Site icon Jernih.co

Menelanjangi Campur Tangan Cina dalam Politik Myanmar

JERNIH — Senin lalu, Cina — menghadapi protes terus-menerus di depan Kedutaan Besar (Kedubes)-nya — bertindak defensif. Chen Hai, dubes Cina, mengatakan situasi di Myanmar saat ini sama sekali tak diinginkan Beijing.

“Liga Nasional untuk Demokrasi (LND) dan Tatmadaw, sebutan untuk militer Myanmar, menjaga hubungan persahabatan dengan Tiongkok,” kata Chen Hai.

Aung Zaw, dalam tulisannya di Irrawaddy.com, mengatakan sejak kudeta militer 1 Februari 2021 Beijing memantau dengan cermat situasi di Myanmar. Beijing terus menghubungi diplomat Cina di Yangon dan pejabat militer di Naypyitaw.

Protes di depan Kedubes Cina di Yangon dipicu tindakan Beijing dan Moskwa memblokir resolusi DK PBB mengutuk kudeta. Rusia dan Cina adalah anggota tetap DK PBB dan punya hak veto.

Global Times menyebut kudeta Myanmar sebagai penyesuaian struktur kekuasaan dan perombakan kabinet besar-besaran.

Tulisan surat kabar corong Partai Komunis Cina (PKC) itu seperti menggarami luka. Pers Myanmar, yang notabene pendukung Aung San Suu Kyi, menuduh Beijing merestui kudeta untuk mengatasi keluhan para penderal yang disampaikan ke Menlu Cina Wang Yi, beberapa pekan sebelum kudeta.

Saat itu para jenderal mengatakan kepada Menlu Wang Yi bahwa pemilu 8 November 2020 dinodai penipuan data pemilih.

Cina menudukung pernyataan DK PBB yang diperhalus, dengan mengungkapkan keprihatinan mendalam atas kudeta dan menyuarakan dukungan atas transisi demokrasi.

Namun Beijing dan Moskwa mempertahankan rejim militer Myanmar di sesi khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB, bahwa perebutan kekuasaan dari pemerintah terpilih secara demokratis adalah urusan internal.

Setelah itu, publik Myanmar menuduh Beijing mengirim pakar teknologi informasi untuk membantu rejim firewall internet. Tuduhan yang dipicu kedatangan penerbangan Cina ke Yangon yang mencurigakan.

Chen Hai menolak tuduhan itu, dengan mengatakan; “Ini benar-benar tidak masuk akal dan konyol.” Namun, pengunjuk rasa tahu tanpa bantuan Cina dan Rusia, militer Myanmar tidak punya kemampuan mengganggu koneksi Internet, membangun firewall, dan pengawasan digital.

Kenangan Lama, Manuver Xi Jinping

Generasi tua Myanmar, terutama yang terlibat dalam Revolusi Saffron 1988, tidak akan melupakan peristiwa ini.

Tahun 1989, setelah Tiongkok menindak keras demonstrasi mahasiswa di Tiananmen, Brigadir Jenderal Khin Nyunt — kepala intelejen dan Sekretaris I Dewan Pemulihan Hukum dan Keterbiban Negara — mengatakan; “Kami bersimpati kepada Republik Rakyat Tiongkok karena mengalami gangguan yang mirip dengan di Myanmar tahun lalu.”

Myanmar dan Cina menjadi negara yang saling membenarkan tindakan keras terhadap rakyatnya, tanpa mempertimbangkan korban jiwa.

Dua tahun kemudian, Cina menjadi negara pertama yang menjual senjata; jet tempur, fregat, dan pereangkat keras militer utama lainnya, ke Myanmar. Kedua negara memperkuat hubungan yang nyaman dan menguntungkan.

Hubungan itu berjalan normal bertahun-tahun, sampai terjadi perubahan sikap di kalangan petinggi politik Beijing. Tahun 2015, beberapa bulan sebelum Myanmar menggelar pemilihan umun, Presiden Xi Jinping mengundang Daw Aung San Suu Kyi ke Beijing.

Suu Kyi diterima di Aula Besar Rakyat. Saat yang sama, AS dan negara-negara Barat juga menggandeng Suu Kyi.

Tahun 2020, Presiden Xi mengunjungi Myanmar untuk perayaan 70 tahun hudungan diplomatik Cina-Myanmar. Ia menjadikan Myanmar sebagai penghentikan pertama tur ke diplomatik ke sejumlah negara.

Pejabat Tiongkok yang mengikuti kunjungan Presiden Xi mengatakan betapa mereka menghormati Suu Kyi dan sikap politiknya. Dibanding jenderal korup rejim junta militer sebelumnya, Suu Kyi pragmatis dan dipercaya menepati janji.

Suu Kyi diyakini akan memulai proyek-proyek yang didanai Cina. Namun, Beijing kecewa ketiak Suu Kyi tidak jua memulai proyek-proyek itu. Muncul kekhawatiran pengaruh Barat mulai dominan di pemerintahan Myanmar.

Tidak mengherankan jika muncul perdebatan soal kepentingan geopolitik, ekonomi, dan strategi Cina, di balik kudeta militer. Myanmar, menurut si empunya pendapat, sedang kembali ke orbit Cina.

Pendapat lain mengatakan Myanmar sedang berjuang mempertahankan netralitas dan kemerdekaannya.

Takut Cina

Banyak warga Myanmar, terutama para jenderal, terlanjur takut kepada Cina. Manuver Presiden Xi merangkul Suu Kyi tidak menyenangkan para jenderal kendati Beijing melakukan yang terbaik dengan menjaga hubungan stabil dengan militer.

Militer curiga Daw Khin Kyi Foundation, organisasi amal yang didirikan Suuk Kyi dan diberi nama ibunya, mendapat kucuran dana dari organisasi Cina internasional yang berbasis di Barat dan Open Society Foundation — organisasi milik jutawan George Soros.

Kuat dugaan, organisasi-organisasi itu mendanai kampanye Liga Nasitonal untuk Demokrasi untuk Pemilu 2020.

Namun, kecurigaan itu harus dibuktikan. Militer kini sedang menyelidiki keuangan Daw Khin Kyi Foundation. Jika ditemukan bukti, militer akan mengajukan banyak dakwaan dan Suu Kyi bisa sekian lama mendekam dipenjara.

Cina punya banyak cara menakuti siapa pun yang berkuasa. Salah satunya, mempresenjatai pemberontak etnis. Jenderal Min Aung Hlaing, dalam wawancara dengan media Rusia tahun lalu, pernah menyinggung soal ini.

Menurutnya, perlu kerjasama internasional untuk memerangi terorisme dan pendukungnya. Siapa yang dimaksud teroris dan pendukungnya?

Banyak yang percaya pernyataan itu ditujukan ke Cina, yang menurut dugaan militer memberi senjata kepada pemberontak etnis di sepanjang perbatasan Tiongkok-Myanmar.

Beberapa hari sebelum kudeta, pejabat Cina mengadakan pertemuan dengan pemimpin beberapa kelompok pemberontak etnis di utara. Salah satu etnis yang memberontak adalah Tionghoa.

Setelah kudeta, tidak ada etnis pemberontak yang bersuara. Organisasi Kemerdekaan Kachin mengeluarkan pernyataan tidak jelas, berupa seruan harap tenang.

Tentang Proyek Cina

Aung Zaw menulis; “Kami tahu dari sejarah betapa Cina tidak bisa dipercaya. Tetapi rakyat Myanmar, termasuk kaum muda yang turun ke jalan dan menjadi bagian Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM), ingin Beijing memihak mereka.”

Rakyat Myanmar tahu militer dan NLD tidak berani menantang Cina, tapi CDM mampu menyingkap keserakahan, eksploitasi sumber daya, dan campur tangan politik Cina yang sedemikian lama di Myanmar.

CDM menempatkan Cina dalam sorotan, dengan maksud merusak citra Beijing di panggung lokal dan internasional. Tindakan yang sepenuhnya salah.

Namun, fakta paling menyedihkan bagi rakyat Myanmar adalah Cina tidak peduli siapa pun yang berkuasa di Myanmar karena yang penting bagi Beijing adalah proyek Belt and Road Initiative tidak mengalami kemunduran.

Exit mobile version