- Para kritikus berpendapat bahwa pengerahan pasukan ini tidak ada kaitannya dengan kejahatan, melainkan untuk mengkonsolidasikan kendali federal atas penegakan hukum lokal.
- Para pakar hukum juga khawatir bahwa langkah ini dapat melanggar Posse Comitatus, undang-undang abad ke-19 yang membatasi keterlibatan militer dalam urusan sipil.
JERNIH – Di tengah isu resesi ekonomi dan kebutuhan sosial yang mendesak, pemerintah AS di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump memilih untuk menggulirkan sebuah operasi militer di ibu kota negara. Analisis terbaru dari The Intercept mengungkapkan fakta mencengangkan, militarisasi Washington D.C. menelan biaya lebih dari $1 juta per hari, atau setara dengan sekitar Rp16 miliar sehari.
Operasi yang disebut-sebut sebagai “kampanye peningkatan kota” ini bukan hanya melibatkan patroli keamanan, tetapi juga mencakup tugas-tugas sipil seperti “pengendalian lalu lintas” dan bahkan “mempercantik area”. Para kritikus menilai inisiatif ini sebagai langkah lain dalam upaya Trump untuk memperluas kendali federal, yang mereka sebut sebagai dorongan menuju tata kelola otoriter. Di sisi lain, Trump membantah tuduhan itu dan menyebut penempatan pasukan ini sebagai operasi penegakan hukum sekaligus kampanye perbaikan kota.
Dalam beberapa hari terakhir, gubernur dari enam negara bagian—Virginia Barat, Carolina Selatan, Ohio, Mississippi, Louisiana, dan Tennessee—telah mengirimkan pasukan Garda Nasional untuk membantu pasukan federal di D.C. Mereka akan bergabung dengan hampir 900 anggota Garda Nasional D.C. yang sudah lebih dulu diaktifkan, sehingga total pasukan yang dikerahkan mencapai sekitar 2.100 personel.
Meskipun Pentagon menolak memberikan angka pasti, seorang pejabat pertahanan mengisyaratkan bahwa departemen itu sengaja merahasiakan proyeksi biaya untuk menghindari sorotan publik.
Hanna Homestead dari National Priorities Project memperkirakan biaya harian operasi ini lebih dari $1 juta. Ia mengecam keras kebijakan ini, menyebutnya sebagai “tindakan tidak masuk akal bahwa pemerintahan Trump memberikan cek kosong sebesar lebih dari satu juta dolar sehari untuk menduduki D.C., sementara pada saat yang sama mencabut akses layanan kesehatan dan bantuan makanan dari jutaan keluarga di seluruh negeri.”
Homestead juga menyoroti ironi biaya tersebut, lebih dari empat kali lipat biaya untuk menyediakan perumahan yang terjangkau bagi seluruh populasi tunawisma di D.C.
Ancaman Pelanggaran Hukum
Penempatan pasukan ini memicu perdebatan tajam. Meskipun data Departemen Kehakiman menunjukkan tingkat kejahatan dengan kekerasan di D.C. berada pada titik terendah dalam 30 tahun terakhir, Trump tetap menyatakan keadaan darurat kejahatan, menggambarkan kota itu sebagai sarang “geng-geng kejam” dan “karavan massa pemuda.”
Para kritikus berpendapat bahwa pengerahan pasukan ini tidak ada kaitannya dengan kejahatan, melainkan untuk mengkonsolidasikan kendali federal atas penegakan hukum lokal.
Hina Shamsi dari ACLU (Persatuan Kebebasan Sipil Amerika) memperingatkan bahwa melalui keadaan darurat buatannya, Presiden Trump terlibat dalam drama politik yang berbahaya untuk memperluas kekuasaannya dan menabur ketakutan di masyarakat. Ia menambahkan, pengiriman agen federal bersenjata lengkap dan pasukan Garda Nasional adalah “tindakan yang tidak perlu, provokatif, dan menempatkan hak-hak masyarakat pada risiko tinggi untuk dilanggar.”
Para pakar hukum juga khawatir bahwa langkah ini dapat melanggar Posse Comitatus, undang-undang abad ke-19 yang membatasi keterlibatan militer dalam urusan sipil.
Di tengah semua kritik, Trump tetap bersikeras bahwa operasi ini adalah sebuah kemenangan. Dalam sebuah unggahan di media sosial, ia berjanji untuk “membebaskan Kota ini, membersihkan kotoran, dan membuatnya aman, bersih, layak huni, dan indah sekali lagi!” Namun, di balik narasi kemenangan itu, beban finansial yang sangat besar dan kekhawatiran akan erosi kebebasan sipil terus membayangi.