Sekularisme Prancis yang disebut laïcité secara ketat memisahkan urusan negara dan agama. Hal ini telah diresmikan menjadi konstitusi sejak tahun 1905
Jernih — Muslim dunia ramai-ramai bereaksi atas pidato Presiden Prancis Emmanuel Macron yang dinilai memojokan Islam. Dikabarkan France24, pidato tersebut disampaikan Macron pada Jumat (2/10/2020) di Lex Mereaux, barat laut Prancis.
Dalam pidato tersebut, Macron menyatakan akan membuat undang-undang untuk melawan apa yang ia sebut “separatisme Islam”. Aturan tersebut sedianya akan mulai diproses pada Desember tahun ini. Ia juga menjelaskan Islam sebagai “agama yang mengalami krisis di seluruh dunia saat ini”. Pernyataan ini yang menuai reaksi keras dari sejumlah pihak.
Sebelumnya, yakni pada tanggal 2 September 2020, majalah satir Prancis, Charlie Hebdo, kembali menerbitkan kartun yang disebutnya Nabi Muhammad. Tanggal tersebut bertepatan dengan dimulainya persidangan terhadap empat belas terdakwa penyerangan brutal bekas kantor pusat Charlie Hebdo pada 7 Januari 2015. Serangan tersebut menewaskan 12 orang termasuk beberapa kartunis Charlie Hebdo dan petugas polisi.
Protes atas penerbitan ulang kartun yang dianggap melecehkan agama Islam itu menggema di seluruh penjuru dunia. Namun, Macron berdalih bahwa hal itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi, hal yang sangat dijunjung tinggi di Prancis.
Tanggal 16 Oktober 2020, seorang guru sejarah di Conflans-Sainte-Honorine di pinggiran Paris, Samuel Paty, dipenggal kepalanya. Tujuh orang dinyatakan bersalah termasuk Abdullah Anzorov, sang algojo berusia 18 tahun asal Chechnya, Rusia, yang ditembak mati polisi sesaat setelah peristiwa pembunuhan.
Paty dibunuh ketika ia berjalan pulang ke rumahnya usai mengajar. Hal itu terjadi beberapa waktu setelah ia menunjukan majalah Charlie Hebdo yang memuat kartun yang disebut Nabi Muhammad tersebut sebagai contoh kebebasan berekspresi.
BBC mengabarkan, Macron menyebut Paty sebagai “pahlawan diam” dan “wajah republik”. Ia juga mengatakan bahwa Paty dibunuh karena kelompok Islamis menginginkan masa depan mereka. Macron memberi keluarga Paty penghargaan Légion d’honneur, penghargaan tertinggi negara di Prancis.
“Dia dibunuh karena jiwa republik tertanam padanya. Ia dibunuh karena kelompok Islamis menginginkan masa depan kita. Mereka tahu, dengan adanya pahlawan-pahlawan yang bergerak secara diam-diam seperti ini, upaya mereka tak pernah akan berhasil,” ungkap Macron dalam peringatan kematian Samuel Paty di Paris pada Rabu malam (21/10/2020).
Persoalan Islam di Prancis memang bukan persoalan baru. Isu-isu keislaman kerap kali menjadi buah bibir di Prancis. Dengan jumlah muslim mencapai 8% dari populasi Prancis atau sekitar 7 juta jiwa, Prancis menjadi negara Eropa dengan penduduk muslim terbanyak dengan angka pertumbuhan musllim yang juga paling tinggi di Eropa.
Hal ini tidak lepas dari sejarah Prancis itu sendiri. Di akhir abad ke-19, gelombang imigran muslim mulai berdatangan ke Prancis. Salah satunya berasal dari negara muslim Aljazair, yang merupakan bekas koloni Prancis.
Para warga muslim itu menempati daerah-daerah di pinggiran Prancis dan membentuk pemukiman muslim. Keterlibatan umat muslim pada Perang Dunia (PD) I yang mengakibatkan 1000 orang muslim gugur membela Prancis. Hal itu membuat Walikota Lyon sekaligus Presiden Partai Radikal Prancis, Edouard Herriot mendukung pembangunan sebuah masjid besar di Paris sebagai wujud syukur dan terima kasih negara pada komunitas muslim. Peristiwa ini terjadi setelah PD I, tepatnya tahun 1922.
Karena banyaknya muslim imigran di Prancis, sejak tahun 1977 sejumlah negara menjalin kerjasama dengan Prancis dalam program pengiriman iman dan guru agama, termasuk Turki, Aljazair, Tunisia, dan Maroko untuk mengajarkan bahasa dan budaya negara mereka masing-masing. Dilaporkan France24, sekitar 300 imam dan guru dikirim oleh negara-negara tersebut tiap tahunnya.
Namun, pada sebuah konferensi pers pada 18 Februari 2020 yang dilaksanakan di kota Mulhouse, Prancis timur, Macron mengumumkan langkah-langkah untuk mengatasi “separatisme”. Salah satunya, rencana penghentian program pengiriman imam asing dan pembatasan pembiayaan masjid-mesjid di Prancis oleh sejumlah negara muslim.
Muslim di Prancis berada dalam dilema. Pasalnya, konstitusi negara itu menjunjung tinggi kebebasan berekspresi namun melarang ekspresi keberagamaan yang berlebihan tampak di ruang publik. Penggunaan identitas agama seperti cadar dan rosario besar dilarang di ruang-ruang publik seperti sekolah dan universitas. Sementara, di sisi lain, ajaran Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk cara-cara berbusana dan batasan-batasan berekspresi.
Sekularisme Prancis yang disebut laïcité secara ketat memisahkan urusan negara dan agama. Hal ini telah diresmikan menjadi konstitusi sejak tahun 1905. Di Prancis, seseorang tidak akan dihukum karena menghina atau melecehkan agama, tetapi seseorang mungkin dijebloskan ke penjara jika ia menghina seseorang karena agama yang dianutnya.