oleh IRZI Risfandi
Disclaimer:
Catatan pertunjukan ini bukanlah laporan dokumenter yang kronologis atau resmi. Ia ditulis dengan pendekatan non-linear, seperti serpihan memori yang melompat-lompat sesuai apa yang paling membekas bagi penulis. Maka jangan harap menemukan urutan acara yang rapi, daftar lengkap penampil, atau detail teknis sebagaimana dalam notulen resmi. Apa yang hadir di sini adalah versi subjektif—lebih mendekati perasaan penonton yang larut di ruangan itu ketimbang catatan jurnalis yang kaku. Jika ada detail yang terlewat atau tidak urut, itu bukan karena tidak penting, melainkan karena catatan ini lebih ingin menangkap atmosfer, resonansi batin, dan impresi pribadi atas momen-momen yang terasa paling hidup.
***
Saya tiba di Tebet Eco Park menjelang pukul tiga sore, agak terburu-buru karena dalam undangan tertulis acara dimulai tepat jam 15.30 WIB. Jalan menuju taman itu sudah seperti panggung tersendiri: ada penjual cilok di pintu masuk, ada rombongan keluarga selfie di bawah pohon, ada pula bapak-bapak yang entah kenapa memilih tidur di bangku taman dengan posisi yang hanya bisa dipahami oleh orang-orang yang hatinya damai. Begitu sampai ke area acara, mata saya langsung disambut spanduk besar bertuliskan “Sore Berhadiah!!!” dengan tanda seru berderet. Poster para penyair terpampang rapi, wajah-wajah mereka serius sekali, seakan sedang mencalonkan diri jadi wali kota puisi. Saya berdiri sejenak, membayangkan kalau semua nama itu dipanggil sekaligus, mungkin panggung akan roboh sebelum acara dimulai.
Sambutan pembuka diberikan oleh sang Ketua TISI (Taman Inspirasi Sastra Indonesia) selaku penyelenggara, Octavianus Masheka. Rambut gondrongnya bergoyang tertiup angin, suaranya menggema seakan keluar dari megafon masa lalu. Kalau ia berdiri di depan kamera hitam putih tahun 1945, saya yakin orang akan percaya ia bagian dari proklamasi asli. Tebet Eco Park sore itu berubah menjadi aula terbuka penuh semangat. Angin membawa suara puisi bercampur tawa anak-anak kecil yang berlari, dan sesekali suara klakson motor di luar taman ikut masuk, seolah Jakarta pun ingin nimbrung. Dari awal, sudah jelas acara ini bukan sekadar seremoni, melainkan pesta kata-kata yang lahir di ruang publik kota.
Acara itu dibuka dengan kejutan yang segera mengisi Tebet Eco Park dengan gelombang hangat: Ale dan Ami, duo dalam grup musik-puisi Tersajakkanlah, naik ke panggung dengan cara yang tidak setengah-setengah. Mereka membawakan dua lagu yang nyaris seperti dua kutub berbeda—satu lembut, mengalir seperti air di tepi sore, sementara yang lain keras, berlapis ritme seperti derap kaki yang tak sabar ingin masuk ke medan. Dari dua warna itu, audiens sudah tahu bahwa sore ini tidak akan pernah lurus atau tenang-tenang saja. Musik dan puisi akan saling mengisi, saling menggoda, saling menantang.
Setelah itu, panggung diambil alih oleh para penyair. Jose Rizal Manua, dengan gaya teatrikal khasnya, membuka dunia puisi seperti seseorang yang menarik tirai panggung teater yang berat—dan tiba-tiba kita semua terperangkap dalam cahaya dramatis. Ia tidak sendiri; kali ini ia berduet dengan seorang deklamator tamu, seorang ibu guru yang suaranya tegas namun penuh kasih, menghadirkan keseimbangan yang sulit dipelajari dari sekolah mana pun. Kemudian muncul Exan Zen, dan seketika ruangan seakan bergeser menjadi altar lewat puisi “Nyanyian Suto untuk Fatima” dari W. S Rendra . Aura mistiknya begitu pekat, setiap gerakan tangan seperti mantra. Kita hampir percaya, kalau saja awan di luar tak sedang cerah, hujan akan turun memenuhi janji sunyi itu.
Lalu giliran Boyke Sulaiman dari Depok. Kehadirannya mengubah atmosfer: suaranya penuh wibawa, wajahnya tegak dan mantap, sehingga membaca puisi bersamanya serasa sedang ikut apel pagi—tapi kali ini, daftar hadir diganti dengan baris-baris magis. Ada disiplin, ada energi, ada kejujuran lewat puisi “Catatan tahun 1946” milik Chairil Anwar yang beliau bawakan . Lalu, Imam Ma’arif naik dengan rambut panjang yang melambai, memantulkan lampu panggung. Ia membawa semangat rock and roll, tubuhnya bergerak bebas, suaranya tajam. Di satu titik, saya menunggu apakah ia akan menutup penampilan dengan solo gitar imajiner—karena memang begitulah puisinya yang berjudul “Badut”—seperti listrik yang mengalir tanpa henti.
Lalu datang Edo Sugiyanto, suaranya dalam, membacakan bait-bait dari puisi Sutardji C.B “Tanah Air Mata” dengan keteguhan seperti orang yang sudah lama bersahabat dengan kata-kata. Topinya membuatnya terlihat seperti penyanyi folk yang tersesat ke arena lomba puisi. Silvy dari Jambi tampil lembut, suara dan wajahnya membawa nuansa teduh, seperti doa sore yang dibisikkan dengan tulus. Nuyang Jaimee tampil elegan, dengan gaya yang membuat puisi terdengar seperti catwalk kata-kata. Suasana makin cair saat Dyah Kencono Puspito Dewi muncul; namanya sendiri sudah puisi, panjang, rumit, dan indah. Lalu Shantined dari Depok membawa nuansa akrab, seperti ngobrol hangat di teras rumah, dan Nunung Noor El Niel dari Bali hadir dengan pesona eksotis, membuat saya terbayang aroma laut yang ikut terbawa di udara Tebet. Rissa Churia dari Bekasi penuh energi, hampir seperti diva dangdut yang sedang membaca Chairil Anwar, dan Nurhayati dari Bekasi tampil khidmat, seolah sedang mengajarkan makna merdeka kepada pohon-pohon di sekeliling taman lewat beberapa nukilan lagu “Indonesia Tanah Air Beta”.
Panggung semakin penuh warna lewat pembacaan dari Emi Suy dengan topi lebarnya membuat saya yakin ia sedang menyelidiki kasus hilangnya bait puisi di angkasa. Mita Katoyo sederhana tapi hangat, menyajikan kata-kata dengan ketulusan yang tidak bisa dibuat-buat. Rinidiyanti Ayahbi membawa gitar, menambahkan musik pada sore itu; sejenak suasana terasa seperti festival kecil di bawah langit Jakarta. Swary Utami Dewi, yang sekaligus menjadi MC, dengan sabar mengatur ritme acara, memastikan semua berjalan lancar meski sesekali wajahnya tampak seperti ingin bercanda, “ayo cepat, masih banyak yang antre.” Lalu duo Muspus Tersajakkanlah dengan nama yang terdengar seperti mantra kuno, menutup dengan kekuatan magis—seakan memberi segel terakhir pada pesta kata yang telah berlangsung.
Bagian yang paling ditunggu tentu “sore berhadiah.” Panitia melontarkan dua pertanyaan yang cukup bikin kening berkerut ringan. Pertama: “Apa nama jalan tempat proklamasi kemerdekaan dibacakan?” Beberapa penonton sempat bisik-bisik, ada yang hampir salah menyebut Jalan Merdeka, tapi akhirnya ada yang benar menjawab: Jalan Pegangsaan Timur 56. Pertanyaan kedua: “Apa tema peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia tahun ini?” Kali ini lebih banyak yang berani angkat tangan, dan seorang peserta menjawab tepat: “Bersatu Berdaulat Rakyat Sejahtera Indonesia Maju.” Hadiah yang diberikan tidak main-main: dua buku antologi puisi TISI dan uang jajan yang cukup untuk membeli dua porsi bakso granat. Saya tersenyum membayangkan, seandainya Chairil Anwar hidup hari ini, mungkin ia akan menulis puisi khusus tentang bakso granat.
Hal-hal kecil di sekitar acara justru menambah warna tersendiri. Kursi plastik yang keras membuat orang sering bergeser-geser, anak-anak kecil berlarian sambil sesekali menabrak kaki penonton, dan mikrofon yang beberapa kali berdengung seperti lebah yang ikut protes karena tidak diundang. Di sisi lain, cahaya sore yang jatuh di atas panggung memberi suasana hangat, seolah matahari juga ingin jadi bagian dari audiens. Semua ketidaksempurnaan teknis itu justru membuat acara terasa lebih hidup, lebih manusiawi, lebih dekat dengan keseharian kita. Bukankah kemerdekaan pada dasarnya bukan tentang kemegahan, melainkan tentang keberanian berdiri di ruang terbuka dan menyuarakan sesuatu?
Seiring waktu, langit berubah warna, dari biru ke jingga, lalu perlahan menjadi gelap. Lampu-lampu taman menyala, memberi cahaya lembut pada wajah-wajah penyair yang masih sempat berbincang usai tampil. Beberapa orang sibuk berfoto di depan spanduk acara, yang lain mengantri membeli minuman di gerai kecil pinggir taman. Saya duduk sebentar, meresapi suasana yang entah kenapa terasa hangat: bukan hanya karena kata-kata yang dibacakan, tetapi juga karena rasa kebersamaan yang tumbuh di antara penonton yang mungkin awalnya hanya lewat, lalu memutuskan ikut duduk mendengar.
Ketika akhirnya saya melangkah keluar dari Tebet Eco Park, ada rasa puas yang aneh tapi menyenangkan. Saya datang dengan ekspektasi sederhana—sekadar menonton pembacaan puisi di sore hari—tapi pulang dengan perasaan seolah baru ikut pesta ulang tahun bangsa. Ada hadiah, ada tawa, ada musik, ada kata-kata, ada orang-orang yang percaya bahwa sastra masih bisa hidup di ruang kota yang bising. Dan saya bertanya pada diri sendiri sambil tersenyum: kelak, ketika Indonesia merayakan seratus tahun kemerdekaan, apakah kita masih akan duduk di kursi plastik di taman kota, mendengar puisi sambil menunggu apakah ada hadiah bakso granat lagi?
08 2025
