluarga dilebihkan dalam memberi nasehat dan perhatian). Cang gleyor, filosofinya cancangen awakmu ojo lungo-lungo (ikatlah badanmu, jangan pergi-pergi). Sementara terong bermakna terusno anggone olehe manembah Gusti ojo datnyeng, mung yen iling tok (lanjutkan tingkatkan dalam beribadah, jangan hanya jika ingat saja).

Kulit melinjo bermakna ojo mung ngerti njobone ning kudu reti njerone babakan pagebluk (jangan hanya paham akibatnya saja, tapi harus paham secara mendalam penyebab wabah). Untuk waluh memiliki arti uwalono ilangono ngeluh gersulo (hilangkan keluhan dan rasa galau –harus tetap semangat). Godong so memiliki filososi golong gilig donga kumpul wong sholeh sugeh kaweruh babakan agomo lan pagebluk (bersatu padu berdoa bersama orang yang saleh, pandai soal agama, juga wabah penyakit). Serta untuk tempe dimaknai sebagai temenono olehe dedepe nyuwun pitulungane Gusti Allah (benar-benar fokus mohon pertolongan kepada Tuhan).

Makna filosofi yang dalam ini masih diyakini masyarakat, sehingga ketika dihubungan dengan munculnya wabah virus corona saat ini, seperti menemukan momentumnya dengan beragam makna.

Pada zaman Mataram Islam misalnya, pagebluk dihubungkan dengan kemunculan bintang berekor atau komet. Orang Jawa menyebutnya lintang kemukus. Menurut tradisi mereka, kemunculan komet pada arah tertentu memiliki arti, di antaranya sebagai pertanda kemunculan pagebluk. Penampakkan lintang kemukus ini diyakini membawa ‘hal yang kurang baik’, kecuali apabila muncul di arah barat’. Artinya jika komet ini jatuh dipercaya akan diikuti dengan penyimpangan mikrokosmos, berupa pagebluk.

Wabah penyakit yang menimpa manusia ataupun binatang adalah pertanda tentang adanya kekacauan di mikrokosmos. Adapun kemunculan lintang kemukus merupakan pertanda adanya krisis pada makrokosmosnya.

Namun secara umum, menurut Bani Sudardi, dosen Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, dalam “Konsep Pengobatan Tradisional Menurut Primbon Jawa”, terbit di jurnal Humaniora Vol. 14/2002, seperti dikutip dari Historia, orang Jawa percaya kemungkinan mereka sakit bergantung pada kualitas hubunganya dengan lingkungan. Mereka yakin bahwa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari suatu tatanan kosmis.

Itu mengapa, sebagaimana menurut sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa III: Warisan Kerajaan Konsentris, ritual-ritual pedesaan seperti oleh masyarakat Tengger tadi, banyak dilakukan demi menjaga keserasian semesta. Antara desa dan kosmos harus seimbang agar kehidupan tak bergoyang.

Saking takutnya pada dampak pagebluk ini, orang Jawa pun mulai mencari pertanda atau tetenger sebelum wabah datang. Karena itu masa pagebluk ini diantisipasi dengan berbagai acara yang diyakini sebagai penolak bala. Seperti membuat nasi tumpeng, menyimpan bunga tertentu di depan pintu rumah hingga mengkonsumsi sayur lodeh.

Yang jelas, sayur lodeh, selain lezat tentu memiliki beragam asupan yang sangat bermanfaat bagi tubuh agar memiliki daya tahan terhadap beragam penyakit. Bisa pula dimaknai menumbuhkan optimisme bahwa persoalan wabah ini bisa dihadapi dengan menjunjung tinggi budaya bernilai luhur. [Dari berbagai sumber]

Back to top button