Site icon Jernih.co

Budayawan: Masyarakat Harusnya Bangun Aliansi Anti Narasi Radikal dan Anarkisme

Selama ini yang menjadi penyebab suburnya narasi radikal dan tindakan anarkis, dikarenakan kelompok radikal sudah menguasai ruang media.

SEMARANG – Demonstrasi seharusnya menjadi media penyampai aspirasi. Karena itu, harus memperhitungkan subtansi tujuan dan efektifitas cara mencapai tujuan, sehingga tidak dimanfaatkan kelompok tertentu dengan narasi meradikalisasi menuju anarki. Sebab kelompok radikal selalu menyenangi konflik.

Budayawan Indonesia, Ngatawi Al Zastrouw, mengatakan masyarakat sebaiknya membangun aliansi anti narasi radikal dan anti tindakan anarkisme. Disamping memperkuat diri dengan cara menggali, mengeksplorasi suatu nilai-nilai yang sudah ditanamkan para leluhur bangsa dahulu.

“Hal ini pada dasarnya watak dari konstruksi budaya tradisi nusantara itu adalah tradisi integratif dan harmoni. Hal inilah yang membuat kita bisa bertahan sampai sekarang ini,” ujarnya di Semarang, Sabtu (17/10/2020).

Agar masyarakat dapat membuat counter narasi terhadap narasi radikalisme dan intoleransi, maka harus memperkuat khazanah dan contoh-contohnya, baik perspektif hidup dalam tradisi, maupun sistem nilai yang berkembang di masyarakat.

Ia menilai, selama ini yang menjadi penyebab suburnya narasi radikal dan tindakan anarkis, dikarenakan kelompok radikal sudah menguasai ruang media.

“Ruang media tidak ada yang bisa mengontrol, sehingga mereka sangat produktif memproduksi narasi radikal. Akhirnya seolah-olah menjadi subur. Karena hampir setiap hari mengisi ruang itu,”kata dia.

Selain itu, masyarakat juga harus bisa mengontrol secara bijak agar tidak mudah dimanfaatkan kelompok tersebut. Karena sejatinya, masyarakat memiliki mekanisme pertahanan diri untuk menolak hal-hal seperti itu.

Ia mencontohkan di Wonosobo. Dimana Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak dapat masuk, sebab banyak tokoh-tokoh mengeksplorasi dan mengaktualisasikan secara tepat. Sehingga kaum radikal disana tidak bisa masuk dan langsung ditolak dengan sendirinya.

“Misalnya HTI disana tidak bisa masuk, organisasi yang radikal lainnya pun juga tidak bisa berdiri disana (Wonosobo),” katanya.

Oleh karena itu, perlu ada peningkatan awareness (kesadaran) dan kepedulian, bahwa masalah bisa jadi ancaman. Selain itu, meminta pemerintah ikut berperan melakukan aksi membangun narasi anti radikal kepada masyarakat.

Dimana ada dua gerakan agar pemerintah bisa ikut berperan. Pertama, strategi above the line, yang mana berupa kebijakan-kebijakan dan produk-produk hukum yang bisa mendorong terhadap tumbuhnya program tersebut.

“Termasuk membangun narasi-narasi wacana-wacana di tingkat elit, misalnya daerah-daerah sampai ke tingkat RT itu bisa membuat kebijakan yang bisa melokalisir, mendeteksi terhadap gerakan ini. Ini yang above the line,” ujarnya

Kedua, strategi below the L
Line, yaitu stategi pada level apapun untuk menata hati. Dimana pemerintah bisa mendorong bekerja sama dengan tokoh masyarakat, adat, dan agama untuk sesering mungkin melakukan silaturahmi, dialog, dan atau pendamping dengan masyarakat.

“Pemerintah berkolaborasi secara sinergis dengan tokoh-tokoh penting di masyarakat untuk melakukan anjangsana, silaturahmi, dialog. Itu level below the line,” ujar dia. [Fan]

Exit mobile version