Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang tengah dijalani Garuda Indonesia bersama segenap pemangku kepentingan, bukanlah proses kebangkrutan atau kepailitan, melainkan proses restrukturisasi dalam koridor hukum sesuai mekanisme PKPU.
JAKARTA – Proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang tengah dijalani Garuda Indonesia bersama segenap pemangku kepentingan, bukanlah proses kebangkrutan atau kepailitan, melainkan proses restrukturisasi dalam koridor hukum sesuai mekanisme PKPU.
Demikian diungkapkan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero), Irfan Setiaputra, menanggapi isu Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan, guna efisiensi perusahaan, di Jakarta, Rabu (2/2).
Ia menjelaskan, Garuda hingga kini masih berfokus menjalani proses PKPU guna memperoleh kesepakatan terbaik, dalam penyelesaian kewajiban usaha dengan para kreditur.
“Dalam proses PKPU ini, Garuda Indonesia juga terus menjalin komunikasi yang intensif bersama seluruh kreditur,” kata dia.
Garuda Indonesia, lanjut Irfan, telah mendapatkan tanggapan positif dari sejumlah kreditur, termasuk lessor pesawat (perusahaan yang menyediakan jasa leasing) dalam proses negosiasi guna mencapai kesepakatan terbaik untuk penyelesaian kewajiban usaha.
Oleh karena itu, pihaknya belum memiliki agenda pertemuan dengan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) terkait penyesuaian jumlah karyawan. Bahkan dalam upaya pemulihan kinerja yang saat ini dioptimalkan, pihaknya terus berkomitmen mengedepankan kepentingan para karyawan.
“Ini selaras dengan rencana dan upaya-upaya kami untuk menjadi entitas bisnis yang kuat di masa mendatang,” katanya.
Menurut dia, seluruh kebijakan dan keputusan ketenagakerjaan yang ditempuh Garuda Indonesia, tentu mengacu pada ketentuan dan perundang-undangan yang berlaku, serta berdasarkan komunikasi konstruktif bersama karyawan.
Selama proses PKPU berlangsung, pihaknya memastikan seluruh aspek kegiatan operasional penerbangan akan tetap berlangsung dengan normal, termasuk layanan penumpang, kargo, dan perawatan pesawat.
Kondisi Keuangan Garuda Indonesia
Sebelumnya, Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo, membeberkan kondisi keuangan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk saat menggelar rapat bersama Komisi VI DPR RI.
Dalam paparannya, disebutkan kondisi Garuda Indonesia sebetulnya secara teknikal bangkrut alias technically bankrupt. Hal itu lantaran ekuitas Garuda sudah negatif hingga US$ 2,8 miliar atau setara dengan Rp 40 triliun (kurs Rp 14.200/US$).
“Kalau bapak ibu melihat neraca, ada ekuitas negatif US$ 2,8 miliar, rekor (ekuitas negatif BUMN terbesar) itu dulu dipegang PT Asuransi Jiwasraya, kini dipegang Garuda,” ujarnya.
Atas hal tersebut, Garuda Indonesia berkomitmen terus melakukan pembicaraan dengan para lessor untuk melakukan restrukturisasi, menurunkan kewajiban Garuda dari US$ 9,75 miliar menjadi US$ 2,6 miliar.
“Jadi memang kunci, kalau saya sampaikan bahwa yang menjadi kunci utama sukses atau tidaknya restrukturisasi Garuda ialah persetujuan kreditor. Ini penting karena tanpa adanya persetujuan kreditor tidak mungkin pemegang saham bergerak,” katanya.
“Dalam 1-2 bulan ini kami aktif negosiasi dengan lessor, bank, Himbara, Pertamina, karena para kreditor harus mengakui dan menerima bahwa harus ada pengurangan utang yang signifikan karena jika tidak, neraca yang technically bankrupt tadi tidak akan survive,” lanjutnya.
Suntikan Dana untuk Garuda Indonesia
Namun Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan pihaknya telah menyiapkan dana cadangan pembiayaan investasi tahun 2022 sebesar Rp21,5 triliun dan sebesar Rp7,5 triliun akan dialokasikan untuk menyelamatkan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA).
“Sebanyak Rp7,5 triliun untuk Garuda Indonesia tersebut, kemungkinan akan disalurkan melalui PT Aviasi Pariwisata Indonesia,” ujar Sri dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI.
Dana cadangan pembiayaan Rp21,5 triliun tersebut akan dicadangkan untuk PT Hutama Karya (HK) sebesar Rp7,5 triliun, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk sebesar Rp3,5 triliun, dan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk sebesar Rp1,98 triliun. Selain itu, sebesar Rp7,5 triliun untuk PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero), dan Badan Bank Tanah juga akan mendapatkan Rp1 triliun.
“Tahun depan kita juga mencadangkan pembiayaan sebesar Rp 7,5 triliun untuk Perusahaan Aviasi Pariwisata Indonesia,” kata dia.