- Het leven in Nederlandsch-Indië menjadi satu-satunya buku yang menceritakan keburukan Hindia-Belanda.
- Bas Veth, penulisnya memaki semua yang ada di Hindia Belanda. Termasuk perempuan pribumi yang disebut monyet.
JERNIH — Pernah dengar verdom het, kata dalam Bahasa Belanda yang berulang kali diucapkan H Hamid Arief, pemeran Scout Heinne dalam film Si Pitung?
Hans Vervoort menggunakan kata ini dalam tulisannya tentang Bas Veth, satu-satunya penulis Belanda yang membenci Hindia-Belanda, di situs javapost.nl. Lengkapnya; ‘De Indischman verdomt het‘, artinya Pria India Sialan.
Verdom het adalah ungkapan khas orang Belanda di Indonesia, atau Indischman. Ungkapan ini digunakan untuk apa saja, termasuk memaki sesama dan pribumi. Tidak diketahui apakah kata serupa digunakan orang Belanda di negerinya.
Yang pasti, Bas Veth adalah orang pertama yang menggunakan kata ini dalam Het leven in Nederlandsch-Indië (Kehidupan di Hindia-Belanda) — bukunya yang terbit di Hindia-Belanda tahun 1900, menimbulkan keguncangan, dan dikomentari banyak penulis.
Bas Veth
Bastiaan ‘Bas’ Veth berangkat dari Belanda 16 Agustus 1879 dengan kepal Koning der Nederlanden tujuan Makassar untuk bekerja di firma dagang J.F van Leeuwen. Saat itu Veth berusia 19 tahun, dan anak tertua dari lima bersaudara. Jan Veth, ayahnya, adalah pemilik kapal Amsterdam yang makmur.
Bas Veth datang Hindia Belanda setelah ditolak dinas militer karena miopia alias rabun jauh. Dari Makassar, Bas Veth berkeliling Sumatera, tinggal di Pulau Jawa dan Sulawesi, selama 12 tahun.
Sembilan tahun setelah menyelesaikan pengelanaannya, Het leven in Nederlandsch-Indië terbit di Belanda. Buku setebal 255 halaman, yang sampai saat ini bisa dijumpai di situs dbnl.org, menimbulkan keguncangan luar biasa.
Dalam buku itu Bas Veth menumpahkan semua ketidak-sukaan, lebih tepatnya kebencian, kepada Hindia Belanda. Mulai dari alam yang jelek, makanan yang layak sampah, panas tak tertahankan, dan orang-orangnya; mulai dari Indischman sampai pribumi, yang menjengkelkan.
Bas Veth memulainya dengan penggambaran alam Nusantaa. Ia menulis; Pulau-pulau di lepas pantai Padang! Hutan palem hijau lebat, dipisahkan dari laut biru tua yang menawan oleh tepi pantai berwarna kuning cerah. Sebuah gubuk kecil, tersembunyi di bawah naungan daun palem yang melengkung. Sebuah perahu, kecil, bersayap kiri dan kanan, terombang-ambing ringan di atas ombak, mengapung, digerakkan oleh dayung, digerakkan oleh lengan telanjang berwarna coklat, di lautan luas.
Dalam bab lain bukunya, Bas Veth menulis tentang orang Belanda dan Eropa non-Belanda yang tinggal di koloni, yang menurutnya tidak lagi hidup dengan nilai-nilai luhur Eropa.
“‘Di Eropa dia tetaplah seorang borjuis, seorang borjuis yang tetap diawasi oleh apa yang dia anggap sebagai “kesopanan” dan yang dia takuti. Di Eropa, kaum borjuis mengikuti “tata krama yang baik” dan menaruh perhatian pada “sopan santun” dan “labelte”. Dia tahu bagaimana hal itu harus dilakukan.
Di koloni, kaum borjuis telah menjadi “manusia India” (indischman). Di sana dia bisa menuruti semua keburukan sepenuhnya, dan semakin dia melakukannya, semakin tinggi pula simpati orang lain, atau lebih tepatnya, semakin dia terhindar, karena perasaan dari orang lain: dia tetaplah bosnya. dari kita. (…)
Seorang pria India adalah pembuat onar. Dia akan melakukan ini, dia akan melakukan itu. Dia mengatakan ini dan itu. Sialan. Mereka tidak akan menangkapnya. Jika ia mempunyai harta yang diragukan sebesar 10.000 gulden, maka ia berbicara seolah-olah ia mempunyai seratus ribu gulden.’
Kritik Bas Veth tentang Indischman mungkin ada benarnya. Bas Beth lahir dari keluarga kelas menengah tajir, dengan kehidupan serba terhormat. Keluarganya membentuk Gebroeders Veth, atau Veth Bersaudara, yang menjalankan bisnis di berbagai bidang; perdagangan kopi, kopra, ekspor-impor, agen asuransi dan lainnya.
Di Padang, Gebroeders Veth mendirikan NV Nederlandsch Indisch Cement Portland Maatshappij (NIPCM) — pabrik semen pertama di Asia Tenggara yang kini menjadi Semen Padang. Veth Bersudara juga mengelola tambang emas di Salido, Sumatera Barat, perkebunan Sawit di Deli, sampai pabrik kertas.
Di sisi lain, Indischman yang dikritik Bas Veth berasal dari masyarakat Belanda kelas bawah yang mencari penghidupan di Hindia-Belanda, dengan harapan kembali ke negerinya membawa sekarung uang untuk hidup enak. Indischman hidup tanpa etika luhur kulit putih Eropa, dengan kecenderungan pamer harta dan omong besar.
Makanan Sampah
Bas Veth tidak menyukai makanan di Hindia-Belanda, meski makanan itu produk rumah-rumah orang Belanda yang sekian lama tinggal di Hindia-Belanda.
‘Meja nasi lahir dari desakan keadaan. Ada banyak beras di Hindia Belanda. Juga lombok dan juga ikan yang banyak dimanjakan: disebut trassi. Dan ada ayam, oh! banyak ayam, ayam kurus, keras, dan ada telur ayam dan telur bebek, asin, kalau tidak maka akan busuk, seperti semuanya rusak di Hindia. Dan ada kari, kari berwarna hijau kotor. Dan ada sesuatu seperti kubis putih. Tapi semua itu sendiri rasanya tidak enak.
Veth juga bicara tentang kebiasaan makan orang Belanda di Hindia Belanda, yang tidak lagi sama dengan kerabat mereka di Eropa. “Piring-piring penuh nasi dengan keributan tidak menyenangkan menghilang di balik rahang, sampai mereka muak dengan makanan dan pergi ke kamar tidur lalu berbaring seperti ular boa, mendengkur sampai jam lima sore,” tulisnya.
Veth, Rasisme
Komentarnya tentang perempuan pribumi Hindia-Belanda memperlihatkan sosok Veth yang murni rasis. Dia menulis; “Karena sebenarnya, jika seseorang tinggal di Paris, London, Wina, atau Amsterdam, pasti tahu seperti apa perempuan Eropa. Maka bagi kita, perempuan pribumi tampaknya termasuk dalam ras monyet.”
Menariknya, Veth secara terbuka mengakui pernah bersetubuh dengan wanita pribumi. Dia menulis; “Bagaimana mungkin teman-teman, orang lain, dan saya — dengan kepahitan yang menyiksa — pernah berhubungan dengan mahluk seperti itu. Dorongan seksual pasti sangat mendidih, kekuatan alam yang kasar telah mempermainkan kita. Bagaimana bisa. Saya tidak ingin menuliskan ini.”
Namun, Veth mengatakan dirinya bukan seorang rasis. Ia tidak menempatkan orang Eropa di atas penduduk asli, tapi percaya bahwa mencampur dua ras adalah tindakan salah. Artinya, Veth — seperti kebanyakan orang Belanda di negerinya — menolak perkawinan campur, apalagi pergundikan.
Pandangan Veth sebenarnya sesuatu yang lumrah di zaman itu. Bahkan, Batavia menyaksikan semua itu pada dekade berikut. Contoh paling nyata adalah ketika kolam renang pertama di Batavia, letaknya di Cikini, dibuka, ada tulisan; Anjing dan Pribumi Dilarang masuk.
Kegaduhan Nasional
Het leven in Nederlandsch-Indië menimbulkan kegaduhan nasional di Belanda. Sebab, ini buku pertama yang secara gamblang menarasikan semua keburukan Hindia-Belanda di mata orang Belanda, dan keburukan orang-orang Belanda dan Eropa di tanah jajahan.
Buku itu mengalami cetak ulang empat kali. Orang-orang Belanda yang terbiasa mendapat kabar indah tentang Hindia-Belanda dibuat tersentak oleh gambaran Veth. Menariknya, buku itu masih dibicarakan sampai tiga dekade setelah Belanda angkat kaki dari Hindia-Belanda. Sebab Rob Nieuwenhuys menerbitkannya kembali tahun 1977.
Bagi pelajar yang dipersiapkan menempati posisi di Hindia-Belanda, tentu saja mereka yang belum pernah ke tanah jajahan, buku Veth sangat berpengaruh. Banyak dari mereka mempertimbangkan ulang berangkat ke Hindia Belanda yang suram dan memilukan.
Akibatnya, sejumlah penulis merasa perlu meluruskan argumentasi Veth tentang tanah jajahan. Mereka membantah poin demi poin dalam buku Veth, dan itu berlangsung sampai akhir 1920-an. Kata basvetrij, atau mengolok-olok tanah jajahan, digunakan Van Dale untuk menyerang Veth.
L.C. van Vleuten, perwira militer yang 30 tahun tinggal di Hindia-Belanda, menerbitkan brosur berjudul De waarheid omtrent het leven in Nederlandsch-Indië atau Kebenaran Tentang Kehidupan di Hindia Belanda atas biaya sendiri.
Paul J. Koster Hzn, mencerca Veth dalam 400 halaman buku Uit de nagelaten papieren van een Indische nurks (1904). Dia menulis; “Saya ingat betul pedagang itu, maksudnya Bas Veth, yang sedemikian sombong dan suka memaksa. Dia bukan tipe Yahudi, dan ternyata berasal dari Keluarga Reformed — maksudnya kelompok keagamaan Gereja Reformasi — yang baik. Jadi, degenerasi tidak bisa dikesampingkan.”
Hans van de Wall, penulis Hindia-Belanda terkenal sat itu, juga terlibat dalam diskusi lewat artikel panjangnya di Bataviaasch Nieuwsblad edisi 26 Juli 1900. Ia menulis; Tuan Veth sengaja mengumpulkan semua yang jelek, semua yang tidak menyenangkan, semua kejahatan di Hindia-Belanda, sambil mengabaikan kebaikan yang ada pada manusia dan situasi.
Veth, menurut De Wall, adalah salah satu penulis yang kurang mampu menemukan sisi baik kehidupan yang bukan kehidupannya.