Pada 2007 para biksu pernah berada di garis depan “Revolusi Saffron” melawan junta yang saat itu berkuasa di Myanmar, yang membuka jalan bagi reformasi demokrasi saat itu
JERNIH–Organisasi biksu Buddha paling berpengaruh di Myanmar meminta junta yang berkuasa setelah melakukan kudeta, untuk mengakhiri kekerasan terhadap pengunjuk rasa. Para biksu itu juga menuduh pihak militer sebagai “minoritas bersenjata” yang melakukan penyiksaan dan pembunuhan warga sipil tak berdosa menyusul kudeta bulan lalu.
Komite Sahgha Maha Nayaka (Mahana) berencana akan mengeluarkan pernyataan akhir setelah berkonsultasi dengan Menteri Agama pada hari Kamis (18/03),demikian menurut portal berita Myanmar Now, mengutip seorang biksu yang hadir di pertemuan tersebut.
Dalam kecamannya atas tindakan keras militer terhadap demonstran, organisasi biksu yang ditunjuk pemerintah itu juga menyerukan anggotanya untuk menghentikan segala aktivitas. Anggota Mahana belum dapat dimintai komentarnya oleh kantor berita Reuters, tetapi sikap mereka ini menandakan adanya keretakan dengan pihak pemerintah.
Lebih dari satu dekade lalu yakni di tahun 2007, para biksu pernah berada di garis depan “Revolusi Saffron” melawan junta militer yang saat itu berkuasa di Myanmar. Perlawanan ini kemudian membantu membuka jalan bagi reformasi demokrasi.
Situasi di Myanmar tidak menentu dan khaos sejak militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari, menahan pemenang hadiah Nobel Perdamaian ini dan para anggota partai lainnya, yang menimbulkan kecaman internasional yang meluas.
Situasi perang
Sejauh ini, telah lebih dari 180 pengunjuk rasa tewas dalam serangkaian gelombang demonstrasi menentang kudeta militer, demikian laporan kelompok aktivis Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Di sejumlah distrik di Yangon kini berlaku status darurat militer dan ribuan penduduk telah meninggalkan kawasan industri Hlaingthaya, setelah aparat keamanan membunuh 40 orang pada hari Minggu (14/03) dan sejumlah pabrik dilalap api.
“Di sini seperti medan perang, mereka menembak di mana-mana,” kata seorang organisator tenaga kerja di daerah itu. Ia menambahkan bahwa sebagian besar penduduk terlalu takut untuk keluar rumah.
Gerakan massa pendukung demokrasi juga telah menuduh pemerintah Cina ikut menyebarkan pengaruhnya lewat perebutan kekuasaan oleh pihak militer, yang dituduh telah memperdagangkan kebebasan Myanmar untuk keuntungan pribadi.
Pada Minggu (14/03) setidaknya 32 pabrik tekstil milik pengusaha Cina dibakar di beberapa kota kecil sekitar Yangon, menyebabkan kerusakan dengan kerugian diperkirakan mencapai 37 juta dolar AS (sekitar Rp 533 miliar), menurut laporan media pemerintah Cina.
Pabrik-pabrik tekstil yang didanai investor Cina yang berada di sejumlah titik konflik juga telah ditutup pada Selasa (16/03), para pekerja pun terpaksa tinggal di dalam lingkungan pabrik, menurut seorang perwakilan dari pabrik garmen dicdistrik Shwepyitar, Yangon.
“Semua staf dari Cina tetap berada di dalam pabrik … beberapa polisi juga ditempatkan di sana,” kata juru bicara yang tidak mau disebutkan namanya kepada AFP di Beijing.
Seorang juru bicara Kementerian Luar Negeri di Beijing menuntut perlindungan segera terhadap “institusi dan personel Cina”. Media pemerintah Cina juga memperingatkan bahwa Beijing dapat mengambil tindakan tertentu jika terjadi serangan lebih lanjut terhadap kepentingan bisnis milik Cina.
Presiden Cina Xi Jinping dalam kunjungan tahun 2020 ke Myanmar, berusaha merangkul Myanmar dengan mengatakan bahwa kedua negara tersebut berbagi takdir. Sejak itu, Cina mengingvestasikan proyek bernilai miliaran dolar di Myanmar, termasuk pembangunan jaringan pipa minyak dan gas, dalam kerangka proyek Belt and Road Initiative. [Reuters/AFP]