Jakarta, 6 September 2025 – Ruang Pusat Pelatihan Seni Budaya (PPSB) Jakarta Barat sore tadi dipenuhi penggemar sastra yang antusias mengikuti Diskusi Kosakata: Proses Kreatif Emi Suy – Perempuan Penjahit Luka. Diselenggarakan komunitas Sastra Kosakata Jakarta Barat bekerja sama dengan Komisi Simpul Seni Dewan Kesenian Jakarta, acara ini menjadi ruang reflektif bagi pecinta puisi untuk menyimak perjalanan kreatif Emi Suy, salah satu penyair perempuan terkemuka Indonesia.
Acara dibuka pukul 14.00 WIB dengan sesi Open Mic, memberi kesempatan bagi peserta membacakan puisi dan cerita dari hati. Penampilan musik turut menambah nuansa, antara lain solo gitar oleh $ahrony (15.00–15.30 WIB) dan pertunjukan marawis (15.30–15.45 WIB), menghadirkan suasana spiritual dan kebersamaan. Sambutan resmi disampaikan menjelang diskusi utama oleh Anto RistarGie (Pembina Kosakata), Aquino Hayunta (Simpul Seni DKJ), dan Joko Mulyono (Kasudin Kebudayaan Jakarta Barat).

Diskusi utama dimulai pukul 16.00 WIB, menghadirkan Emi Suy bersama tokoh sastra Helvy Tiana Rosa, Imam Ma’arif, dan Riri Satria, dipandu moderator Octavianus Masheka. Perbincangan menyoroti proses kreatif Emi Suy yang menghasilkan puisi sarat luka, refleksi, dan kesunyian yang berdaya.
Helvy Tiana Rosa menegaskan, “diam” dalam puisi Emi bukan kelemahan, melainkan kekuatan. Imam Ma’arif menyoroti kemampuan penyair mengolah kesunyian menjadi makna, sementara Riri Satria menekankan pentingnya ekosistem sastra yang sehat agar karya seperti puisi Emi dapat hadir, dibaca, dan diapresiasi dalam ruang yang mendukung. Ia menyebut komunitas sastra sebagai simpul kultural yang menjaga kesinambungan tradisi dan inovasi.
Diskusi juga dimeriahkan pembacaan puisi oleh Herry Tany, Chintya, Rissa Churia, Shantined, dan Nunung Noor El Niel, menambah lapisan suasana dan menghadirkan getar kata yang menyentuh hati hadirin. Seorang peserta menyatakan, “Diskusi ini bukan hanya tentang proses kreatif, tapi juga tentang bagaimana kita saling menjahit luka dengan kata-kata.” Acara ditutup pukul 18.00 WIB, meninggalkan gema kata yang masih terasa dalam ruang batin peserta.
Menjahit Luka, Membaca Sunyi
Dalam sesi refleksi, Emi Suy membagikan pengalaman membaca diri melalui tulisan Riri Satria, Imam Ma’arif, dan Helvy Tiana Rosa. Ia menegaskan, penyair tidak menulis hanya untuk diri sendiri; karyanya selalu menemukan pembacanya.
Membaca Diri Lewat Mata Riri Satria
Emi menyebut membaca esai Riri seperti bercermin di air bening, melihat wajahnya sekaligus kedalaman yang sulit ia tatap sendiri. Dari perjalanan kepenyairan Emi—dari Tirakat Padam Api hingga gagasan Perempuan Mesti Bisa Menjahit, Setidaknya Menjahit Lukanya Sendiri—ia menemukan diri dibaca lebih terang dan jernih. Riri menyoroti trilogi sunyi (Alarm Sunyi, Ayat Sunyi, Api Sunyi) dan buku intim tentang ibu (Ibu Menanak Nasi Hingga Matang Usia Kami), mengajarkan Emi bahwa sunyi dan luka bisa menjadi ruang batin, doa, dan ziarah diri.
Menuju Kota Sunyi: Membaca Diri Lewat Mata Imam Ma’arif
Tulisan Imam Ma’arif mengajak Emi menatap cermin yang memantulkan masa lalu, kegagalan, dan cahaya redup. Dari pengalaman di Planet Senin (2008), ia belajar membedakan dua jenis sunyi: sunyi situasi dari dunia gaduh, dan sunyi batin dari keterasingan eksistensial. Bagi Emi, puisi bukan tujuan, tetapi jalan di mana diam berbicara, luka menyembuhkan, dan kehilangan menjadi rumah.
Menyimak Diri Lewat Mata Helvy Tiana Rosa
Helvy membaca karya Emi dengan mata sahabat, peneliti, dan perempuan yang berpengalaman mengolah luka dengan kata. Puisinya, lirih, subtil, dan domestik, seperti kukusan yang menanak doa. Helvy bahkan membacakan puisi persembahan di panggung, menghadirkan puisi sebagai tubuh yang hidup—bergetar, berdenyut, dan menyapa hati hadirin.
Epilog
Membaca diri melalui mata Riri Satria, Imam Ma’arif, dan Helvy Tiana Rosa mengajarkan Emi bahwa penyair tidak menulis untuk diri sendiri saja. Sunyi bisa bergema, luka bisa menjadi jalan kesembuhan, dan api pawon kecil ibu bisa menerangi panggung luas. Puisi, pada akhirnya, bukan milik seorang penyair; ia milik semua yang mau melihat, mendengar, dan menerima kata sebagai benang yang menjahit dunia.* (ESY)
Jakarta, 7 September 2025