Ibarat lagu Hamdan ATT,”Termiskin di Dunia”, Timor Leste menempati peringkat ke-152 dari 162 di dunia dalam kesejahteraan.
JERNIH–Timor Leste, negara seumur jagung yang sekian lama mendapatkan sokongan dana Indonesia yang mendudukinya, kini disebut-sebut tengah mengalami persoalan keuangan hebat. Anjloknya industri minyak dan pengeluaran pemerintah yang berlebihan membuat negara baru itu berada di ambang kebangkrutan.
Dua dekade lebih pasca-merdeka dari Indonesia, Timor Leste masih terseok-seok memperbaiki ekonominya. Laiknya lagu dangdut Hamdan ATT, “Termiskin di Dunia”, dari 162 negara di dunia, Timor Leste menempati peringkat ke-152 negara termiskin. Hal inilah yang melahirkan kekhawatiran soal ancaman kebangkrutan Timor Leste.
Potensi bangkrut ini juga sudah diprediksi oleh laporan yang ditulis Rnz.co.nz pada 2015. Negara yang sebelumnya dikenal sebagai Timor Timur dan merdeka dengan upaya Australia dan Selandia Baru itu memang terbilang lama terkungkung dalam kolonialisme Portugis. Kala itu, dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, lima nyawa Selandia Baru melayang, belum termasuk kerugian ratusan juta dolar AS. Ekonomi Timor pun otomatis morat-marit.
Sekali lagi, Timor Leste tidak pernah memiliki ekonomi serta sejumlah uang tunai yang layak. Di samping kopi yang ditanam di perbukitan, satu-satunya sumber pendapatan sebenarnya berasal dari dua ladang minyak lepas pantai, Bayu-Undung dan Kitan. Dua itulah perusahaan minyak yang sehari-hari melakukan pengeboran di ladang-ladang di kawasannya. Sebagai imbalan mengeruk minyak, keduanya harus membayar sebagian besar royalti mereka kepada Pemerintah Timor Leste dan uang itu masuk ke dana minyak khusus.
Masalahnya, menurut dokumen dari Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru, dana ini sangat berbahaya. Pasalnya, ladang minyak semakin menipis dan harga minyak yang rendah mengurangi tingkat pembayaran royalti oleh perusahaan energi. Hal berikutnya yang lebih mengkhawatirkan, pemerintah Timor Leste tampaknya membelanjakan lebih banyak yang ketimbang pemasukan dari dana tersebut.
“Lebih dari 75 persen sumber daya di ladang Bayu-Undung dan Kitan telah habis,” kata dokumen kementerian itu.
“Sejak 2012 (pendapatan minyak dan gas) mengalami penurunan. Pada 2014, pendapatan minyak dan gas memberikan pendapatan 40 persen lebih rendah kepada pemerintah Timor Leste dibandingkan pada 2013. Lantas, pada 2014, dana minyak bumi menyumbang 93 persen dari total pendapatan negara.
Pemerintah setempat memang telah menghabiskan dua kali pendapatan sebenarnya dari dana tersebut setiap tahun sejak 2008. Karena hal inilah, Timor Leste panen kritik. Misalnya dari LSM Timor Leste La’o Hamutuk yang menyebut, total cadangan minyak dan gas hanya cukup untuk mendukung setengah dari tingkat belanja negara saat ini.
“Ini bisa mengosongkan Dana Perminyakan pada awal 2022,”ujar La’o Hamutuk, dikutip sumber yang sama.
Dua belas-tiga belas (untuk menggantikan 11-12 yang terlalu lazim), Duta Besar Timor Leste untuk Selandia Baru Cristiano da Costa setuju ini adalah masalah serius. Terlepas dari masalah tersebut, anggaran negara saat ini hanya memiliki pemotongan belanja kecil sebesar 1,5 persen.
“Ini adalah situasi yang sangat menantang.Ini harus mendorong elit penguasa Timor untuk mulai berpikir tentang bagaimana mengelola situasi ini dengan sangat cepat, karena ini tidak berkelanjutan. Kita perlu mempercepat reformasi ekonomi dan mulai mendiversifikasi ekonomi kita. Kita harus melakukannya sekarang, jika tidak kita mungkin akan kehabisan uang dalam lima hingga 10 tahun dari sekarang.”
Masalahnya tak sesederhana itu. Faktor yang memperumitnya adalah ladang minyak ketiga, Greater Sunrise, yang dapat memberikan sedikit bantuan kepada Timor Leste. Namun tampaknya, angan-angan itu harus kandas, karena Timor Leste dibayangi sengketa komersial dan yurisdiksi dengan Australia. [worldtodaynews/rnz.co/matamatapolitik]