Site icon Jernih.co

120 Tahun Perdebatan Paspor Vaksin

JERNIH — Sejumlah negara sedang sibuk memperdebatkan paspor vaksin. Sebagian orang mengatakan paspor vaksin adalah tiket menuju keadaan normal, bukti imunisasi yang mudah diakses dan hadiah bagi yang divaksinasi.

Sebagian lain mengatakan paspor vaksin adalah bentuk diskriminasi. Alasannya, tidak seluruh penduduk bisa divaksin serentak. Strategi vaksinasi membagi masyarakat dalam kelompok rentan dan tidak.

Kebijakan paspor vaksin juga akan membagi penduduk ke dalam dua kelompok. Mereka yang belum divaksin akan merasa terpinggirkan dan terikat pada kebijakan pembatasan. Mereka yang telah divaksin bebas bergerak.

Paspor Vaksin: Kebijakan Gagal

Sejenak melihat ke belakang, perdebatan paspor vaksin bukan baru tepi telah ada sejak 1890-an, atau ketika pemerintah British-India memberlakukan serangkaian tindakan untuk menghentikan wabah pes, termasuk mewajibkan pelancong membuktikan telah divaksinasi.

Saat itu namanya bukan paspor vaksin, tapi sertifikat vaksinasi. Orang-orang India yang terjajah melihat sertifikat vaksin, yang dimandatkan pemerintah, sebagai tindakan invasif untuk membatasi perjalanan dan mengontrol pergerakan warga.

Pejabat berjuang menegakan persyaratan, tapi kalah jumlah oleh orang-orang yang bepergian ke seluruh negeri.

Konsep paspor vaksin tidak beda dengan sertifikat vaksinasi, di atas kertas atau dalam bentuk digital. Paspor vaksin memungkinkan orang leluasa bergerak. Yang belum divaksin tidak bisa melakukannya.

Ini dimaksudkan untuk menjaga mereka yang belum divaksinasi keluar, beraktivitas di tempat umum dan menularkan virus. Yang tak divaksinasi akan terikat pada peraturan pembatasan. Yang divaksin kembali ke kehidupan normal.

Jika sejarah berulang, kebijakan paspor vaksin — yang mungkin akan dipaksakan banyak negara — tidak akan berjalan lancar. Tahun 1890-an, ketika Inggris memaksakan kebijakan ini, banyak pendatang dari luar negeri — dan yang akan bepergian ke luar negeri — menolak. Situasi sama akan terjadi.

Penemuan Vaksin, Paspor Vaksin

Paspor vaksin muncul bersamaan dengan penemuan vaksin. Tahun 1890-an, ketika gelombang pes ketiga, Waldemar Mordechai Wolff Haffkine — pakar bakteri Kekaisaran Rusia asal Ukraina — bergabung dengan pemerintah British-India untuk mencegah penyebaran pes.

Rene Najera, pakar penyakit menular dan editor proyek History of Vaccines, mengatakan tugas Haffkine adalah menggunakan keahliannya menemukan obat yang efektif.

“Haffkine mengulangi sukses vaksin anti-kolera dengan membuat vaksin anti-pes,” kata Najera. “Semula, vaksin temuannya digunakan sendiri dan diberikan ke orang-orang di penjara Bombay.”

Vaksin temuna Haffkine terbukti efektif. Namun, pemerintah British-India kesulitan memproduksi dalam jumlah besar untuk diberikan ke seluruh warga dalam waktu cepat.

Tahun 1897 Inggris mengeluarkan UU penyakit Epidemi, yang memberi ijin pejabat mengambil tindakan kesehatan masyarakat. Pejabat boleh memaksa orang terkena wabah pes keluar dari rumah, dan membakar rumah yang dipenuhi tikus.

Warga juga wajib membawa sertifikat vaksinasi jika bepergian. Tindakan keras terjadi di seluruh negeri, dan menyebabkan kerusuhan sipil di sekujur India.

Tidak ada yang bisa dilakukan penduduk terjajah selain kembali ke desa. Terjadi eksodus luar biasa besar penduduk dari kota-kota padat ke kampung halaman.

“Masalahnya, mereka membawa wabah ke desa,” kata Najera.

Pejabat British-India juga prihatin dengan situs ziara Hindu dan Islam, kerap mengundang ribuan orang berkumpul. Bagi Muslim, ibadah haji menjadi dorongan untuk mendapatkan imunisasi.

“Namun pada kasus ziarah lain, cara ini gagal. Orang merasa tak perlu divaksinasi untuk melakukan perjalanan,” kata Najera.

Melarang orang bepergian, apalagi terhadap orang-orang terjajah, sangat sulit. Jika dipaksakan akan muncul kekerasan, dan meluas ke seluruh negeri. Paspor vaksin pertama di India gagal total.

Paspor Vaksin yang Tersisa

Ada satu paspor vaksin yang diterapkan dan relatif berhasil, yaitu ‘kartu kuning’. Paspor vaksin ini muncul ketika demam kuning mewabah di beberapa negara.

Kartu kuning adalah bukti si pembawa sudah divaksin untuk mencegahnya menyebarkan penyakit ke orang lain. Demam kuning juga satu-satunya penyakit yang secara khusus disebut dalam Peraturan Kesehatan WHO, meski banyak negara menetapkan persyaratan vaksinasi masing-masing.

Selandia Baru dan Australia, misalnya mewajibkan pendatang menerima vaksin campak, gondok, dan rubella. Kebijakan ini berlaku tahun 2019 ketika campak muncul di kedua negara.

Kini, terserah setiap negara apakah akan menerapkan paspor vaksin untuk mencegah penyebaran virus korona. Yang pasti, jika kebijakan itu dilakukan akan tercipta dua kelompok besar masyarakat; yang terbebas dan terkungkung.

Exit mobile version