Pilkada 2020 sangat mengandalkan kampanye di media daring, sehingga perlu di waspadai serangan peretas yang akan mengganggu Pilkada
JAKARTA-Organisasi masyarakat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menyebut ada tujuh jenis serangan siber yang perlu diwaspadai terjadi saat pemilihan umum (Pemilu). Peneliti Perludem, Nurul Amalia menyebut satu persatu jenis serangan tersebut, yakni
Pertama adalah serangan DDoS (Distributed Denial of Service).
“DDoS merupakan serangan yang sering terjadi di Pemilu,” kata Nurul saat konferensi virtual bertajuk “Keamanan Siber Teknologi Pilkada 2020”, pada Minggu (19/7).
Dalam serangan DDos atau biasa dikenal sebagai DDos Attack biasanya dengan cara membanjiri server menggunakan paket data berkapasitas besar, sehingga sistem tidak dapat menampung data dan akhirnya rusak. Akibatnya situs atau aplikasi yang diserang dengan DDos bakal sulit diakses pengguna lain.
Ke-dua adalah serangan siber dengan merubah tampilan situs yang menayangkan hasil penghitungan suara. Menurut Nurul, jenis serangan ini, perentas ingin menunjukkan seakan mampu mengakses sistem penghitungan suara penyelenggara pemilu.
“Jadi peretas tidak betul-betul masuk sistem dia hanya ke situs website dan ubah tampilan situs sehingga seolah-olah dia sudah obrak-abrik sistem. Seolah-olah mereka sudah ubah sistem,” kata Nurul.
Ke-tiga adalah serangan phising yakni mengelabui target untuk mengklik dokumen atau file yang disusupi malware atau ransomware. Peretas biasanya mengirim tautan-tautan berisi malware dan ransomware. Metode phising belakangan juga jadi modus baru dalam kasus paket online.
Nurul menyebut contoh serangan macam itu terjadi pada Pilpres di Makedonia Utara pada 2019 lalu. Dimana satu bulan sebelum Pilpres, sistem informasi dan komunikasi utama yang digunakan KPU Makedonia Utara dihajar serangan siber.
“Mereka kirimkan link yang sudah disisipi malware dan ransomware ke email penyelenggara pemilu dan ke email staf-staf yang bekerja di lembaga tersebut,” cerita Nurul.
Ke-empat, Nurul menyebut serangan dengan merusak jalur komunikasi yang digunakan mentransfer hasil penghitungan suara. Nurul menyebut contoh serangan semacam ini pada Pilpres Kenya pada 2017 lalu.
“Jadi ada akses ilegal yang masuk ke jalur komunikasi yang digunakan transfer data perhitungan suara. AS untuk Pilpres 2020 serangan siber ini jadi perbincangan publik,” kata Nurul.
Ke-lima, Nurul menjelaskan, bentuk serangan berupa perusakan integritas pada daftar pemilih online. Ini merupakan jenis serangan dimana peretas mampu masuk ke internal sistem. Serangan ini terjadi bila sistem teknologi keamanan situs tersebut lemah.
Pada jenis serangan ini, kata Nurul, dilakukan oleh peretas dengan sumber daya yang besar dan terus-menerus serta direncanakan melalui beberapa fase.
“Bahkan serangan bisa terjadi ke sistem yang tidak terhubung ke internet. Jadi mereka masuk ke USB atau perangkat lain yang sudah terinfeksi,” terang Nurul.
Ke-enam, menurut Nurul adalah pembocoran data pemilih. Pembocoran data pemilih dilakukan setelah peretas memiliki data pemilih.
Ke-tujuh, disebut Nurul berbentuk kampanye disinformasi yang menargetkan integritas penyelenggara pemilu dari proses pemilihan. Hal ini terjadi pada Pilpres 2019 di Indonesia.
Nurul menyebut, serangan menyasar disintegritas KPU ketika terjadi kesalahan system yang meskipun kecil namun akan dibesar-besarkan oleh pihak tertentu
“Disinformasi penindakan bukan di KPU di lembaga lain. Apalagi nanti di Pilkada 2020 itu diprediksi akan ada banyak kampanye di media daring,” kata Nurul mengingatkan.
(tvl)