Site icon Jernih.co

Gereja Katolik Kanada Minta Maaf atas Pelecehan Satu Abad Anak-anak First Nation

JERNIH — Keuskupan Katolik Kanada, Jumat 24 September waktu setempat, meminta maaf kepada masyarakat adat, atau First Nation, atas pelecehan terhadap anak-anak selama lebih satu abad.

“Kami mengakui pelanggaran berat yang dilakukan beberapa anggota komunitas Katolik kami, fisik, psikologis, emosional, spiritual, budaya, dan seksual,” demikian pernyataan Konferensi Waligereja Katolik Kanada yang diterbitkan Jumat, seperti dikutip CBC.ca

“Bersama entitas Katolik yang terlibat langsung dalam pengoperasian sekolah, dan yang telah menyampaikan permintaan maaf yang tulus, kami — para Uskup Katolik Kanada — mengungkapkan penyesalan mendalam dan meminta maaf,” lanjut pernyataan itu.

Selama periode Kristenisasi, anak-anak pribumi dipisah paksa dari keluarga di bawah kebijakan asimilasi pemerintah. Kebijakan itu digambarkan sebagai genosida budaya, dan menjadi sorotan.

Setelah survei radar menemukan lebih 1.000 kuburan tak bertanda di halaman sekolah asrama yang dikelola gereja, luka sejarah atas semua yang dilakukan gereja dan pemerintah muncul kembali.

Juni 2021 lalu, Paus Fransiskus mengungkapkan rasa sakitnya atas penemuan kerangka 215 anak-anak di sebuah sekolah asrama yang dikelola gereja, tapi pemimpin Gereja Katolik itu tidak mengemukakan permintaan maaf.

Sistem yang diterapkan antara 1831 sampai 1996 itu setidaknya mengeluarkan anak-anak First Nation dari rumah-rumah. Pihak gereja membawanya ke sekolah asrama yang dijalankan atas nama pemerintah federal Kanada.

Anak-anak itu dipaksa memeluk Kristen, dan tidak diijinkan berbicara dalam bahasa ibu.

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Kanada (TRC) dibentuk untuk menyelidiki efek sistem sekolah asrama, dan melaporkannya pada tahun 2015.

Menurut TRC, anak-anak itu kekurangan gizi, dipukuli, dan dilecehkan. Semua itu dilakukan pengelola sekolah asrama sebagai bagian dari sistem genosida budaya.

Permintaan maaf kepausan adalah satu dari 94 rekomendasi TRC, tetapi Konferensi Waligereja Kanada mengatakan tahun 2018 bahwa Paus merasa tidak dapat secara pribadi meminta maaf atas ekolah-sekolah asrama.

Anak-anak First Nation memiliki rambut panjang, yang sering memiliki makna spiritual dalam kepercayaan asli. Pihak pengelola sekolah memotong rambut anak-anak itu sejak mereka datang.

Anak-anak itu juga tidak boleh lagi berbicara dalam bahasa ibu kepada rekan-rekannya. Siswa juga harus menanggalkan nama asli, dan diberi nama Eropa. Sering, bukan nama yang diberikan tanpi nomor dan seragam.

Sekolah mengajarkan ketrampilan manual; anak laki-laki diajarkan pertukangan, perempuan dipersiapkan sebagai penghuni dapur. Tidak hanya sekolah, anak-anak itu juga dipekerjakan sebagai pembersih kotoran dan memberi makan hewan.

Tahun 2008 pemerintah Kanada meminta maaf di Parlemen, dan mengakui kekerasan fisik dan seksual di sekolah-sekolah asrama merajalela. Banyak siswa dipukul karena berbicara dalam bahasa ibu.

PM Justine Trudeau mengatakan Gereja Katolik harus bertanggung jawab atas perannya dalam menjalankan banyak sekolah asrama, dan membantu mengidentifikasi jenazah.

Exit mobile version