Banyak dari misinformasi itu mengandalkan kolase bukti, yang merupakan gambar dari bermacam-macam kliping berita, nyata maupun rekayasa untuk menguatkan narasi palsu
JAKARTA—Ini memang zaman post-truth, di mana orang tak lagi ragu dan berpikir Panjang untuk berbohong, apalagi bila ‘hanya’ memelintir fakta. Di tengah kebingungan dan rasa cemas yang merebak seiring wabah virus Corona, dunia maya pun dibanjiri hoax dan berita palsu.
Berita palsu tentang novel virus corona itu terus bermunculan di jaringan internet, mempersulit upaya para pemangku tanggung jawab untuk menyampaikan kebenaran tentang penyakit yang masih misterius tersebut. Berbagai unggahan di media sosial mengklaim berbagai misinformasi, bahkan teori konspirasi terkait penyebaran virus baru itu.
Di tengah serentetan kasus baru yang disebut-sebut datang dari Kota Wuhan, Cina, beberapa pengguna media sosial justru mengisi kekosongan informasi tentang penyakit itu dengan narasi palsu dan klaim yang belum terbukti.
Menurut The New York Times, pada Senin (27/1) lalu pemerintah Cina telah mengonfirmasi 2.744 kasus akibat virus corona, dengan setidaknya 81 kematian yang diakibatkan virus tersebut. Ketika kasus virus corona terus muncul di seluruh dunia, termasuk lima yang dikonfirmasi di Amerika Serikat, otoritas kesehatan bekerja keras untuk mencegahnya menjadi pandemi.
Sementara itu, banjir berita palsu seputar virus corona marak di media social. Dalam satu contoh yang dilaporkan BuzzFeed News, sebuah unggahan di Twitter pada 21 Januari lalu dari seorang pengguna yang menyatakan bahwa virus corona memang sengaja dirilis. Cuitan itu disukai dan di-retweet hingga ribuan kali.
Seorang pengguna YouTube yang seringkali berbagi berita palsu dan klaim yang tidak terbukti, Jordan Sather, mengaitkan kasus virus corona kali ini dengan pengajuan paten pada 2015 untuk vaksin virus corona yang diajukan sebuah lembaga kesehatan di Inggris. Sather menegaskan bahwa perusahaan farmasi itu dengan sengaja melepaskan penyakit novel virus corona kepada masyarakat untuk membangkitkan kekhawatiran dan menjual obat.
“Apakah penyebaran penyakit ini memang sudah direncanakan?” tulis Sather di Twitter. “Apakah media digunakan untuk menghasut ketakutan? Apakah organisasi Cabal sangat membutuhkan uang sehingga mereka mengeksploitasi cadangan besar mereka?”
Faktanya, menurut catatan The Huffington Post, sudah menjadi prosedur standard bagi perusahaan farmasi untuk mengajukan permohonan paten terlebih dahulu, seperti yang dilakukan oleh perusahaan tersebut. Menurut BuzzFeed, vaksin virus corona dalam paten khusus itu bahkan tidak ditujukan untuk strain virus yang bisa mempengaruhi manusia.
Meskipun demikian BuzzFeed melaporkan, beberapa versi misinformasi yang asli telah dibagikan oleh para ahli teori konspirasi pro-Trump. Kelompok-kelompok anti-vaksinasi di Facebook bahkan memperluas jangkauannya hingga setidaknya ribuan orang. Pada saat peredaran berita palsu mencapai puncaknya, beberapa pengguna media sosial mengklaim tanpa bukti bahwa miliarder filantropis Bill dan Melinda Gates berpartisipasi dalam skema penyebaran virus corona tersebut.
Contoh lain dari upaya menyebarkan ketakutan terkait virus corona di media social, termasuk unggahan yang menyatakan bahwa pemerintah (Cina?) menahan vaksin untuk jenis virus terbaru. Berbagai unggahan dengan salah telah mengidentifikasi orang-orang tertentu sebagai penderita virus corona, sementara unggahan lainnya secara drastis menggelembungkan jumlah pasien yang terinfeksi novel virus corona. Faktanya, virus ini tergolong cukup baru dan saat ini masih belum ada vaksin yang dapat mencegah penularannya.
Masing-masing klaim tersebut telah dibagikan ratusan bahkan ribuan kali di media sosial. Banyak dari misinformasi yang terkait dengan virus corona mengandalkan apa yang oleh para pakar media sosial disebut kolase bukti, yang merupakan gambar yang mencakup bermacam-macam kliping berita dan gambar nyata maupun rekayasa untuk menguatkan narasi palsu.
Tahun lalu lembaga penelitian Data and Society melaporkan, para pengguna media sosial harus waspada terhadap orang-orang yang menggunakan kolase bukti dan sejumlah teknik lain untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan atau yang jelas-jelas salah. Dalam sebuah pernyataan kepada The Huffington Post, seorang juru bicara Facebook mengatakan pihaknya telah merespons aktif upaya negative itu.
“Beberapa mitra pengecekan pihak ketiga kami di seluruh dunia telah menilai adanya konten palsu, sehingga kami secara dramatis mengurangi peredarannya. Orang-orang yang melihat konten ini mencoba untuk membagikannya, atau sudah menyebarkannya. (Kami) lantas memperingatkan bahwa informasi itu salah. Situasi ini berkembang cepat dan kami akan melanjutkan jangkauan kami kepada WHO dan organisasi-organisasi kesehatan regional lainnya untuk memberikan dukungan dan bantuan.”
Twitter masih belum menanggapi permintaan komentar The Huffington Post. [TheNewYorkTimes/ TheHuffingtonPost]