Crispy

Buya Syafii: Saat Ini Tak Bijak Bicara Pemakzulan Presiden

JAKARTA-Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif yang biasa dipanggil Buya Syafii, mengkritik webminar diskusi soal pemakzulan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang digelar oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama).

Buya menilai tidak bijak pada sekelompok orang yang menyebut pemakzulan presiden dikaitkan dengan kebebasan berpendapat dan konstitusi.

“Amatlah tidak bijak jika ada sekelompok orang berbicara tentang pemakzulan presiden yang dikaitkan dengan kebebasan berpendapat dan prinsip konstitusionalitas.” kata Buya Syafii dalam keterangannya, Selasa (2/6/2020).

Keterangan tersebut dibagikan oleh mantan Direktur Maarif Institute, Fajar Riza Ulhaq kepada wartawan. “Itu adalah keterangan dari Buya Syafii. Beliau mempersilakan untuk dikutip,” kata Fajar.

“Dalam situasi sangat berat yang sedang dipikul oleh bangsa dan negara Indonesia, kita semua perlu bahu membahu untuk mencari jalan keluar dan menenangkan publik sambil memberi masukan kepada pemerintah agar bekerja lebih kompak dan sinergis,” kata Buya Syafii dalam keterangannya.

Buya Syafii bahkan mengkhawatirkan hal tersebut menambah beban masyarakat, hingga menimbulkan gesekan dan polarisasi.

“Kita khawatir cara-cara semacam ini akan menambah beban rakyat yang sedang menderita dan bisa juga menimbulkan gesekan dan polarisasi dalam masyarakat,”.

Menurut Buya Syafii, saat ini merupakan situasi yang memerlukan sikap semua pihak untuk bahu membahu mencari jalan keluar bagi bangsa dan negara Indonesia dan menenangkan publik.

Sebelumnya, dalam Webminar tersebut, Din Syamsuddin menyebut ada tiga syarat yang dapat menjadi alasan melakukan pemakzulkan kepala negara. Tiga syarat ini merujuk pada pendapat pemikir politik Islam, Al Mawardi.

Syarat pertama, tidak adanya keadilan. Pemimpin bisa dimakzulkan bila tidak bisa berlaku adil, misalnya hanya menciptakan satu kelompok lebih kaya.

Syarat kedua, kata Din, ketika pemimpin tidak memiliki ilmu pengetahuan yang cukup. Pemimpin tersebut juga tidak memberi ruang bagi dunia akademik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Syarat berikutnya, ketika pemimpin kehilangan kewibawaan dan kemampuan memimpin, terutama dalam masa kritis. Terlebih, jika dalam situasi kritis, pemimpin mudah didikte atau ditekan orang di sekelilingnya atau pihak luar.

“Seorang pemimpin itu akan dilihat saat situasi kritis, bisakah dia memimpin? Maka oleh para ulama mengatakan bisa dimakzulkan jika seorang pemimpin tertekan oleh kekuatan-kekuatan lain, terdikte kekuatan-kekuatan lain, terdikte oleh orang baik warga atau orang terdekatnya untuk bisa menjalankan kepemimpinannya,”.

Ketua PP Muhammadiyah, Abbas Anwar dalam unggahannya di laman resmi Muhammadiyah menyatakan keberatan nama Muhammadiyah digunakan dalam diskusi dengan tema ‘Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19’ itu.

“Saya tidak keberatan kalau ada orang atau para pihak bicara dan diskusi tentang menyoal kebebasan berpendapat dan konstitusionalitas pemakzulan presiden di era pandemi COVID-19 apalagi di negeri ini kebebasan berbicara dijamin dan dilindungi oleh UU. Tetapi untuk topik yang seperti ini jangan membawa-bawa nama Muhammadiyah,” kata Abbas.

Dalam unggahan itu, Muhammadiyah meminta kepada semua pihak tidak mencatut nama organisasinya saat menggelar diskusi yang berkaitan dengan politik.

(tvl)

Back to top button