Sejak Juli 2020, ketika yayasan dimulai, total 64.000 klaim telah dikumpulkan dari seluruh Eropa, hampir sepertiganya berasal dari Belanda. Orang tua membayar €17,50 (Rp 305 ribu) untuk mendaftarkan klaim mereka, guna memberikan SOMI kekuatan finansial untuk mendanai gugatan kasus ini.
JERNIH– Sekelompok orang tua di Belanda menggugat TikTok ke pengadilan, mengklaim platform media sosial Cina itu tidak melakukan upaya yang cukup untuk melindungi privasi dan keselamatan anak-anak mereka.
Yayasan Riset Informasi Pasar (SOMI), yang mewakili lebih dari 64.000 orang tua dari Belanda dan seluruh Uni Eropa, menggugat ke pengadilan Amsterdam pada Selasa (2/6) lalu. Orang tua Belanda menggugat ganti rugi dari TikTok sebesar € 1,4 miliar atau sekitar Rp 24 triliun.
Yayasan SOMI mengklaim, TikTok mengumpulkan data dari anak-anak tanpa izin yang layak. Pengacara SOMI, Douwe Linders, mengatakan kepada situs berita Belanda Trouw, aplikasi media sosial asal Cina itu mengumpulkan lebih banyak data daripada yang diperlukan, dan telah melanggar hukum Uni Eropa.
“Tidak jelas bagaimana TikTok menggunakan data pribadi,”kata Linders. “Ini menyangkut, misalnya, iklan yang dipersonalisasi dan transfer data ke Amerika Serikat dan Cina.”
“Juga, mereka tidak meminta izin dengan benar,” kata Linders. “Anak muda di bawah usia enam belas tahun dapat dengan mudah membuat profil tanpa izin dari orang tua mereka.”
Menurut yayasan tersebut, bahkan ada kasus sejumlah anak meninggal di seluruh dunia setelah didorong untuk mengikuti sejumlah tantangan berbahaya yang viral di platform tersebut. Tantangan Blackout, misalnya, yang diduga menantang para pengguna TikTok untuk saling mencekik hingga pingsan.
Meskipun tidak sampai menyebabkan kematian, Linders mengatakan, “permainan atau tantangan berisiko” ini dapat merusak secara psikologis atau fisik anak-anak.
Rumor tantangan seperti itu menyebar di kalangan anak-anak sudah ada jauh sebelum TikTok.
Apa tanggapan TikTok?
TikTok mengatakan sedang bekerja keras untuk melindungi pengguna di usia yang lebih muda. Misalnya, TikTok mengatakan, akun anak-anak berusia antara 13 dan 15 tahun ditetapkan secara bawaan sebagai akun privat.
Ini berarti bahwa orang asing tidak dapat melihat video anak-anak di feed mereka. Bisa juga diatur agar video yang tidak pantas menjadi offline, membekukan akun pembuat konten, dan memberi pengguna opsi untuk melaporkan video yang mereka anggap menyinggung.
TikTok dimiliki oleh ByteDance, perusahaan teknologi internet yang berkantor pusat di Beijing yang memiliki audiens global hampir 700 juta orang. Media berita pun turut menggunakan aplikasi ini untuk mendistribusikan konten mereka, termasuk DW.
Bagaimana SOMI terbentuk?
Sejak Juli 2020, ketika yayasan dimulai, total 64.000 klaim telah dikumpulkan dari seluruh Eropa, hampir sepertiganya berasal dari Belanda. Orang tua membayar €17,50 (Rp 305 ribu) untuk mendaftarkan klaim mereka, guna memberikan SOMI kekuatan finansial untuk mendanai gugatan kasus ini.
SOMI mengklaim bahwa yayasannya mewakili satu juta anak di bawah umur, bahkan jika mereka tidak terkait langsung dengan yayasan. “Anda dapat membandingkannya dengan klaim kolektif lainnya seperti kasus Urgenda,” kata Linders. “Di sana, tindakan diambil terhadap perubahan iklim untuk semua orang di Belanda. Ini tentang anak-anak yang telah menggunakan TikTok.”
Kompensasi finansial sebesar € 1,4 miliar (Rp 24 triliun) didasarkan pada dampak buruk yang diakibatkan pada anak-anak dari berbagai kelompok umur sejak 25 Mei 2018.
Kelompok tersebut mengklaim bahwa anak-anak paling muda yang berisiko adalah yang berusia di bawah 13 tahun, dan meminta kompensasi untuk setiap anak senilai €2.000 (Rp 34,8 juta)
Mereka juga meminta kompensasi €1.000 (Rp 17,4 juta) untuk anak-anak usia 13 hingga 15 tahun dan €500 (Rp 8,7 juta) untuk usia 16 dan 17 tahun.
Kasus ini mengikuti penyelidikan di Amerika Serikat pada tahun 2019 yang atas perintah presiden saat itu, Donald Trump mengancam akan melarang aplikasi media sosial populer itu beroperasi. [DW/DPA]