Jaro Saidi, salah satu pemangku adat Baduy menyatakan bahwa pihaknya merasa resah karena pencemaran lingkungan di wilayah Baduy semakin mengkhawatirkan. Banyaknya pedagang yang masuk ke Baduy Dalam yang menjajakan makanan dan minuman berkemasan plastik telah menjadi persoalan baru.
LEBAK (BANTEN)—Masyarakat Adat Baduy menginginkan wilayahnya dicoret dari daftar destinasi wisata. Hal ini mereka sampaikan langsung kepada Presiden Joko Widodo melalui sebuah surat terbuka.
Mereka merasa terganggu dengan wisatawan yang semakin hari semakin bertambah jumlahnya. Sebagai ganti gelar “desa wisata” yang mereka sandang selama ini, mereka berharap wilayahnya ditetapkan sebagai cagar alam atau cagar budaya agar dapat lebih terjaga keaslian budaya serta kelestarian alamnya.
keputusan ini merupakan inisiatif dari Lembaga Adat Baduy yang disampaikan dalam pertemuan di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten pada Sabtu (4/7/2020). Pertemuan tersebut membahas surat terbuka yang akan disampaikan kepada presiden.
Salah satu Pemangku Adat Baduy, Jaro Saidi, menyatakan bahwa pihaknya merasa resah karena pencemaran lingkungan di wilayah Baduy semakin mengkhawatirkan. Banyaknya pedagang yang masuk ke Baduy Dalam yang menjajakan makanan dan minuman berkemasan plastik telah menjadi persoalan baru.
“Ini terjadi karena terlalu banyaknya wisatawan yang datang, ditambah banyak dari mereka yang tidak mengindahkan dan menjaga kelestarian alam, sehingga banyak tatanan dan tuntunan adat yang mulai terkikis dan tergerus oleh persinggungan tersebut,” kata Jaro Saidi, dikutip dari Detikcom.
Agar aspirasi dan surat tersebut sampai kepada para pemangku kebijakan, Lembaga Adat Baduy memberi mandat pada tim ‘orang luar’ yang dipercaya untuk mengemban tugas ‘diplomasi’ ini. Tim tersebut terdiri dari Heru Nugroho, Hendri Nurcahyo, Anton Nugroho, dan Fajar Yugaswara.
Jaro Alim, yang menjabat Jaro Tangtu Cikeusik, menyampaikan mandat ini secara lisan kepada mereka pada suatu pertemuan yang dihadiri oleh Puun Cikeusik, yang merupakan pimpinan tertinggi kampung tersebut, serta Jaro Saidi.
Selanjutnya, mewakili Masyarakat Adat Baduy, beberapa Pemangku Adat memberikan mandat secara administratif kepada tim yang diketuai Heru Nugroho tersebut.
Heru menyatakan sangat antusias dan siap menjadi narahubung aspirasi Masyarakat Adat Baduy kepada presiden.
“Karena kedekatan saya kepada masyarakat Baduy yang sudah terjalin sekian lama, mungkin saya diberi kepercayaan oleh mereka (Pemangku Adat Baduy) untuk bisa menyampaikan aspirasinya kepada Bapak Presiden melalui surat terbuka ini,” ungkap Heru.
Ia menjelaskan bahwa pada pertemuan Sabtu kemarin (4/7/2020) agendanya adalah penandatanganan surat terbuka oleh timnya dan pembubuhan cap jempol oleh beberapa Pemangku Adat, di antaranya Jaro Dangka (Jaro Aja), Jaro Madali (Pusat Jaro Tujuh), dan Jaro Saidi (Tanggungan Jaro Dua Belas).
Selain ditujukan kepada presiden, surat terbuka tersebut juga akan dikirim ke Kementerian terkait serta pihak pemerintah Provinsi Banten.
Urang Kanékés, Gambaran Masyarakat Sunda Masa Lampau
Masyarakat Baduy lebih suka menyebut diri mereka urang Kanénés. Menurut beberapa pendapat, istilah Baduy diberikan peneliti Belanda pada masa kolonial kepada mereka.
Dengan populasi 27 ribu jiwa, masyarakat yang diyakini sebagian orang merupakan gambaran masyarakat Sunda zaman dulu ini tinggal di tanah ulayat seluas sekitar 5.100 hektar yang tebagi menjadi beberapa kampung. Mereka membagi masyarakatnya menjadi Baduy Dalam, Baduy Luar serta Baduy Dangka.
Wilayah Baduy Dalam dan Baduy Luar berada dalam kawasan tanah ulayat di Desa Kanenes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Banten. Sementara Baduy Dangka berada diluar Kanekes dan berfungsi sebagai semacam “buffer zone” atas pengaruh dari luar.
Baduy Dangka telah sepenuhnya hidup dengan cara moderen. Mereka tidak terikat dengan hukum-hukum adat Baduy. Jika berwisata ke Baduy, orang-orang Baduy Dangka adalah yang paling pertama menyapa wisatawan.
Sementara Baduy Luar telah sangat terbuka pada wisatawan. Meski masih terikat denga hukum adat, namun mereka telah banyak bersinggungan dengan kehidupan moderen dalam batas tertentu. Warga Baduy Luar dibolehkan menaiki serta memiliki kendaraan dan menggunakan alas kaki.
Baduy Dalam yang terdiri dari tiga kampung, yakni Cibeo, Cikeusik, dan Cikertawana, merupakan masyarakat yang secara ketat menjalankan adat urang Kanékés. Modernitas, dalam bentuk apa pun, sebisa mungkin tidak boleh masuk.
Wisatawan hanya diperbolehkan masuk ke Cibeo saja, itu pun dengan banyak larangan seperti dilarang memotret dan menggunakan barang elektronik. [ ]