Site icon Jernih.co

48 Persen Rakyat Myanmar Terancam Jatuh Miskin

JERNIH — Lebih setengah penduduk Myanmar terancam dipaksa miskin total pada akhir 2021, menyusul kehancuran ekonomi negara itu akibat krisis politik dan pandemi virus korona.

Laporan terbaru Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyebutkan keruntuhan layanan dasar seperti perbankan dan perawatan kesehatan, serta jaring pengaman sosial yang tak memadai, akan mendorong jutaan orang terjerumus ke bawah garis kemiskinan.

Setiap keluarga di Myanmar, demikian laporan PBB, akan dipaksa hidup dengan 1,10 dolar AS, atau Rp 16 ribu, per hari. Anak-anak dan perempuan akan menjadi kelompok yang paling terpukul.

Analisis Program Pembangunan PBB (UNDP), diterbitkan Kamis lalu, memperingatkan jika situasi keamanan dan ekonomi tidak segera stabil, 25 juta penduduk Myanmar — sekitar 48 persen dari populasi negeri itu — akan hidup dalam kemiskinan pada tahun 2022.

Kemiskinan masif relatif tidak terlihat di Myanmar sejak 2005, atau ketika negara itu masih terisolasi dan paria, serta diperintah rejim militer sebelumnya.

Achim Steiner, administrator UNDP, mengatakan; “Kita sedang menghadapi tragedi yang sedang berlangsung di Myanmar.’

Unjuk rasa sejak kudeta 1 Februari, yang direspon dengan pembunuhan brutal oleh tentara Myanmar, membuat rantai pasokan barang dan jasa terganggu. Sistem perbankan ditanguhkan, pengiriman uang tidak dapat menjangkau orang, pembayaran keamanan sosial untuk orang miskin tidak dapat dibayarkan.

“Ini hanya sebagian dari dampak langsung,” kata Steiner. “Krisis politik yang berlarut-larut akan memperburuk keadaan ini.”

Demokrasi dan Kemiskinan

Myanmar membuat kemajuan luar biasa dalam mengurangi kemiskinan, terutama sejak transisi demokrasi dari pemerintahn milteri tahun 2021. Transisi itu mendorong reformasi ekonomi dan politik.

Selama 15 tahun terakhir, Myanmar secara efektif mengurangi separuh tingkat kemiskinan, dari 48,2 persen tahun 2005 menjadi 24,8 persen tahun 2017.

Meski demikian Myanmar masih dianggap sebagai negara termiskin di Asia, dengan perkiraan setengah dari penduduknya berpendapatan rendah dan tidak pasti.

Bagi banyak penduduk Myanmar, guncangan pertama terjadi akibat pandemi global. Tindakan penguncian, penahan yang mengganggu rantai pasokan, membuat bisnis — terutama ritel, manufaktur, ekspor, bisnis kecil, dan lainnya — menderita.

Hingga Desember 2020, sebelum kudeta militer, 420 pekerja migran Myanmar pulang. Setelah itu, 83 persen rumah tangga di Myanmar kehilangan 50 persen penghasilan akibat pandemi.

Guncangan kedua muncul pada 1 Februari, ketika Jenderal Min Aung Hlaing merebut kekuasaan, menggulingkan pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis.

Pekan-pekan berikutnya, dan sampai saat ini, aksi protes muncul di hampir semua kota di Myanmar. Kalangan profesional menggelar pembangkangan sipil, yang melumpuhkan semua sektor pelayanan; perbankan, rumah sakit, sekolah, pegawai negeri, pekerja pabrik, dan lainnya.

Militer Myanmar merespon semua ini dengan peluru. Pembunuhan terjadi dijalan-jalan, dengan 750 orang menemui ajal, dan 4.500 orang ditangkap. Myanmar berubah menjadi negeri hidup dalam ketakutan ditembak oleh tentara sendiri.

Dampak pandemi menaikan kemiskinan di Myanmar dari 24,8 persen menjadi 36,1 persen, menurut perkiraan UNDP. Jika digabungkan dengan krisis politik, tingkat kemiskinan di Myanmar mencapai 48,2 persen, atau kembali ke posisi tahun 2005.

Exit mobile version