Site icon Jernih.co

City of London Copot Gelar Kehormatan Aung San Suu Kyi

London — City of London Corporation, Kamis 5 Februari 2020, mencopot gelar kehormatan yang diberikan kepada Aung San Suu Kyi — pemimpin Myanmar yang menolak perlakukan negaranya terhadap minoritas Muslim Rohingya.

“Belum pernah kami mengambil kaputusan ini, dan kali ini kami harus melakukannya,” ujar David Wootton, ketua komite yang menangani pemberian gelar kehormatan.

Menurut Wotton, keputusan ini mencermikan kecaman City of London Corporation atas pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan Myanmar.

Baca Juga:
— Kini, Dunia Menyebut Aung San Suu Kyi ‘Gonocide Denier’
— Myanmar Tolak Keputusan IJC untuk Hentikan Genosida Muslim Rohingya
— Aung San Suu Kyi Ingkari Pembantaian Rohingya

City of London Corporation adalah sebuah badan, dengan wakil-wakil terpilih di dalamnya, yang menjalankan pusat-pusat sejarah dan distrik keuangan di ibu kota Inggris.

Setiap tahun, wakil-wakil terpilih memberi gelar kehormatan kepada tokoh yang dianggap layak menerimanya. Aung San Suu Kyi memperoleh penghargaan itu tiga tahun lalu.

Sejak Pengadilan International (ICJ) di Den Haag, Desember 2019 lalu, City of London telah mempertimbangkan menarik gelar yang diberikan Aung Saan Suu Kyi. Saat itu, putri Jenderal Aung San — pahlawan kemerdekaan Myanmar — mati-matian membela negaranya dari tuduhan pembantaian Muslim Rohingya.

Wotton mengatakan pencabutan gelar diperkuat oleh asosiasi yang dekat dengan Suu Kyi dan pemerintah Myanmar. Serta, kurangnya tanggapan Suu Kyi terhadap surat-surat komite.

City of London memberikan penghargaan sejak 1237. Suu Kyi memperolehnya tahun 2017, sebagai pengakuan City of London atas perjuangan tanpa kekerasan selama bertahun-tahun untuk menegakan demokrasi.

Suu Kyi juga dianggap berdedikasi kuat untuk menciptakan masyarakat hidup dalam damai, aman, dan bebas.

Saat tur Eropa, Suu Kyi menerima penghargaan itu. Sekembalinya dari Eropa, Suu Kyi justru menghadapi protes dunia karena diam saat Muslim Rohingya dibantai negaranya.

Semula City of London menempatkan Suu Kyi sejajar dengan Nelson Mandela, Winston Churchil, dan fisikawan Stephen Hawking, serta orang-orang yang menerima pengharagaan. Kini, ia dianggap tak pantas berada di antara nama-nama besar dunia.

Menyangkal Genosida

Desember 2019, Suu Kyi mengatakan di depan ICJ bahwa tidak ada pembantaian. Yang ada, katanya, adalah operasi militer di negara bagian Rakhine, sebagai tanggapan atas dugaan sersangan Muslim Rohinghya terhadap puluhan kantor polisi.

Insiden itu terjadi sepanjang 2017. Padahal, pembantaian Muslim Rohingya di abad ke-21 terjadi sejak 2012. Saat itu banyak aktivis kemanusiaan mempertanyakan sikap diam Suu Kyi.

Banyak orang memahami mengapa Suu Kyi diam. Ia khawatir kehilangan pendukung jika memihak Muslim Rohingya.

Jelang pemilu, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) — partai bentukan Suu Kyi — mengambil tindakan tak terduga, yaitu mengeluarkan semua anggota yang beragama Islam.

Menariknya, NLD tetap kalah. Militer tetap berkuasa. Suu Kyi, suka atau tidak, harus bergandeng tangan dengan militer dan berbagi kekuasaan.

Kini, banyak orang berharap Komite Nobel di Stochkholm mencopot Nobel Perdamaian yang diberikan kepada Suu Kyi. Ia tak pantas lagi mendapat penghargaan itu, karena menyangkal pembantaian sistematis sekelompok etnis di depan matanya.

Exit mobile version