FFI 2025 memilih Pangku sebagai pernyataan bahwa sinema Indonesia masih punya hati nurani yang peka terhadap narasi-narasi kecil yang sering terabaikan di sudut-sudut kota kita.
JERNIH – Kemenangan film Pangku sebagai Film Cerita Panjang Terbaik di Festival Film Indonesia (FFI) 2025 menyisakan diskusi menarik. Di tengah gempuran film horor yang merajai box office dan film thriller aksi yang mendominasi aspek teknis, mengapa sebuah drama keluarga yang sunyi dan debut penyutradaraan Reza Rahadian justru yang membawa pulang Piala Citra tertinggi?
Kemenangan ini jelas bukan keberuntungan pemula. Pangku menawarkan sesuatu yang hilang dari layar lebar kita belakangan ini: sebuah kejujuran yang menyakitkan namun memulihkan.
Mengapa Pangku begitu dominan dan apa yang membedakannya dari film keluarga lain di tahun ini.
Realisme Pinggiran
Banyak drama keluarga Indonesia terjebak pada dua kutub: kemiskinan yang dieksploitasi (poverty porn) atau masalah kelas menengah Jakarta yang polished.

Pangku mengambil jalan tengah yang jarang dilalui. Film ini memotret kehidupan masyarakat “pinggiran”—bukan hanya secara geografis, tapi juga sosial—dengan martabat. Tidak ada tangisan yang didramatisir berlebihan.
Kekhasannya terletak pada keberhasilan Reza Rahadian menangkap keheningan dalam penderitaan. Masalah dalam Pangku tidak diselesaikan dengan dialog-dialog motivasional, melainkan dengan gesture kecil, tatapan mata, dan kelelahan fisik yang terpancar dari para aktornya. Ini adalah potret keluarga yang raw (mentah) dan tidak berjarak.
Kekuatan “Aktor yang Menyutradarai Aktor”
Salah satu alasan terkuat mengapa Pangku unggul adalah kualitas akting ansambelnya yang merata. Sebagai aktor watak yang beralih menjadi sutradara, Reza memiliki kepekaan yang berbeda dalam mengarahkan pemain.
Di saat film lain berlomba-lomba “meledakkan” emosi, Pangku justru menahannya. Kemenangan Christine Hakim (Pemeran Pendukung Wanita Terbaik) adalah bukti nyata. Di tangan Reza, Christine tidak bermain dengan ledakan amarah, melainkan dengan kegetiran seorang matriark yang rapuh namun harus terlihat kuat.
Hubungan antar karakter dibangun bukan lewat cerewetnya naskah, melainkan interaksi fisik—sesuai judulnya, Pangku. Bagaimana karakter saling bersandar, membebankan tubuh, dan mencari perlindungan satu sama lain menjadi bahasa visual yang kuat. Ada chemistry di dalam kata.
Mendefinisikan Ulang Makna Pangku
Judul film ini adalah metafora ganda yang cerdas, yang menjadi nilai jual utama di mata Juri FFI. “Pangku” secara harfiah berarti memberi kasih sayang dan rasa aman. Alias sebagai bentuk perlindungan.
Di sisi lain, film ini menyoroti realitas sandwich generation dan beban kultural di mana seseorang harus “memangku” hidup orang lain di atas pahanya sendiri hingga kakinya mati rasa.
Dualisme makna ini dieksekusi dengan rapi dalam skenario, menjadikan Pangku bukan sekadar film keluarga biasa, tapi studi sosiologis tentang beban hidup masyarakat Indonesia hari ini.
Pembeda dengan Kompetitor Utama
Kompetitor terberatnya di genre drama adalah Sore: Istri dari Masa Depan (karya Yandy Laurens). Mengapa Pangku yang menang Film Terbaik, meski Sore memenangkan Sutradara dan Aktor/Aktris Utama?
Sore adalah sebuah fantasi romansa yang hangat, manis, dan memberikan harapan (feel-good movie). Ia teknisnya brilian dan heartwarming.
Pangku, di sisi lain, adalah sebuah “tamparan” realita. FFI sering kali memiliki kecenderungan memilih film yang memiliki dampak sosial atau statement budaya yang lebih tebal. Pangku dianggap lebih mewakili wajah Indonesia yang “sesungguhnya” di tahun 2025: berjuang, lelah, namun tetap saling menopang.
Jika Sore adalah tentang bagaimana kita ingin dicintai, maka Pangku adalah tentang bagaimana kita bertahan hidup demi orang yang kita cintai. Dan, itu lebih relevan pun mengena dengan realitas masyarakat Indonesia.
Secara visual, Pangku menghindari shot-shot lanskap yang megah (wide shot) yang sering dipakai untuk mempercantik film. Kamera dalam film ini bergerak sangat dekat (claustrophobic), memaksa penonton untuk masuk ke ruang privasi karakter. Pendekatan visual ini membuat penonton tidak punya pilihan selain ikut merasakan sesak dan leganya napas para tokoh di layar.
Pangku menang karena ia mengembalikan film ke fungsi dasarnya: cermin kehidupan. Di era di mana CGI dan plot twist menjadi jualan utama, Reza Rahadian berani bertaruh pada kesederhanaan cerita manusia.(*)
BACA JUGA: FFI 2025; Debut Emas Reza Rahadian dan Rekor Abadi Christine Hakim