Washington telah mendapatkan kesepakatan transatlantik untuk membuat alternatif strategi sabuk dan jalan (OBOR) Cina dan meminta Cina untuk menghormati hak asasi manusia di Hong Kong dan Xinjiang. AS juga meminta Cina tidak terlalu petantang petenteng yang membikin berisik kawasan Laut Cina Selatan dan Timur.
JERNIH– Akademisi Universitas Tsinghua, Cina, Yan Xuetong, mengatakan tidak mungkin bagi Cina untuk kembali ke kebijakan luar negeri ‘rendah hati’ sebagaimana dilakukan negara Tirai Bamboo itu di era Deng Xiaoping. Pada sebuah seminar yang digelar Beijing.
Dalam kacamata Cina, pemerintahan AS di bawah Joe Biden lebih fokus pada persaingan ideologis dengan Cina daripada pendahulunya yang mesra dengan negara itu, Donald Trump. Tetapi Ya mengatakan, Beijing tidak berniat bersaing dengan Washington di bidang itu.
Yan Xuetong, dekan Institut Hubungan Internasional di Universitas Tsinghua, juga mengatakan “tidak mungkin” bagi Cina untuk kembali ke diktum kebijakan luar negeri mendiang pemimpin Deng Xiaoping pada 1990-an untuk tetap low profile, karena kemampuannya saat ini terus tumbuh. .
Ketika Cina dan AS semakin terkunci dalam persaingan sengit yang menyebar di berbagai bidang, beberapa pihak berpendapat bahwa konfrontasi mereka tidak hanya didorong oleh konflik perdagangan atau geopolitik, tetapi juga oleh ideologi, seperti halnya persaingan antara Amerika Serikat dan Uni Soviet selama Perang Dingin.
Yan mengatakan apakah persaingan seperti itu menyebabkan konfrontasi seperti perang dingin tergantung pada apakah AS dan Cina bermaksud memperluas persaingan mereka ke front ideologis.
“Di bawah pemerintahan Biden, pembentukan dunia bipolar telah dipercepat, seperti yang ditunjukkan dalam komunike bersama KTT G7 dan NATO baru-baru ini,” kata Yan pada sebuah seminar di Beijing, Jumat (25/6) lalu.
“Pemerintahan Biden telah menyoroti konfrontasi ideologis lebih dari Trump,” katanya, mengutip upaya Washington untuk menggalang “negara-negara yang berpikiran sama” untuk melawan Beijing dan “membentuk klub yang mengecualikan partisipasi Cina”.
Biden telah berusaha menggunakan KTT G7 dan NATO baru-baru ini untuk mendorong sekutu AS mengambil sikap lebih keras terhadap China.
Sementara negara-negara Eropa seperti Jerman tetap tidak nyaman dengan upaya besar-besaran untuk melawan Cina, Washington telah mendapatkan kesepakatan transatlantik untuk membuat alternatif strategi sabuk dan jalan Cina dan meminta Cina untuk menghormati hak asasi manusia di Hong Kong dan Xinjiang. AS juga meminta Cina tidak terlalu petantang petenteng yang membikin berisik kawasan Laut Cina Selatan dan Timur.
Tetapi Beijing dan Washington juga berusaha membuka saluran untuk kerja sama terbatas, terutama mengenai perubahan iklim. Yan mengatakan kedua kekuatan itu belum menyepakati sifat hubungan mereka – apakah mereka musuh atau teman.
“AS percaya inti dari hubungan Cina-AS adalah persaingan, tetapi juru bicara di kementerian luar negeri Cina berpikir, adalah kesalahan untuk mengkarakterisasinya seperti itu,” kata Yan, “Tanpa persepsi yang sama tentang bagaimana mendefinisikan hubungan, akan ada tidak ada dasar kerja sama.”
“Ke mana konflik Cina-AS akan mengarah tergantung pada niat kedua belah pihak di bidang ideologis. Jika kedua belah pihak ingin mengekspor ideologi mereka dan mencoba mengubah sistem politik pihak lain, kita akan berakhir dengan situasi yang mirip dengan Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet,” katanya.
“Cina telah dengan jelas menunjukkan bahwa mereka tidak berusaha untuk mengekspor ideologi dan nilai-nilainya. Yang diinginkannya hanyalah menegakkan sistem politiknya di tanahnya sendiri,” katanya, seraya menambahkan bahwa AS dapat mengekspor nilainya ke mana pun yang diinginkannya selama tidak mencapai Cina.
Kalangan konservatif dan garis keras di Cina yang didominasi kaum komunis, telah melihat konfliknya dengan Barat atas Hong Kong, Xinjiang dan Tibet sebagai plot Barat untuk mengacaukan Cina dan menahan ekonomi terbesar kedua di dunia itu. Sementara banyak orang di Barat melihat perilaku Cina yang semakin pongah di panggung internasional sebagai ancaman bagi tatanan liberal yang dipimpin AS.
Yan tidak membahas apakah Cina harus mengurangi diplomasi Wolf Warrior, tetapi mengatakan harus mengambil lebih banyak tanggung jawab di panggung dunia.
“Itu tidak mungkin, karena kekuatan material Cina menentukan status internasional dan tanggung jawab yang harus diambilnya,” katanya.
“Tetapi saya juga ingin memperjelas bahwa Cina bukanlah negara terkuat di dunia. Jadi tanggung jawab itu seharusnya lebih sedikit-– kurang dari AS– tetapi pada saat yang sama sesuai dengan kekuatan dan status Cina saat ini.” [South China Morning Post]