Washington — Setelah 18 tahun mencoba menghancurkan Taliban, dan memproduksi kebohongan tentang Perang Afghanistan, AS dipastikan menarik seluruh pasukannya dari negara yang dihancurkan.
Berbicara kepada CNN, seorang pejabat senior pemerintah AS mengatakan AS akan menarik pasukan di tengah desakan diplomatik untuk memperbarui pembicaraan damai dengan Taliban.
Ini bukan langkah mengejutkan. Presiden Donald Trump telah memberi isyarat terbuka tentang niatnya menarik beberapa ribu tentara dari Afghanistan, dan mengurangi keterlibatan militer AS di negara itu.
Perang Afghanistan diawali carpet bombing AS untuk menghancurkan rejim Taliban. Awal 2019 muncul kabar AS akan berunding dengan Taliban. Terakhir, sebuah bom meledak tak jauh dari pangkalan militer AS di Afghanistan.
Sejak 2001, AS menghabiskan 133 miliar dolar untuk membangun kembali Afghanistan. Sedangkan militer AS menghabiskan dua triliun dolar AS untuk menghancurkan Afghanistan dan Taliban.
Sebanyak 2.300 tentara AS terbunuh. Di pihak Afghanistan, 58 ribu tentara dan polisi tewas, 38 ribu warga sipil menemui ajal. Di pihak Taliban, 42 ribu tewas akibat perang tak seimbang dalam persenjataan.
Membunuh lebih banyak musuh tak mengindikasikan kemenangan. AS sangat tahu soal itu, karena Perang Vietnam terdokumentasi dengan baik.
Kini, yang disebut kemenangan oleh AS adalah 3,5 juta gadis Afghanistan terdaftar di sekolah, 1.200 milik jalan rasa baru terbangun. Kabul, ibu kota Afghanistan, memiliki media kelas menengah lokal dengan tingkat kebebasan yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Di Vietnam Selatan, AS juga melakukan hal serupa tapi gagal melindungi pemerintahan Presiden Nguyen Van Thieu dari serbuah komunis Vietnam Utara dan gerilyawan Vietcong.
Di Afghanistan, Taliban — yang sempat hancur akibat carpet bombing — bangkit dengan kecepatan tak terkira dan mengontrol banyak distrik di Afghanistan. Kini, mereka menunggu AS angkat kaki untuk kembali berkuasa di Kabul.
Pemerintahan Afghanistan bentukan AS, dengan semua pasukannya, diyakini tidak akan sanggup bertahan menghadapi militansi Taliban.
The Washington Post, dalam Afghanistan Papers, mengungkapkan semua ini. Salah saru surat kabar terkemuka itu juga mempertanyakan tujuan jangka panjang AS di Afghanistan.
Negeri Rumit
Masalah yang dihadapi AS adalah sikap ‘yang bisa dilakukan’ militer AS. Alih-alih sekadar menjalankan tugas tempur, militer AS juga melakukan misi pembangunan.
Mengenyahkan Taliban dan memastikan tidak ada tempat aman bagi Al Qaeda menjadi tugas sampingan. AS hanya tahu sedikit tentang Afghanistan, dan komposisi etnis-nya yang rumit.
Pemerintah memperkirakan penarikan pasukan AS tidak akan bonekanya bertahan lama. Orang masih belum lupa dengan tragedi Mohammad Najibullah, presiden Afghanistan boneka Uni Soviet. Tiga tahun setelah Uni Soviet keluar dari negara itu, Gerilyawan Mujahiddin menumbangkan Najibullah.
Satu dekade lalu Presiden Barrack Obama mengumumkan lonjakan pasukan AS di Afghanistan menjadi 100 ribu. Afghanistan saat itu digambarkan sebagai konflik yang adil tapi diabaikan setelah Presiden George W Bush mengumumkan perang melawan irak tahun 2003.
Kenyataannya, perang di Afghanistan dan Irak dimulai sebagai operasi pergantian rejim. Setelah menjadi perang terbuka, AS kesulitan mengakhirinya.
Setelah itu penarikan pasukan perlahan-lahan dilakukan. Jumlah pasukan AS di Afghansitan kini tersisa 12 ribu. Sebanyak 4.000 akan ditarik dalam waktu dekat. Di sisi lain, AS berusaha berunding dengan Taliban.
Entah apa yang ada di benak publik AS ketika menyaksikan negeri mereka yang perkasa harus berunding dengan rejim yang berusaha dimusnahkan selama hampir dua dekade.