Site icon Jernih.co

Alwi Shahab yang Saya Kenal

Abah Alwi mengajarkan pembacanya untuk melihat dan belajar dari masa lalu. Masa lalu yang bukan sekedar tempat-tempat tertentu yang memiliki sejarah, tapi juga kehidupan masyarakatnya.

JERNIH–Suatu hari Abah Alwi, demikian Alwi Shahab dipanggil di kalangan rekan-rekan Republika, bercerita tentang popularitas dirinya di kalangan pembaca.

“Saya hendak ke suatu tempat di Jakarta Utara, dan harus naik ojek,” Abah Alwi memulai ceritanya. Abah Alwi melanjutkan; “Tukang ojek itu bertanya apakah saya Alwi Shahab, atau Abah Alwi. Saya jawab, ya.”

Setelah berbicara sejenak, masih menurut Abah Alwi, tukang ojek mengantar ke tempat tujuan dan menolak dibayar. “Saya selalu membaca tulisan Abah Alwi di Republika,” Abah Alwi menirukan kata-kata tukang ojek itu.

Sulit mengecek kebenaran cerita itu. Jadi, saya agak meragukan.

Beruntung, keraguan saya atas cerita itu hilang dalam beberapa hari. Seorang tukang rokok di pinggir Jl Kepa Timur Raya, tak jauh dari rumah saya, bertanya apakah benar saya bekerja di Republika.

Saya jawab; “Ya.” Tukang rokok itu mengatakan; “Sampaikan salam saya ke Abah Alwi. Saya selalu mengikuti tulisannya.”

                                 --------

Sebenarnya, apa yang ditulis Abah Alwi dan bagaimana tulisannya bisa dinikmati banyak orang?

Abah Alwi menulis tentang Jakarta Tempo Doeloe dengan gaya yang khas, yang dikembangkannya sekian tahun dan menjadi identitasnya. Ia bukan sejarawan, tapi layak disebut penutur sejarah Jakarta terbaik.

Nasihin Masha, mantan Pemred Republika, mengatakan Abah Alwi menulis sejarah dari satu sisi komunitas pembangun sejarah kota, yaitu Arab. Maklum, Abah Alwi berlatar belakang Arab, dan rajin menjalin silaturahmi warga-warga Arab di permukiman peninggalan kebijakan segregasi etnis Hindia-Belanda, yaitu Kwitang, Krukut, dan lainnya.

Tidak terlalu keliru memposisikan Abah Alwi sesuai komunitasnya. Dalam banyak tulisan di Bandar Jakarta, rubrik yang disediakan untuk Abah Alwi, Alwi Shihab menuturkan tempat-tempat di Jakarta Tempo Doeloe dengan sumber orang-orang Arab.

Namun jika membaca lebih banyak tulisan di Bandar Jakarta, Alwi Shihab sebenarnya tidak hanya menulis Jakarta dari satu sisi komunitas, tapi beberapa. Ia banyak mengutip sumber-sumber Belanda, terutama karya sejarawan Adolf Heuken SJ, dan buku-buku Firman Muntaqo.

Abah Alwi tak lelah membolak-balik kolonial verslaag, Regerings-Almanak Nederlandsch-Indië yang diperoleh dari perpustakaan, untuk memperkaya tulisannya. Data sejarah itu dituturkan secara ringan, dengan pilihan kata yang tepat.

Terkadang, Abah Alwi mengesampingkan penulisan kata dalam Bahasa Belanda untuk memanjakan pembacanya kelelahan. Abah Alwi tahu dia menulis tidak untuk kalangan akademisi, terutama sejarawan. Ia menulis untuk orang awam yang menyukai sejarah.

Abah Alwi mengajarkan pembacanya untuk melihat dan belajar dari masa lalu. Masa lalu yang bukan sekedar tempat-tempat tertentu yang memiliki sejarah, tapi juga kehidupan masyarakatnya. Khusus yang terakhir, dia melulu melihat dari sisi masyarakat Arab.

Jakarta dibangun oleh tiga etnis dominan; Belanda/Eropa, Tionghoa, dan Arab. Pribumi, dari berbagai etnis, adalah kelompok lain, relatif terpinggirkan dari pembangunan Batavia.

                                ---------

“Saudara-saudara…..!! Kalo Masjumi menang pemilu, nama Lapangan Banteng diganti jadi Lapangan Onta.”

Kalimat di atas adalah salah satu cerita Abah Alwi tentang Pemilu 1955, ketika PKI, Masjumi, dan belasan partai, bersaing meraih suara terbanyak. Cerita itu dituturkan Abah Alwi di pantry Republika, dan kami yang mendengar tertawa.

Sebagai wartawan yang lalu-lalang di Jakarta sejak 1950-an, dan memiliki daya ingat luar biasa, Abah Alwi punya banyak cerita. Mulai dari cerita di kalangan bawah sampai ke istana.

Khusus yang terakhir, Abah Alwi memiliki banyak cerita tentang hari-hari terakhir Presiden Soekarno di istana. Ia punya banyak untold stories, tidak hanya tentang Soekarno tapi juga Ali Sadikin.

Salah satunya soal Menara Soekarno, yang rencananya didirikan di kawan Ancol. Rencana yang tidak pernah terwujud, karena Soekarno lengser. Atau, mimpi Soekarno membangun Jakarta yang bukan Batavia peninggalan Hindia-Belanda.

Jakarta yang bukan Batavia peninggalan Belanda ‘memakan’ banyak korban, seperti penghapusan trem, gedung di sisi Deca Park, Gedung Pusat Telepon Gambir, dan Perss Club, menghilang. Hoopbiro, kantor polisi Komisariat Jakarta Raya, dipindahkan ke Komdak Jl Semanggi, kini bernama Polda.

Khusus untuk yang ini Abah Alwi memadukan dua hal; sejarah dan pengalaman jurnalistik. Ia menuliskan semuanya dengan gaya jurnalistik yang sederhana, dan tidak panjang dan melelahkan.

Sebagai sosok wartawan senior, dengan pengalaman 40 tahun, Abah Alwi memiliki ceruk pembacanya sendiri. Pembaca yang mengidolakan, dan mengabumi kemampuannya menarasikan sejarah Jakarta dengan sederhana.

Kini, Albah Alwi telah tiada. Sebagai orang yang memprovokasi saya menekuni sejarah, saya sangat kehilangan. Semoga Allah Swt memberi tempat layak kepada Abah Alwi. Amin.

Exit mobile version