Tindakan UNT dilakukan setelah pemerintah AS mendesak universitas untuk waspada terhadap potensi spionase dan pengaruh dari entitas pemerintah Cina, termasuk CSC.
Oleh : Sarah Zheng
JERNIH– Dua hari setelah musim gugur dimulai, sekelompok peneliti Cina yang tengah menjalani program pertukaran di Universit of North Texas (UNT) dikejutkan pengumuman mendadak: mereka tiba-tiba diminta meninggalkan Amerika Serikat.
Dalam email yang dikirim pada 26 Agustus, UNT memberi tahu para peneliti itu bahwa mereka telah memutuskan hubungan dengan Dewan Beasiswa Cina (CSC), sebuah program pendanaan di bawah Kementerian Pendidikan Cina. Konsekuensinya, visa pelajar mereka dianggap tidak berlaku lagi, dan mereka hanya punya waktu 30 hari untuk meninggalkan AS.
Tidak ada alasan jelas yang diberikan atas keputusan yang dikirimkan via email tersebut. Yang jelas, itu berarti bahwa 15 peneliti yang didanai CSC itu harus meninggalkan Amerika Serikat paling lambat akhir September ini.
Salah satu cendekiawan yang terkena dampak beleid, seorang spesialis dalam visi komputer dan smart sistem, mengatakan bahwa email tersebut mengejutkan semua orang, terutama karena program pertukaran mereka yang hanya satu tahun itu tinggal dua bulan lagi.
“Saya sangat terkejut, itu sangat tiba-tiba,” kata si peneliti. “Saya tidak berpikir bahwa situasi seperti ini akan terjadi. Saya masih tidak jelas mengapa mereka melakukan ini, dan jika universitas tidak membatalkan keputusan tersebut, satu-satunya pilihan saya hanya pulang. ”
Keputusan tersebut menutup pintu pertukaran akademis antara AS dan Cina, seiring meningkatnya ketegangan antara kedua negara atas tuduhan AS tentang pencurian kekayaan intelektual dan kecurigaan akan pengaruh Beijing di kampus-kampus Amerika.
Pihak UNT tidak menanggapi permintaan yang dikirimkan untuk mengklarifikasi alasan keputusan universitas tersebut.
Dalam email kepada anggota fakultas, Kamis lalu, administrator UNT mengatakan tindakan itu “berdasarkan informasi spesifik dan kredibel, setelah pengarahan rinci dari penegak hukum federal dan lokal”, sebagaimana tertulis koran kampus universitas, North Texas Daily.
“Karena sifat sensitif dari situasi ini, saya harap Anda memahami mengapa kami tidak diizinkan untuk berbagi informasi tambahan saat ini,” kata pejabat universitas tersebut.
Dalam cuitan yang diunggah di Twitter, UNT mengatakan, langkah tersebut “terbatas pada peneliti tamu yang didanai oleh CSC” dan bahwa kampus “terus menyambut sarjana tamu dari seluruh dunia, termasuk Cina”.
Seorang mahasiswa doktoral yang didanai CSC di UNT mengatakan, dia sekarang berusaha keras untuk mendaftar ke universitas lain guna melanjutkan penelitian computer research imaging-nya yang tinggal satu tahun lagi.
“Mereka harus meminta maaf,” katanya. “Semua orang yang rasional akan berkomentar soal penolakan mereka pada sarjana Cina yang dibiayai dana CSC, tetapi tetap menyambut sarjana Cina itu sebagai pernyataan menjijikkan, bahkan lucu.”
“Tanpa penjelasan yang jelas, tidak ada mahasiswa Cina yang mau datang ke universitas ini untuk belajar, atau untuk pertukaran akademis.”
Tindakan UNT dilakukan setelah otoritas AS mendesak universitas untuk waspada terhadap potensi spionase dan pengaruh dari entitas pemerintah Cina, termasuk CSC.
Menurut laporang yang dilansir Centre for Security and Emerging Technology, Georgetown University, Juli lalu, CSC mendanai antara tujuh hingga 18 persen dari 370.000 mahasiswa Cina yang belajar di AS.
Beberapa universitas Cina menyatakan, CSC memprioritaskan pendanaan untuk studi di “bidang-bidang utama, proyek besar, teknologi perbatasan, penelitian dasar, humaniora dan ilmu social, serta bidang lain yang sangat dibutuhkan untuk strategi nasional negara dan industri penting”.
Saat dihubungi, pihak CSC juga tidak menanggapi permintaan untuk berkomentar.
Beberapa waktu lalu pemerintah AS menyatakan keprihatinan bahwa para peneliti Cina di universitas-universitas Amerika dapat mencuri kekayaan intelektual berharga yang sangat mungkin sampai ke tangan militer Cina. Untuk mencegah hal ini, pemerintah AS telah melarang masuknya peneliti Cina yang memiliki hubungan dengan militer Cina dari universitas AS.
Selain itu, berbagai kasus menunjukkan banyak mahasiswa dan akademisi Cina di AS telah dituduh melakukan spionase dalam beberapa bulan terakhir, termasuk seorang profesor di Texas A&M University, yang diduga telah bekerja sama dengan pemerintah Cina saat bekerja di NASA.
Seorang peneliti Cina di Universitas Virginia juga ditangkap akhir bulan lalu, karena dugaan pencurian rahasia dagang. Pernyataan tertulis pengadilan mengatakan, peneliti itu “diarahkan oleh Dewan Beasiswa Cina (CSC) untuk mengunggah ringkasan laporan penelitiannya setiap enam bulan”, sebagaimana ditulis Washington Examiner.
Sementara itu Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo pada sebuah acara bincang-bincang di radio awal pekan lalu mengatakan, setiap mahasiswa Cina berada di bawah pengawasan Beijing.
“Anda tidak akan menganggap mereka mata-mata dalam arti yang paling formal, tetapi banyak dari siswa ini berada di bawah tekanan yang sangat besar sebagai akibat dari aktivitas Partai Komunis Cina,” kata Pompeo.
Tetapi Liang Yuheng, mantan mahasiswa UNT yang memulai petisi untuk meminta universitas untuk menjelaskan dan mengubah keputusan, mengatakan bahwa para cendekiawan tersebut tidak mengancam universitas atau AS. Dia memposting email yang dikirim kepada para peneliti, memberi tahu mereka bahwa universitas telah memotong akses mereka ke email, server, dan materi universitas.
“Tindakan ini mengejutkan para sarjana Cina ini karena mereka sama sekali tidak siap,” kata Liang. “Setahu saya hanya UNT yang menghentikan program ini. Salah satu sarjana Cina mengambil jurusan hidrologi dan sumber daya air, dan tidak ada ancaman bagi UNT dan AS. ”
Para pengamat mengatakan, meski ada kekhawatiran nyata tentang potensi pencurian kekayaan intelektual dan pengaruh pemerintah Cina atas para pelajar Cina di luar negeri, kebijakan AS yang berlebihan itu sangat berdampak pada para pelajar.
Eric Fish, penulis “Chinese Millennials: The Want Generation” dan peneliti mahasiswa internasional Cina di AS mengatakan, tidak jelas apakah keputusan UNT itu dipicu oleh sebuah insiden, merupakan tindakan pencegahan pre-emptive atau sesuatu yang sama sekali berbeda.
“Tampaknya hampir setiap bulan sekarang ada beberapa kebijakan baru yang dikeluarkan atau diberlakukan, yang membuat kehidupan dan studi di AS lebih berbahaya bagi siswa Cina, dan itu di atas tambahan rasisme dan tekanan yang dibawa oleh virus korona dan hubungan AS-China yang tegang,” kata Fish.
“Jika UNT tidak memberikan penjelasan apa pun, itu akan membuat banyak mahasiswa depresi.”
Zhiqun Zhu, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Bucknell, mengataka, klaim “spionase” terhadap cendekiawan Cina “tidak berdasar dan didorong secara politik”.
“Banyak universitas dan perguruan tinggi Amerika akan kehilangan talenta dari Cina, yang tidak hanya memperkaya semangat akademik dan keragaman di kampus-kampus Amerika, tetapi juga berkontribusi pada pendapatan sekolah dan ekonomi lokal,” katanya. “Ini kerugian bagi semua orang yang terlibat.”
Kementerian luar negeri Cina mengatakan keputusan UNT tampaknya menjadi contoh lain dari banyak kelakuan AS yang merusak hubungan dengan Cina.
“Beberapa ekstremis, gerombolan anti-Cina, telah menekan kebutuhan strategis Cina untuk pembangunan, dan membuat banyak kebohongan untuk menstigmatisasi dan menjelekkan mahasiswa kami,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Hua Chunying.
Adam Briggle, seorang profesor di UNT yang menjadi tuan rumah sarjana tamu yang disponsori CSC, termasuk di antara mereka yang menandatangani petisi online Liang.
Pada petisi tersebut, Briggle menggambarkan keputusan universitas sebagai “berlogika tumpul dan tiba-tiba”, menambahkan (selama ini) tidak ada tuduhan terhadap salah satu sarjana tamu Cina, “apalagi semuanya”.
“Tidak adil untuk menjungkirbalikkan kehidupan para sarjana ini–memaksa mereka melakukan perjalanan pulang yang berbahaya di tengah pandemi global— tanpa bukti khusus atau kredibel tentang kesalahan mereka,” tulisnya.
Sementara itu, peneliti Cina tentang pencitraan komputer yang tengah mencari sekolah baru mengatakan, dia khawatir akan adanya tindakan lebih lanjut terhadap siswa dari Cina. “Ini sangat sulit,” kata dia. ”Saya pribadi masih berharap bisa ada pertukaran orang-ke-orang yang lancar dan normal antara negara kita.” [ South China Morning Post]
Sarah Zheng bergabung dengan Post sebagai reporter pada 2016. Dia lulus dari Tufts University dengan gelar dalam bidang hubungan internasional serta studi film dan media.