Site icon Jernih.co

Amerika Seharusnya Takut dengan Alasan Berdirinya RCEP yang Sebenarnya

Menteri Perdagangan Australia Simon Birmingham (kanan) dan Perdana Menteri Scott Morrison pada upacara penandatanganan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) di Canberra, 15 November. Sekutu terdekat Amerika, seperti Australia, telah ikut dalam Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik dan RCEP, tanpa partisipasi AS. Foto: EPA-EFE

Tantangannya bukanlah bahwa kesepakatan perdagangan terbesar di dunia itu dipimpin Cina yang menandai tegaknya tatanan Sinosentris, melainkan bahwa kawasan Asia-Pasifik menunjukkan tidak lagi membutuhkan kepemimpinan AS

Oleh   : Christian Le Miere

JERNIH– Penandatanganan Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional pada 15 November tak pelak merupakan pencapaian yang signifikan. RCEP adalah blok perdagangan bebas terbesar di dunia, menyalip Uni Eropa, dan mencakup hampir sepertiga dari populasi dan hasil ekonomi dunia.

Tidak mengherankan, hal ini segera dimasukkan ke dalam narasi kebangkitan Cina dan penurunan peran Amerika Serikat. Hiruk-pikuk komentator telah menyatakan bahwa RCEP mencerminkan pergeseran geopolitik, dengan keberhasilan Cina mengumpulkan negara-negara regional menjadi perjanjian perdagangan bebas besar-besaran,  sementara AS yang awalnya termasuk pendiri justru memanjakan diri dalam isolasionisme yang menghancurkan diri sendiri.

RCEP, menurut pandangan ini, adalah bukti terbaru dari munculnya tatanan regional Sinosentris, dan mungkin bahkan dunia. Tapi ini adalah representasi yang keliru.

Tentu saja, RCEP sangat kontras dengan kebijakan pemerintahan Trump. Salah satu tindakan pertama presiden setelah berkuasa pada Januari 2017 adalah mengeluarkan perintah eksekutif yang menarik diri dari Trans-Pacific Partnership, perjanjian perdagangan bebas yang melibatkan AS dan 11 negara Pasifik lainnya.

Pemerintahan Obama telah melihat perjanjian itu sebagai cara bagi AS untuk memimpin perjanjian perdagangan regional, menetapkan aturan dan norma untuk sebagian besar negara Asia. Ketika Washington menolak untuk berpartisipasi, negara-negara yang tersisa melanjutkan pakta tersebut sebagai Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP).

Sekarang, tujuh anggota CPTPP telah bergabung dengan RCEP, membuka jurang yang lebar antara dorongan berkelanjutan untuk multilateralisme dan kerja sama perdagangan di Asia, dengan isolasi perdagangan yang dikejar oleh pemerintahan Trump dan tercermin dalam keputusan Inggris untuk meninggalkan UE.

RCEP dengan demikian menunjukkan bahwa negara-negara Asia bersedia menempuh jalan tanpa kepemimpinan AS, atau bahkan keterlibatannya, jika perlu. Bahkan beberapa sekutu terdekat Amerika— Jepang, Korea Selatan, Australia, dan Selandia Baru— terus maju dengan CPTPP dan RCEP tanpa partisipasi AS.

Tetapi yang jelas, RCEP tidak selalu mengarah ke tatanan Sinosentris baru. Sebagai permulaan, RCEP tidak dipimpin Cina, meskipun perekonomian Cina jauh lebih besar daripada 14 perekonomian negara lain yang terlibat. Sebaliknya, RCEP dipimpin oleh Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dan secara efektif mengikuti serangkaian perjanjian perdagangan yang telah ditandatangani Asean dengan Cina, Korea Selatan, Jepang, Australia dan Selandia Baru.

RCEP tidak begitu banyak membuat terobosan baru seperti mengonsolidasikan perjanjian yang ada menjadi satu kesepakatan yang menyeluruh. Anggota RCEP sudah memiliki beberapa perjanjian perdagangan bebas bilateral di antara mereka sendiri yang lebih mendalam dan ambisius daripada RCEP. Jauh dari membuat aturan dan menetapkan standar di wilayah tersebut, RCEP bekerja untuk penyebut umum terendah.

Karena itu, tidak benar untuk mengatakan RCEP mencerminkan keberanian Cina untuk memimpin Asia guna mengembangkan tatanan regional tanpa AS dan menjadikan dirinya sebagai pembuat aturan di kawasan itu.

Namun, kreasi RCEP adalah kabar baik bagi Cina (dan, selanjutnya, berita buruk bagi AS). Dengan menciptakan blok perdagangan yang besar, RCEP memudahkan gesekan perdagangan di sebagian besar Asia Timur. Sementara area tertentu dari kesepakatan, seperti aturan untuk layanan dan kekayaan intelektual, tidak lebih kuat dari aturan yang ada, pemasok di seluruh Asia Timur sekarang hanya membutuhkan satu sertifikat asal, yang akan memudahkan perdagangan regional.

Bagi Cina, yang berusaha menunjukkan sentralitasnya pada sistem perdagangan global saat AS mencoba memisahkan ekonominya dan mendorong sekutu untuk mencari rantai pasokan alternatif, ini adalah keuntungan yang signifikan.

Dan meskipun RCEP tidak dipimpin oleh Cina, namun skala ekonomi Cina yang besar memastikan pengaruhnya pada arsitektur perdagangan regional— Cina merupakan lebih dari setengah produk domestik bruto RCEP. Itu juga merupakan perjanjian perdagangan bebas pertama antara Cina, Jepang, dan Korea Selatan, menciptakan blok perdagangan yang mencakup ekonomi terbesar kedua, ketiga, dan kesepuluh di dunia.

Semua itu berarti bahwa meskipun RCEP penting dan mencerminkan tren global yang lebih luas, RCEP belum menunjukkan wilayah yang dipimpin Cina. Tetapi Washington juga tertinggal—atau ditinggalkan–dalam pengembangan arsitektur regional, bahkan ketika berusaha menunjukkan relevansi dan minatnya di kawasan tersebut.

Dalam jangka panjang, ini mungkin tantangan terbesar yang ditimbulkan RCEP: wilayah yang tidak dipimpin Cina, tetapi juga tidak mencari kepemimpinan AS. [South China Morning Post]

Christian Le Miere adalah penasihat kebijakan luar negeri dan pendiri Arcipel, sebuah konsultan strategis

Exit mobile version