JAKARTA—Laporan Human Rights Watch (HRW) tahun 2020 menegaskan, Indonesia menghadapi ancaman serius dalam penegakan HAM pada 2019. Hal tersebut disebabkan oleh rancangan undang-undang (RUU) yang diusulkan justru membatasi kebebasan dasar dan memperburuk perlindungan bagi kelompok-kelompok yang terpinggirkan.
HRW juga merujuk bahwa pada April lalu Joko Widodo (Jokowi) kembali memenangkan Pemilu. Tetapi baik setelah terpilih ulang maupun dalam kampanye, ia sedikit sekali memberikan perhatian akan masalah HAM di Indonesia.
“Indonesia pernah menjadi kabar baik bagi penegakan HAM di di Asia Tenggara, tetapi dalam satu tahun terakhir situasi HAM di Indonesia semakin memburuk,” ujar Direktur Asia Human Rights Watch Brad Adams. “Undang-undang baru yang bermasalah hampir disahkan, sementara minoritas tidak mendapatkan perlindungan hukum yang mereka butuhkan.”
Dalam World Report 2020 edisi ke-30 setebal 652 halaman, Human Rights Watch mengulas praktik-praktik hak asasi manusia di hampir 100 negara. Dalam esai pengantar, Direktur Eksekutif HRW Kenneth Roth mengatakan bahwa pemerintah Cina–yang bergantung pada penindasan untuk tetap berkuasa, melakukan serangan paling intens terhadap sistem HAM global dalam beberapa dekade.
Roth menyatakan, tindakan Beijing mendorong dan mendapatkan dukungan dari populis otokratis di seluruh dunia, sementara pihak berwenang Cina menggunakan kekuatan ekonomi mereka untuk mencegah kritik dari pemerintah lain. “Ini adalah situasi mendesak untuk menolak praktik yang dilakukan Cina, sebab hal itu yang mengancam kemajuan selama beberapa dekade terkait HAM dan masa depan kita,” kata Roth.
Di Indonesia, DPR hampir mengesahkan undang-undang pidana baru yang berisi ketentuan yang akan melanggar kebebasan berbicara dan berserikat, serta hak-hak perempuan, agama minoritas, dan orang-orang lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Pada September 2019, DPR mengesahkan undang-undang yang melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang pada gilirannya mempersulit pemberantasan korupsi.
Selama pidato kenegaraannya, Presiden Jokowi menegaskan kembali dukungannya terhadap ideologi negara Indonesia, Pancasila—sebuah kompromi yang dibuat pada deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 1945 untuk menghindari gagasan mendirikan negara Islam. Jokowi mengatakan bahwa, “Kami tidak akan berkompromi dengan anggota aparatur negara yang menolak Pancasila.”
Meskipun dimaksudkan untuk mencegah diskriminasi terhadap minoritas non-Muslim di Indonesia, Pancasila tidak mencegah pemerintah untuk menegakkan hukum dan peraturan yang mendiskriminasi non-Muslim, HRW memaparkan.
Di antaranya adalah undang-undang penistaan agama 1965, hampir selalu digunakan untuk melawan agama minoritas, dan peraturan “kerukunan umat beragama” 2006, yang memberikan kekuasaan veto pada urusan agama untuk mayoritas agama masing-masing daerah.
Pada 2019, pengadilan Indonesia menghukum setidaknya tiga wanita non-Muslim ke penjara karena penistaan agama. Pemerintah Jokowi mengusulkan untuk memperluas undang-undang penistaan dari satu hingga enam pasal dalam RUU KUHP. Pihak berwenang setempat tidak berbuat banyak untuk menghentikan kelompok Islam fundamentalis ketika melecehkan minoritas non-Muslim, non-Sunni. Tak hanya itu, orang-orang LGBT menghadapi kekerasan, intimidasi, dan penggerebekan polisi yang kejam.
Pada Agustus 2019 lalu, ejekan rasis terhadap pelajar Papua di Surabaya, Jawa Timur, memicu demonstrasi yang lebih besar di Provinsi Papua dan Papua Barat. Setidaknya 53 orang, baik orang Papua maupun pendatang dari daerah lain Indonesia, terbunuh dalam bentrokan yang terjadi. Pemerintah Indonesia mematikan internet di daerah-daerah tersebut. Polisi menangkap ratusan warga Papua dan menuduh setidaknya 42 orang melakukan makar, dengan hukuman penjara hingga 20 tahun.
Kekerasan di Papua dan RUU KUHP yang memicu protes nasional terbesar dalam dua dekade, mendorong Jokowi untuk menunda pemungutan suara DPR atas rancangan KUHP dan tiga RUU lainnya hingga 2020.
Pemerintah Indonesia bahkan gagal menetapkan tanggal untuk komisaris tinggi PBB bidang HAM untuk mengunjungi Papua dan Papua Barat, meskipun Jokowi pada 2018 diundang untuk menjadi komisioner.
“Pemilihan kembali Presiden Jokowi dapat memberikan peluang baru untuk melindungi hak asasi manusia dan kebebasan semua orang Indonesia,” ujar Adams. “Jika kemunduran HAM di Indonesia tidak berhenti, Indonesia mungkin menghadapi krisis sosial dan politik yang jauh lebih besar,”ujar dia. [laporan HRW]