“……..sejak Taliban mengharuskan perempuan mengenakan chadari (burqa – red), wanita lenyap dari jalan-jalan, dan ruang publik tanpa perempuan.”
JERNIH — Kalimat di atas adalah salah satu paragraf dalam surat elektronik yang ditulis Lena (bukan nama sebenarnya), seorang wanita Afghanistan yang tinggal di Kabul.
Surat itu lebih dari cukup untuk menggambaran bagaimana suasana kota-kota di Afghanistan sepekan setelah Taliban mengeluarkan kebijakan pengenaan burqa, busana penutup tubuh dan seluruh wajah, kepada setiap wanita.
Pemerintah Taliban mengeluarkan kebijakan itu 7 Mei. Tiga hari kemudian sejumlah wanita menggelar aksi protes anti-burqa. Namun, protes tak berlanjut sampai hari-hari berikut.
Perempuan Afghansitan di Herat, Mazar-e-Sharif, dan Kabul, seolah tak punya pilihan selain mematuhi peraturan Taliban. Wanita yang harus keluar rumah untuk urusan tertentu, harus mengenakan chadari, atau cadar, warna biru atau menghadapi masalah dengan Taliban.
Pemimpin Taliban Hibabullah Akhundzada pada 6 Mei mengatakan wanita yang mengenakan pakaian tak bermoral akan dihukum. Jika wanita telah berumah tangga, suami wanita itu akan dipanggil dan ditahan selama tiga hari. Jika bekerja di sektor publik, akan dipecat.
Chadari warna biru bukan sesuatu yang baru. Saat kali pertama berkuasa, Taliban mengharuskan wanita mengenakan pakaian ini antara 1996-2001.
Setelah AS dan NATO datang dan pemerintah Taliban jatuh, wanita Afghanistan bebas berbusana. Burqa hanya dikenakan wanita di pedesan. Di kota-kota, wanita Afghanistan mengenakan hijab, atau mantel penutup seluruh tubuh dan kerudung.
“Beberapa hari lalu sejumlah remaja makan es krim di taman. Mereka harus membuka chadari saat, dan anggota Taliban datang dan meminta mereka menutup wajah. Awalnya, remaja itu mengabaikan, tapi akhirnya setuju,” tulis Lena.