Jernih.co

Film Mohammad Natsir Dimulai: Mengangkat Keteladanan Sang Negarawan ke Layar Lebar

Peran monumental Natsir dalam sejarah nasional tak bisa dilepaskan dari pidatonya di parlemen Republik Indonesia Serikat, 3 April 1950. Melalui Mosi Integral yang ia ajukan sebagai ketua Fraksi Masyumi, Natsir memelopori kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan setelah sebelumnya terpecah-pecah sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS). Mosi ini diterima secara luas dan menjadi tonggak penting dalam sejarah bangsa.

JERNIH– Tepat pada peringatan 117 tahun kelahiran Mohammad Natsir, tokoh integral dalam sejarah Indonesia; Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dan Yayasan Kapita Selekta Mohammad Natsir memulai proyek besar: produksi film layar lebar tentang kehidupan dan perjuangan sang pahlawan nasional.

Acara kick-off digelar pada Rabu, 17 Juli 2025, di Jakarta. Dalam momen simbolik itu, putri kelima Mohammad Natsir, Aisyatul Asyriah, bersama Ketua Umum DDII, KH Adian Husaini, menyerahkan poster resmi film kepada Erick Yusuf—seorang dai kreatif dan pimpinan pesantren yang juga dikenal sebagai seniman dan pegiat film—sebagai produser eksekutif yang akan menggarap film tersebut.

Menghidupkan Nilai, Bukan Sekadar Riwayat

Film ini, kata Erick Yusuf, akan menjadi sebuah ikhtiar besar: menyampaikan nilai, bukan sekadar menceritakan riwayat. “Ini bukan tugas ringan,” ujarnya. “Mengangkat Natsir ke layar lebar berarti menjaga akurasi sejarah, menghadirkan estetika dalam narasi perjuangan, dan menyampaikan keteladanan hidup dengan jujur serta utuh.”

Erick menambahkan, film ini akan menjadi potret tentang keikhlasan dalam berjuang, kesederhanaan dalam memimpin, serta keberanian dalam menegakkan kebenaran—meskipun risiko yang harus ditanggung sangat besar. Ia berharap, film ini bisa menjadi jendela nilai untuk generasi muda, bukan sekadar nostalgia sejarah.

Mohammad Natsir—yang bergelar Datuk Sinaro Panjang—adalah tokoh serba bisa: ulama, pendidik, jurnalis, hingga negarawan. Ia juga salah satu pendiri Partai Masyumi dan pernah menjabat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia. Kiprahnya diakui bukan hanya di dalam negeri, tapi juga di dunia internasional.

Sejumlah penghargaan luar negeri pernah ia terima. Di antaranya: Grand Gordon Star dari Raja Tunisia, King Faisal International Prize dari Kerajaan Arab Saudi, gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Lebanon, penghargaan sastra dari Universiti Kebangsaan Malaysia, dan gelar kehormatan dalam pemikiran Islam dari Universiti Sains Malaysia.

Namun, peran monumental Natsir dalam sejarah nasional tak bisa dilepaskan dari pidatonya di parlemen Republik Indonesia Serikat, 3 April 1950. Melalui Mosi Integral yang ia ajukan sebagai ketua Fraksi Masyumi, Natsir memelopori kembalinya Indonesia ke bentuk negara kesatuan setelah sebelumnya terpecah-pecah sebagai Republik Indonesia Serikat (RIS). Mosi ini diterima secara luas dan menjadi tonggak penting dalam sejarah bangsa.

“Ayah yang Luar Biasa”

Di luar kiprah kenegaraan, Mohammad Natsir juga dikenang sebagai figur keluarga yang lembut dan teladan. Aisyatul Asyriah mengenang sang ayah sebagai orang tua yang sejak awal menanamkan adab dan akhlak kepada anak-anaknya.

“Beliau mendidik kami dengan kerendahan hati, kesederhanaan, kesantunan, dan disiplin. Tak hanya lewat nasihat, tapi lewat contoh langsung dalam hidupnya,” kata Aisyatul.

KH Adian Husaini menambahkan, ketokohan Natsir bukan hanya pada kekuatan gagasan, melainkan pada keselarasan antara pikiran dan tindakan. “Beliau brilian dalam ide-ide pendidikan dan kenegaraan. Tapi lebih penting, ia cemerlang dalam keteladanan: dalam tutur kata, perilaku, dan kejujuran pribadi,” ujar KH Adian.

Film ini, menurut pihak penyelenggara, diharapkan tayang dalam dua tahun ke depan. Tahapan riset dan penulisan naskah tengah berjalan, melibatkan sejarawan, keluarga, serta pihak-pihak yang pernah berinteraksi langsung dengan Natsir.

Proyek ini bukan sekadar film biografi, melainkan juga upaya membumikan kembali nilai-nilai perjuangan tokoh Islam modernis yang tak pernah tergoda kekuasaan dan tak pernah menjadikan jabatan sebagai tujuan.

“Satu-satunya ambisi beliau,” ujar Erick Yusuf, “adalah membela keutuhan bangsa, memperjuangkan nilai Islam yang rahmatan lil alamin, dan mendidik umat agar mampu hidup mandiri, beradab, dan merdeka.”

Di tengah maraknya figur publik yang dibentuk oleh pencitraan dan sensasi media sosial, film Mohammad Natsir bisa menjadi penawar. Sebuah pengingat bahwa dalam sejarah bangsa ini pernah berdiri seorang tokoh besar yang tidak berteriak, tidak bersilat lidah, tetapi membuat sejarah lewat kejujuran dan kesederhanaannya. [ ]

Exit mobile version