Site icon Jernih.co

Dilema Sri Lanka: Kasih Makan Rakyat atau Bayar Utang ke Cina

JERNIH — Sri Lanka menghadapi dilema; membayar utang luar negeri ke Cina atau menyelamatkan rakyat dari krisis pangan.

Al Jazeera memberitakan Sri Lanka harus membayar utang luar negeri 7,3 miliar dolar AS, atau Rp 104,8 triliun, tahun ini atau dinyatakan gagal bayar dan merusak reputasinya di pasar internasional. Kerusakan reputasi akan membuat Sri Lanka kesulitan mencari pinjaman dan memicu kehancuran ekonomi sangat parah.

Desember 2021 cadangan devisa Sri Lanka mencapai titik terendah dalam sejarah, yaitu 1,6 miliar dolar AS atau Rp 22,9 triliun karena pendapatan dari turis asing, sumber devisa penting, menyusut selama pandemi.

Sri Lanka menerima dorongan akhir tahun ketika bank sentral menarik swap 10 miliar yuan, atau Rp 21,5 triliun, sesuai kesepakatan dengan Cina. Namun swap itu tidak akan cukup meningkatkan cadangan devisa.

Inilah yang membuat Sri Lanka dihadapkan pada pilihan membayar utang atau mengimpor kebutuhan sehari-hari bagi rakyatnya.

Selama ini pemerintah berkomitmen membayar utang, meski harus mengorbankan rakyatnya yang berjuang memenuhi segala kebutuhan, termasuk gas untuk masak, susu bubuk, bahan bakar, dan obat-obatan.

Awal bulan ini sejumlah pemimpin Kamar Dagang (Kadin) Sri Lanka, sebuah badan industri terkemuka, meminta pemerintah menunda pembayaran obligasi dan menggunakan valuta asing untuk membeli barang-barang seperti makanan dan obat-obatan.

Vish Govindasamy, ketua Kadin Sri Lanka, mendesak pemerintah mengijinkan penggunaan arus masuk valas untuk meringankan kesulitan masyarakat umum memperoleh kebutuhan pokok.

“Karena sebagian mata uang asing Sri Lanka berasal dari pariwisata, kami tidak dapat mengirim pesan dunia tentang kekurangan pangan di negara ini,” Govindasamy memperingatkan.

Mantan ketua Kadin JD Bandaranayake menambahkan pemerintah harus fokus pada mengurangi kesulitan, dengan menjadwal ulang pembayaran utang.

Permohonan itu tidak didengar karena menteri kabinet dan bank sentral sibuk berjuang untuk solusi jangka pendek, terutama swap mata uang seperti terjadi Desember 2021 lalu.

Analis mengatakan swap seperti itu tidak dengan mudah dikonversi ke dalam dolar AS, dan secara praktis tidak ada gunanya dalam membayar utang.

Akhir Desember 2021, pemerintah juga memerintahkan bank komersial berlisensi menjual 25 persen dari semua penerimaan devisa ke bank sentral setiap pekan. Anggota parlemen dari partai oposisi Dr Harsha de Silva memperingatkan hal ini akan menghambat kemampuan bank komersial melayani kebutuhan importir.

Jika bank komersial tidak dapat meprediksi arus masuk mata uang asing, mereka tidak dalam posisi, atau tidak mau, membuka letter of credit untuk impor. Akibatnya, importir kehabisan pilihan.

Laughfs Gas, satu dari dua pemasok gas rumah tangga di Sri Lanka, awal Januari memperingatkan bahwa mereka tidak dapat mengimpor LPG dalam jumlah yang dibutuhkan karena kekurangan dolar.

Seorang eksekutif pabrik makanan, menolak menyebut nama karena takut intimidasi pemerintah, mengatakan produksi perusahaannya berkurang 50 persen karena gagal mengimpor bahan baku yang diperlukan.

“Kami beralih ke pemasok asing lain yang setuju dengan persyaratan alternatif,” katanya. “Namun biaya produksi kami melonjak 35 persen.”

Pabrik makanan dan gas hanya dua dari banyak sektor bisnis yang berndampak serius akibat dilema ini. Tidak ada yang tahu bagaimana Sri Lanka keluar dari masalah ini.

Exit mobile version