Dalam pembuatan film Laut Bercerita setali tiga uang dengan kisah filmnya itu sendiri. Yakni, sarat muatan politik. Bahkan saat syuting pun kru dan aktor mesti berhati-hati.
JERNIH – Film Laut Bercerita adalah adaptasi dari novel berjudul sama karya jurnalis dan sastrawan kenamaan, Leila S. Chudori. Karya ini hadir dalam dua format: film pendek berdurasi 30 menit yang pertama kali dirilis pada tahun 2017, dan kini sedang dalam proses pengembangan menjadi film panjang yang akan tayang pada tahun 2026.
Film ini bergenre Fiksi Sejarah (Historical Fiction) dan Drama Politik/ Kemanusiaan. Ia bukan sekadar fiksi, melainkan sebuah penghormatan dan pengingat yang menyayat hati terhadap peristiwa kelam dalam sejarah Indonesia, yaitu penghilangan paksa aktivis pada masa Orde Baru, khususnya tahun 1998.
Laut Bercerita adalah sebuah thriller psikologis-historis yang melampaui batas-batas narasi biasa. Kisah ini dibingkai melalui sudut pandang Biru Laut, seorang mahasiswa dan aktivis muda yang diculik dan disiksa bersama kawan-kawannya karena menentang rezim otoriter.
Film ini secara brutal menyajikan kontras yang mencolok: kehangatan sebuah keluarga versus kekejaman sebuah negara.
Di satu sisi, kita melihat momen-momen intim Biru Laut bersama kelompok aktivisnya—Winatra—yang dipenuhi idealisme, persahabatan, dan harapan akan perubahan. Adegan penyiksaan di sel tahanan bawah tanah digambarkan dengan detail yang mencekam dan minim dialog, memaksa penonton merasakan isolasi, kedinginan, dan rasa sakit yang tak terbayangkan. Ini adalah puncak horor sinematik dari penindasan yang sistematis.

Di sisi lain, narasi bergeser ke sudut pandang keluarga Laut, terutama adik perempuannya, Asmara Jati, dan kedua orang tuanya. Ketiadaan Laut tidak diisi dengan kepastian, melainkan dengan “kehilangan yang tak terdefinisikan”. Mereka tetap menyiapkan piring untuknya di meja makan, hidup dalam penyangkalan yang menyedihkan, sebuah metafora kuat tentang bagaimana korban-korban “penghilangan” itu tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga membekukan waktu dan masa depan bagi keluarga yang ditinggalkan.
Secara analitis, film ini berhasil merobek tirai antara trauma personal dan tragedi nasional. Ia adalah kritik tajam terhadap kekuasaan represif dan sekaligus sebuah monumen kesetiaan dan keberanian. Film ini tidak hanya menuntut kita untuk mengingat, tetapi juga memaksa kita untuk merasakan apa artinya hidup dalam ketidakpastian abadi. Keheningan yang ditinggalkan oleh Laut lebih keras teriakannya daripada teriakan di sel penyiksaan.
Karena film ini terbagi antara masa lalu (aktivitas aktivis dan penyiksaan) dan masa kini (pencarian dan trauma keluarga), lokasi syutingnya mencakup kawasan Yogyakarta dan Ciputat, Jakarta. Lokasi-lokasi ini menjadi latar bagi kehidupan aktivis mahasiswa Biru Laut dan kawan-kawannya, merefleksikan gerakan-gerakan mahasiswa di masa Orde Baru.
Adegan penyiksaan yang mencekam sebagian besar diambil di set yang didesain secara spesifik untuk menciptakan suasana isolasi, kelembaban, dan kedinginan yang otentik, mungkin di area studio atau gudang di sekitar Jakarta/Yogyakarta.
Film Laut Bercerita tidak hanya mengandalkan kisah sejarah yang kuat, tetapi juga kemampuan akting para pemainnya untuk menghidupkan trauma dan keteguhan hati para korban serta keluarga. Pusat narasi terletak pada Biru Laut, diperankan oleh Reza Rahadian.
Biru Laut adalah seorang mahasiswa Sastra Inggris, pemimpin aktivis yang idealis, kritis, dan penuh kasih sayang. Keunggulan Reza terletak pada Aksi Batin (Internal Action); ia mampu bertransformasi dari seorang pemuda berapi-api menjadi korban yang ringkih dan penuh luka. Ekspresi matanya yang kosong dan penderitaannya yang minim dialog saat berada di sel penyiksaan menjadi narasi yang mencekik, menunjukkan kedalaman emosional yang luar biasa tanpa perlu kata-kata.
Dampak dari penghilangan Biru Laut terasa kuat melalui karakter Asmara Jati, adik Biru Laut, yang diperankan oleh Yunita Siregar dalam film pendek. Asmara mewakili generasi yang menuntut kejelasan dan kemudian bergabung dalam aksi Kamisan. Kekuatan akting Yunita terletak pada Aksi Respon (Reactionary Action), yaitu kemampuan menampilkan penderitaan kronis. Ia harus unggul dalam menunjukkan ketabahan yang menyembunyikan trauma mendalam, terutama saat harus berhadapan dengan penyangkalan emosional dari orang tuanya.
Kontrasnya adalah Kinan (Kasih Kinanti) atau Anjani, kekasih Laut, yang diperankan oleh Dian Sastrowardoyo. Dian Sastro unggul dalam Aksi Keteguhan (Resilience Action); ia menampilkan sosok perempuan yang rentan namun memiliki kekuatan besar dalam mencari kejelasan. Kekhawatiran dan ketakutan Anjani yang mendalam di film pendek terasa mencekik, menjadikannya representasi kekuatan dan harapan di tengah ketidakpastian.
Selain itu, elemen persahabatan dan solidaritas diangkat oleh kawan-kawan seperjuangan Laut, seperti Sunu Dyantoro, Alex Perazon, dan Naratama (diperankan oleh Haydar Saliszh, Tanta Ginting, dan Ade Firman Hakim). Kekuatan kolektif mereka terletak pada Aksi Fisik (Physical Action), yaitu chemistry yang kuat dan akting penyiksaan fisik yang meyakinkan. Solidaritas mereka di tengah kehancuran di sel tahanan terasa otentik dan menyakitkan.
Akhirnya, trauma kolektif keluarga divisualisasikan oleh orang tua Biru Laut, yang diperankan oleh aktor senior seperti Tio Pakusadewo/Arswendy B.S. (Ayah) dan Christine Hakim (Ibu). Kekuatan akting mereka adalah Aksi Diam (Silent Action). Mereka mampu menyampaikan rasa sakit yang mendalam hanya melalui tatapan kosong, gestur menyiapkan makanan yang tak pernah tersentuh, dan keengganan untuk memindahkan barang-barang milik Biru Laut. Akting mereka adalah monumen bagi keluarga korban yang terpaksa hidup dalam kerinduan dan penyangkalan abadi.
Sutradara Pritagita Arianegara dan tim produksi harus bekerja dengan sangat hati-hati dan merahasiakan subjek film karena tema sensitif yang diangkat. Saking takutnya, mereka bahkan menggunakan judul samaran, yaitu “Kelam”, untuk semua properti dan izin syuting. Hal ini dilakukan demi keamanan semua yang terlibat.
Pritagita sengaja memilih aktor-aktor dengan nama besar seperti Reza Rahadian dan Dian Sastrowardoyo. Alasannya adalah, seperti yang ia ungkapkan, “Kan nggak mungkin Dian Sastrowardoyo atau Reza Rahadian hilang.” Kehadiran aktor terkenal dianggap sebagai semacam “asuransi” keamanan agar proses syuting tidak diganggu.(*)
BACA JUGA: Fenomena Pangku, Film Terbaik FFI 2025 yang Mampu Menumbangkan Blockbuster di FFI 2025