Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat Robert O’Brien bulan lalu mengatakan, Penjaga Pantai AS akan mengerahkan kapal pencegat cepat terbarunya di Indo-Pasifik, untuk mengawasi penangkapan ikan ilegal oleh Cina.
JERNIH—Manuver Washington untuk melipatgandakan pemberantasan penangkapan ikan ilegal, tidak diatur, dan tidak dilaporkan (IUU Fishing) melalui kehadiran maritim yang lebih kuat di Asia, disambut baik negara-negara di kawasan. Namun mereka memperingatkan, negara-negara di kawasan itu tidak akan menginginkan penegakan hukum militer yang dapat memicu bentrokan lebih besar di perairan yang disengketakan, dan tidak hanya dengan Beijing.
Komentar mereka merupakan tanggapan atas pengumuman Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat Robert O’Brien bulan lalu, bahwa Penjaga Pantai AS akan mengerahkan kapal pencegat cepat terbarunya di Indo-Pasifik, untuk mengawasi penangkapan ikan ilegal oleh Cina.
Awal pekan ini, David Feith, wakil asisten Sekretaris untuk Urusan Kebijakan Regional dan Keamanan Multilateral di Biro AS Urusan Asia Timur dan Pasifik, mengatakan kepada wartawan bahwa Washington akan memperluas jumlah perjanjian “pengirim” yang dimiliki Penjaga Pantai AS dengan negara-negara Pasifik untuk membantu mereka melawan “perilaku agresif” Cina di laut lepas dan perairan berdaulat negara lain.
Di bawah perjanjian pengirim kapal, otoritas satu negara diizinkan untuk menaiki kapal atau pesawat penegak hukum negara lain saat mereka berpatroli, di mana otoritas negara dapat memberi kewenangan terakhir untuk mengambil tindakan penegakan hukum atas nama mereka.
“Di beberapa daerah, seperti Pasifik Utara, kapal penangkap ikan tanpa kewarganegaraan menunjukkan karakteristik registrasi Cina. Selain itu, milisi maritim China, diperkirakan mencakup lebih dari 3.000 kapal, secara aktif melakukan perilaku agresif di laut lepas dan perairan berdaulat negara lain untuk memaksa dan mengintimidasi nelayan yang sah untuk mendukung tujuan strategis maritim jangka panjang Partai Komunis China,” kata Feith kepada South China Morning Post.
Gilang Kembara, peneliti di Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengatakan, Indonesia tidak akan menyambut pendekatan militeristik AS untuk menekan penangkapan ikan ilegal. “Menurut saya bagus jika AS menawarkan kerja sama dengan penjaga pantai Indonesia, karena IUU Fishing itu tindak pidana, jadi perlu penegakan hukum untuk melawannya,”ujar Gilang. “Namun jika yang mereka tawarkan adalah kerja sama dengan Angkatan Laut AS, dan ini menjadi masalah (militer), pendekatan itu berlebihan. Menurut saya IUU Fishing bukanlah ancaman nyata bagi suatu negara,” katanya, sebagaimana dikutip South China Morning Post.
Jay L. Batongbacal, Direktur Institut Urusan Maritim dan Hukum Laut Universitas Filipina, mengatakanorang Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte juga tidak akan menerima penegakan bersama itu. “Manila mungkin akan puas dengan berbagi informasi tentang kegiatan di laut, dan setidaknya dua sampai tiga tahun terakhir ini pemerintah, terutama biro perikanan, benar-benar memanfaatkan informasi yang tersedia dari AS tentang kegiatan penangkapan ikan asing di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Filipina,” ujar Batongbacal kepada South China Morning Post.
Pendekatan pragmatis
Menurut laporan tahun 2015 yang diterbitkan oleh lembaga pemikir internal Parlemen Eropa, 10 negara ASEAN menyumbang sekitar seperlima dari produksi ikan laut global, dan ekspor ikan dari kawasan itu bernilai 11 miliar dolar AS tahun itu. Sebagai perbandingan, industri perikanan IUU global diperkirakan bernilai 23,5 miliar per tahun, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO).
Cina, yang memiliki armada penangkapan terbesar di dunia, adalah pelaku utama IUU Fishing. Kapalnya paling aktif di Laut Cina Selatan, yang diklaim Beijing hampir secara keseluruhan, meskipun mereka juga ada di bagian lain dunia, sebagaimana data Environmental Justice Foundation, kelompok advokasi yang berbasis di London untuk kelestarian penangkapan ikan global.
Lembaga pemikir Overseas Deployment Institute, yang juga berbasis di London, memperkirakan bahwa Cina memiliki hampir 17.000 kapal penangkap ikan jarak jauh, dan setidaknya 183 kapal di armada ini diduga terlibat dalam IUU Fishing.
Beijing telah menolak upaya Washington untuk mengekang praktik tersebut karena bermotif politik. Mereka menyatakan, pihaknya terus menindak kegiatan penangkapan ikan ilegal, kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Wang Wenbin, September lalu. Cina menyatakan mereka “tidak ada toleransi” untuk IUU Fishing.
Asyura Salleh, spesialis dalam keamanan maritim dan pemerintahan di pusat penelitian kebijakan luar negeri Forum Pasifik, mengakui bahwa upaya Amerika melawan IUU Fishing akan dilihat sebagai “sikap anti-China” mengingat upaya pemerintahan Trump untuk melawan pengaruh Beijing di wilayah tersebut. Namun, ia menambahkan, Washington hanya menangani masalah nyata yang telah terjadi selama beberapa waktu.
“Ada banyak penekanan pada (bagaimana AS) akan (membantu) negara-negara kawasan untuk lebih memahami lingkungan maritim mereka,” kata peneliti yang berbasis di Kuala Lumpur itu kepada South China Morning Post.
Asyura memperkirakan bahwa komitmen ini akan terus berlanjut di bawah pemerintahan Biden yang baru, meskipun mungkin diperlukan “pendekatan yang lebih pragmatis” dengan membantu negara-negara Asia Tenggara dan Pasifik meningkatkan kemampuan mereka untuk memantau aktivitas kapal penangkap ikan asing daripada melalui penyebaran aset patroli.
“Jika ada lebih banyak bentrokan serupa dengan apa yang kita lihat di Kepulauan Natuna awal tahun ini, maka itu pasti akan membutuhkan lebih banyak (tindakan) dari pemerintah AS,” kata Asyura, merujuk pada bagian ZEE Indonesia di tepi Laut Cina Selatan. Indonesia dan Cina sempat bentrok karena kapal penangkap ikan dan penjaga pantai China memasuki daerah tersebut.
Kapal Cina bukan satu-satunya yang terlibat dalam kegiatan IUU Fishing. Kapal-kapal Vietnam juga telah ditangkap karena penangkapan ikan ilegal di perairan Thailand dan Indonesia. Tindakan itu didorong oleh persediaan yang menipis di dalam negeri dan kurangnya peraturan atau penegakan hukum setempat untuk menghentikan praktik tersebut, kata Dominic Thomson, wakil direktur dan manajer proyek Asia Tenggara di Environmental Justice Foundation.
Thomson mengatakan analisis awal menunjukkan setidaknya 59 kapal Vietnam dan 430 awak kapal ditangkap karena penangkapan ikan secara ilegal di perairan Thailand pada pertengahan September.
Riefqi Muna, peneliti urusan keamanan baru di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan kepada South China Morning Post, data dari 2014 hingga tahun lalu menunjukkan dari 488 kapal asing yang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia, 276 di antaranya adalah kapal milik Vietnam. Kapal-kapal itu kemudian ditenggelamkan oleh otoritas maritim Indonesia.
Dia mengatakan, ekonomi terbesar di Asia Tenggara menderita kerugian hingga 36,4 miliar DOLAR as sumber daya laut setiap tahun karena IUU Fishing, yang juga menguras stok ikan dan menghancurkan kehidupan dan lingkungan laut yang tak ternilai.
Asyura dari Forum Pasifik mengatakan, pendekatan penegakan hukum terbaik untuk IUU Fishing adalah dengan mengusir kapal keluar dari perairan teritorial ke perairan internasional alih-alih menahan nelayan, terutama di tengah kekhawatiran kasus ‘impor’ COVID-19 .
“Malaysia telah mengusir lebih banyak perahu daripada menahan mereka,” katanya. “Saya pikir itu karena iklim saat ini, karena pandemi, ada lebih banyak penegakan hukum secara umum di sekitar perbatasan ini.” [South China Morning Post]