- UU Pers memerintahkan penyelesaian dengan mekanisme mediasi etik.
- Dewan Pers mengambil langkah-langkah melindungi profesi wartawan.
JERNIH — Seorang influencer dan juga berprofesi sebagai dokter berinisial RL melakukan somasi terbuka dan mengancam memidanakan sebuah media terkait pemberitaan investigasi produk kecantikan etiket biru. Arif Zulkifli, ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, mengatakan masalah pemberitaan media harus diselesaikan melalui Dewan Pers secara kode etik, bukan ke ranah hukum.
Arif Zulkifli meminta influencer mengajukan hak jawab jika merasa keberatan dengan sebuah pemberitaan. “Bisa mengajukan hak jawab. Secara legal kriminalisasi sulit dilakukan karena UU Pers memerintahkan harus diselesaikan dengan mekanisme mediasi etik,” kata Arif dalam keterangannya kepada wartawan, Sabtu 29 Juni 2024.
Menurutnya, ketika media yang membuat berita terkait dengan temuan adanya merek kosmetik yang disita BPOM pun menggunakan kata diduga, dan sudah sesuai kode etik jurnalistik.
“Iya, harus menggunakan kata diduga. Sudah sesuai kode etik jurnalistik,” ujarnya.
Pengamat hukum dan Kejaksaan Fajar Trio mengatakan bahwa jika ada pihak yang keberatan dengan suatu pemberitaan, maka penyelesaiannya harus melalui Dewan Pers. Itu sesuai dengan Undang-Undang Pers nomor 40 tahun 1999.
“Bahkan baik dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan dugaan pencemaran nama baik terkait pemberitaan di media pun harus melalui Dewan Pers. Karena pemberitaan adalah produk jurnalistik yang dilindungi UU Pers jadi tidak bisa dipidana maupun gugat perdata,” kata Fajar di Jakarta.
Ia menambahkan bahwa sepanjang karya jurnalis atau wartawan masih dalam konteks produk jurnalistik, wartawan tidak bisa dijamah polisi, jaksa maupun hakim.
“Polisi, jaksa, hakim tidak bisa menjamah produk wartawan, selama itu adalah karya jurnalistik. Tapi kalau itu perbuatan pribadi seperti mencuri, merampok, korupsi dan lain-lain (pidana umum), ya, itu tetap dia dihukum,” katanya.
Ia melanjutkan; sepanjang dia (wartawan) menghasilkan sebuah tulisan, gambar, grafik dan sebagainya, itulah yang disebut karya jurnalistik. Karya jurnalistik itulah yang melindungi wartawan sampai kapan pun, dan itu universal.
Di dalam Undang-Undang Pers, lanjutnya, terdapat 10 bab dan 21 pasal. Pada pasal 7 memuat khusus tentang Dewan Pers. Artinya, undang-undang itu memerintahkan Dewan Pers untuk mengambil langkah-langkah melindungi profesi wartawan.
“Ketika kita dikritik sebelum reformasi bahwa wartawan itu tidak punya Lex Spesialis, maka lahirnya UU No.40 tahun 1999 tentang Pers ini menjawab persoalan jurnalistik,” katanya.
Menurutnya, aparat penegak hukum tidak bisa melakukan penindakan hukum pada seorang jurnalistik yang berbicara terkait fakta yang didapatnya.
“Selain itu juga ada UU Kebebasan Pers di mana jika ada yang keberatan dalam sebuah pemberitaan ya ada hak jawab, dan Dewan Pers tidak boleh langsung lapor polisi,” tambahnya.
“Prinsipnya kan nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali yang merupakan asas yang berlaku untuk suatu tindak pidana, yang mana tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan tersebut dilakukan. Asas ini dikenal dengan asas legalitas,” ujarnya.
Terkait tudingan bahwa media bisa dibayar, Fajar menilai pernyataan tersebut dapat melukai para pelaku industri media, khususnya profesi wartawan atau jurnalis. “Itu terlalu meremehkan, padahal profesi jurnalis memiliki peran yang sangat penting dalam memastikan kebenaran dan kualitas informasi yang disampaikan kepada publik,” kata Fajar.
“Tugas utama seorang jurnalis adalah melaporkan peristiwa-peristiwa aktual, menganalisis isu-isu penting, dan menyajikan informasi kepada khalayak melalui berbagai media, seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, dan platform digital,” kata dia.